Masyarakat Kawasan hutan lindung laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Propinsi Sulawesi Selatan. Foto: LBH Makassar

 

Sampai saat ini, korban penerapan Undang-undang No. 18 tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Pengrusakan Hutan (UUP3H) bertambah. UU yang secara filosofis mengandung semangat mencegah perusakan hutan dari aktivitas korporasi, malah mengkebiri hak-hak masyarakat yang secara turun temurun tinggal di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, tak terkecuali masyarakat hukum adat. Walaupun mereka telah bermukim di kawasan hutan jauh sebelum Indonesia merdeka dari kolonialisme.

Tercatat, LBH-YLBHI telah menanagani 5 (lima) kasus masyarakat yang dijerat dengan UUP3H oleh Jaksa Penuntut Umum. Di Sulawesi Selatan, LBH Makassar mencatat berdasarkan pemantauan dan pendampingan kasus, ada 2 kelompok masyarakat yang telah dikriminalisasi melalui UUP3H, 3 orang mayarakat di kaswasan Hutan Lindung Coppoliang Soppeng dan 6 orang Maysrakat Hukum Adat Matteko Gowa.

Masyarakat Coppoliang dan Masyarakat Hukum Adat Matteko masing-masing dijerat UUP3H telah melakukan penebangan pohon menggunakan alat lazim dan “perkebunan” yang dianggap dilakukan secara terorganisir karena terdapat inisiator dalam aktivitas tersebut. Padahal peruntukan mereka hanya untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Bergulirnya pidana kedua kelompok masyarakat di atas menuai hasil yang berbeda pada putusan Pengadilan. Di soppeng, Masyarakat Coppoliang divonis bebas dikarenakan Majelis Hakim menganggap bahwa unsur “setiap orang” melakukan penebangan pohon dan berkebun dalam UU P3H memiliki pengertian khusus, berbeda dengan pengertian dalam KUHP. Dalam UUP3H unsur “setiap orang” termasuk kualifikasi perbuatan orang perseorangan yang secara “terorganisasi”. Sedangkan Putusan pengadilan Masyarakat Hukum adat Matteko divonis 6 bulan dan 3 hari pada Agustus 2019 silam. Majelis Hakim menganggap bahwa penebangan pohon dilakukan secara terorganisir karena terdapat Inisiator penggerak. Padahal kalau ditilik secara saksama, fakta persidangan dua kasus tersebut sama. Di Soppeng, aktivitas berladang dikerjakan bergotong royong yang secara otomatis ada “inisiator” di dalamnya.

 

Ketidakpastian Hukum

Aktivitas Masyarakat yang tinggal di kawasan maupun sekitar kawasan hutan dilindungi oleh UUD 1945 yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 95/PUU-XII/2014 “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil”.

 

Proses investigasi LBH Makassar di lokasi lahan para terpidana kasus kriminalisasi petani dalam kawasan hutan lindung Laposo Niniconang, Kab. Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan, Januari 2018. Foto: LBH Makassar.

 

Namun, itu belum cukup untuk mengukuhkan perlindungan terhadap Hak Masyarakat yang berada di kawasan maupun sekitar kawasan hutan. Masih adanya pasal-pasal dalam UUP3H yang longgar menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan dalam mengakses kebutuhan sandang, pangan dan papan pada hasil hutan. Salah satunya adalah definisi “terorganisasi”.

Dalam UUP3H, frasa “terorganisasi” harus dimaknai dengan beberapa unsur, ialah terdapat struktur, komando dan Kapital/Cukong dengan tujuan komersialisasi hasil hutan. Namun ambiguitas terhadap tafsir “terorganisasi” menjadi momok yang menakutkan bagi Masyarakat di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Ketidakpastian hukum akan semakin melanggengkan pratek kriminalisasi. Belum lagi diperparah dengan kebijakan Ekonomi Politik Pembangunan Presiden Joko Widodo yang berpihak pada investasi yang sebesar-besarnya, yang termanifestasikan memalui salah satu regulasi, RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA). Bukan tidak mungkin Hutan akan menjadi objek investasi dari kebijakan tersebut. Juga sejauh ini praktek kebijakan Ekonomi Pembangunan Jokowi telah menelan korban dan dampak buruk tehadap lingkungan. Maka dengan demikian ancaman kriminalisasi dan pengusiran dari tanah hidup Masyarakat di dalam kawasan maupun sekitar kawasan Hutan tak terelakkan.

Jika Negara sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) tidak mampu dalam menjamin kepastian hukum Masyarakat sebagai HAM yang telah dijamin oleh UUD 1945, maka akan berlaku prinsip Interdependensi. Satu hak yang dilanggar, maka akan berdampak terhadap hak-hak yang lain.

 

Proses penandatanganan surat kuasa kepada LBH-YLBHI oleh prinsipal dalam rencana Judicial Review UUP3H di Mahkamah Konstitusi, Padang, Sumatera Barat, 31 januari 2020. Foto: Panitia Pelaksana Kegiatan/YLBHI-LBH padang.

 

Bantuan Hukum Struktural

Melalui Konsep Bantuan Hukum Sruktural (BHS) yang berorientasi pada perubahan Substansi, Struktur dan Kultur Hukum untuk mengentaskan ketidakadilan, mendorong Kepastian Hukum dan kesejahteraan Masyarakat, LBH-YLBHI yang diinisiasi oleh LBH Padang telah mendorong Masyarakat yang menjadi korban UUP3H sebagai Prinsipal guna mengajukan gugatan (judicial review) terhadap beberapa pasal UUP3H yang diajukan untuk direvisi ke Mahkamah Konstitusi. Pada 31 Januari 2020 sebanyak 7 orang principal telah menandatangani Surat Kuasa kepada LBH-YLBHI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content