Advokat Publik YLHBI-LBH Makassar
Pengaturan kembali struktur penguasaan tanah yang timpang, atau secara luas dikenal dengan istilah Reforma Agraria. Diyakini sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan agraria.
Komitmen pelaksanaan Reforma Agraria terbangun tak lama setelah kemerdekaan Indonesia. Melalui proses panjang (1946-1960), para pendiri republik berhasil mencapai konsensus pada 24 September 1960 ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang dikenal sebagai UUPA. Kelahiran UUPA memberikan payung hukum perlindungan hak-hak atas tanah garapan petani. Untuk itu, setiap tahunnya tanggal 24 September selalu diperingati sebagai hari tani nasional.
Namun pada pelaksanaannya, UUPA menghadapi banyak masalah. Tampak masalah agraria saat ini melibatkan modal besar dan kekuasaan politik. Masalah yang muncul berupa konflik agraria, suatu keadaan yang memaksa para petani kecil berhadapan dengan korporasi dan aparat penegak hukum.
Tercatat sepanjang tahun 2017/2018, Lembaga Bantuan Hukum Makassar telah menangani 11 konflik agraria yang terjadi di Sulsel. Konflik tertinggi terjadi di sektor infrastruktur dan kehutanan, sedangkan yang lainnya terjadi di sektor perkebunan, pesisir dan perkotaan dengan total jumlah korban mencapai ± 26.249.000 jiwa. Konflik ini selalu disertai dengan pola intimidasi hingga upaya kriminalisi. Angka korban kriminalisasi tahun 2017/2018 mencapai 37 orang. Sembilan diantaranya telah divonis oleh pengadilan, sedangkan yang lainnya masih tahap penyidikan.
Penguasaan Lahan
Akar permasalahan konflik agraria di Sulsel akibat ketimpangan penguasaan lahan. Misalnya di sektor perkebunan, perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) memiliki konsesi lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang luas. Namun, sebagian wilayah HGU tidak terurus/terlantar. Ironisnya, petani lokal yang tinggal di sekitar wilayah HGU tidak memiliki lahan garapan. Kemudian kondisi ekonomi-sosial memaksa mereka melakukan aksi reclaiming terhadap lahan HGU yang ditelantarkan. Bermula dari kondisi tersebut, maka terjadilah konflik antara masyarakat lokal melawan perusahaan. Dalam menangani konflik ini, aparat seringkali menggunakan pendekatan represif yang cenderung melindungi perusahaan.
Di sektor kehutanan, penunjukan kawasan hutan dilakukan secara sepihak oleh kehutanan. Faktanya, kawasan hutan yang ditunjuk dalam skala luas ikut menyasar tanah tempat tinggal dan garapan petani lokal. Lalu pihak kehutanan memandang mereka yang tinggal di dalam kawasan hutan bukanlah subjek hukum yang berhak atas tanah garapan. Pengingkaran ini menjadi sebab awal terjadinya praktek intimidasi hingga upaya kriminalisasi terhadap petani yang tinggal dalam kawasan hutan.
Sikap kehutanan telah menyimpang dari konstitusi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Di sisi lain, terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Asas hukum ini telah diturunkan menjadi norma yang bersifat mengikat dan memaksa, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Inisiatif Kelembagaan
Sengkarut masalah agraria yang semakin massif terjadi saat ini, menunjukkan bahwa semangat Reforma Agraria mengalami disorientasi. Setidaknya hal ini disebabkan oleh karena urusan Reforma Agraria diserahkan kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Dalam beberapa kasus, justru kedua lembaga ini merupakan aktor pemicu terjadinya konflik agraria. Sehingga pada pelaksanaannya menimbulkan konflik kepentingan. Misalnya, kegiatan redistribusi dan legalisasi tanah tidak dilakukan pada wilayah HGU dan kawasan hutan yang tengah berkonflik. Padahal, akar permasalahan agraria terletak pada konflik tenurial di wilayah konsesi HGU dan kawasan hutan. Sehingga klaim pemerintah atas Reforma Agraria saat ini, bak api jauh dari panggang.
Sebenarnya, instrument hukum terkait Reforma Agraria telah tesedia, seperti UUPA, UU Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan Tap MPR R.I. Nomor IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Akan tetapi, aparat kelembagaan yang menjalankan Reforma Agraria belum mempunyai political will.
Untuk itu, urusan Reforma Agraria tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Akan tetapi, perlu dibentuk sebuah lembaga independen yang keanggotaannya terdiri dari unsur masyarakat sipil, intelektual publik/akademisi dan unsur pemerintah. Lembaga ini kemudian diberikan kewenangan delegatif oleh presiden berdasarkan peraturan presiden, yang khusus menjalankan agenda Reforma Agraria. Dengan begitu, barulah terbuka peluang mewujudkan keadilan agraria yang genuine.**
*Sebelumnya tulisan ini telah terbit di Opini Harian Fajar pada tanggal 25 September 2018