Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ikut merespons sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin merevisi Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan rencana tersebut semoga bukan hanya sebagai wacana saja akan tetapi betul-betul dibuktikan.

Haedir berharap UU ITE bukan hanya direvisi tapi lebih baik dihapus. Apalagi beberapa aturan yang tidak jelas terdapat di dalamnya dan itu kerap jadi senjata untuk membungkam orang yang banyak mengkritik melalui media sosial (medsos) utamanya pada lembaga negara.

Pasal yang kerap digunakan kata Haedir yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang Ujaran Kebencian. Termasuk beberapa pasal karet bermasalah lainnya dalam UU ITE.

“Saya kira pasal-pasal seperti itu sudah harus dihapus. Pertama karena sejauh ini yang kita tau, semua orang yang dilaporkan pasti menggunakan pasal karet itu. Kasus yang bersifat struktural, orang yang kuat kemudian melaporkan mereka yang lemah. Termasuk pengkritik tidak dianggap sebagai pengkritik saja,” kata Haedir pada Fajar.co.id saat diwawancara, Rabu (17/2/2021).

Lebih jauh, Haedir mengatakan, hampir setiap tahunnya LBH Makassar menangani laporan masyarakat yang terjerat UU ITE.

Dari data Sistem Informasi dan Pendokumentasian Kasus (SIMPENSUS) LBH Makassar tahun 2020 ada sebanyak 6 kasus penghinaan yang ditangani.

“Setiap tahun itu kita pasti pernah menangani kasus itu (ujaran kebencian),” ungkap Haedir.

Haedir menjelaskan esensi UU ITE telah bergeser dari maksud dan tujuannya sendiri. UU ITE dibuat untuk mengatur masalah trasaksi elektronik atau mengatur tentang pengiriman dan penerimaan surat elektronik.

“Namanya transaksi elektronik dia (UU ITE) mengatur soal hubungan transaksi itu sendiri. Transaksi elektronik itu bukan soal hubungan orang person terkait dengan menyenangkan atau tidak menyenangkan suatu perbuatan di dunia internet. Harusnya bicara perlindungan data, salah satunya. Kemudian bicara soal perlindungan konsumen yang belanja online misalnya itukan terkait dengan transaksi. Kecuali kalau perasaannya orang dianggap sebagi data transaksi yah itu baru,” jelasnya.

Revisi UU ITE sendiri mulai marak diperbincangkan usai Presiden Jokowi membuat caption di Instagram pribadinya, Selasa (16/2/2021).

Dalam postingannya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan:

“Selamat pagi. Belakangan ini sejumlah warga masyarakat saling membuat laporan ke polisi dengan menjadikan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai salah satu rujukan hukumnya.

Saya memerintahkan Kapolri dan seluruh jajarannya untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan seperti itu. Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE agar proses hukum terkait laporan itu dapat memenuhi rasa keadilan.

Negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat.

UU ITE memiliki semangat awal untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun, implementasi undang-undang tersebut jangan sampai menimbulkan rasa ketidakadilan.

Kalau tidak bisa memberikan rasa keadilan, saya akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini. Pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak, agar dihapuskan.”

 

Catatan: Telah dimuat di media online fajar.co.id pada 17 Februari 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content