Oleh : Edy Kurniawan*
Advokat Publik LBH Makassar-YLBHI/Praktisi Hukum & HAM
HAM Di Moncong Senjata
(Catatan Kritis Hari HAM 2019)
Perkembangan kehidupan demokrasi yang begitu pesat, seiring dengan tuntutan penegakan hukum. Telah melahirkan paradigma baru dalam melihat tujuan dan tanggungjawab negara yang berorentasi pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Begitu pentingnya HAM, karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Negara dunia yang semula kerap bertikai dalam perebutan pengaruh politik, ekonomi dan ideologi, kemudian membuat sebuah consensus yang dibangun atas kehendak dan kesadaran bersama. Maka pada 10 Desember 1948, bertempat di Wina, dalam forum Majelis Umum PBB lahirlah tatanan dunia baru yang ditandai dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi yang diumumkan melalui resolusi 217 A (III), mengusung sebuah nilai universal dan pengakuan atas hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari setiap diri manusia adalah dasar kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.
Hak-hak tersebut antara lain; hak semua bangsa atas kemerdekaan, persamaan kedudukan semua warga negara di depan hukum, hak untuk hidup, tidak disiksa dan bebas dari perlakuan sewenang-wenang, hak menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul, hak untuk berkeyakinan, hak atas pekerjaan dan hidup layak, serta hak asasi lainnya.
Untuk memahami persolan HAM secara mendalam, perlu digunakan tradisi hukum melalui dua pendekatan, yaitu actor-oriented dimana negara diposisikan sebagai pemangku kewajiban (duty barier) dan rakyat sebagai pemegang hak (right holder). Kedua, structural-ariented dimana masalah HAM merupakan fenomena sosial yang saling terhubung satu sama lain.
Reformasi Sektor Keamanan
Sejak reformasi bergulir masalah HAM menjadi perhatian utama, khususnya di sektor keamanan. Oleh karena sektor ini yang paling rentan dengan pelanggaran HAM, terutama menyangkut kekerasan dalam penikmatan kebebasan sipil. Bahkan tahun 2019 di sektor ini, pelanggaran HAM terjadi dalam intensitas tinggi melibatkan oknum maupun institusi kepolisian (data pengaduan LBH Makassar-YLBHI tahun 2019).
Sejak dilakukan pemisahan institusi TNI dan Polri melalui perubahan kedua UUD 1945 dan Tap MPR RI No. VI/MPR/2000, upaya reformasi kepolisian terus dilakukan dengan menerbitkan berbagai peraturan internal yang bernilai HAM. Dua diantaranya adalah Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Terbentuknya sejumlah aturan tersebut patut diapresiasi. Namun itu tidaklah cukup, tanpa disertai upaya konkrit untuk mengimplementasikan dengan benar serta perlunya tindakan tegas terhadap oknum-oknum aparat yang melakukan pelanggaran HAM maupun pidana. Oleh karena di lapangan, penggunaan kekerasan dan senjata api secara berlebihan masih kerap terjadi, baik dalam penanganan aksi demonstrasi maupun dalam proses penyelidikan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang yang diduga terlibat dalam kejahatan. Misalnya dalam peristiwa demonstrasi tanggal 24 September 2019 dan kasus meninggalnya Sugianto di Bantaeng yang diduga akibat tiga luka tembak pada bagian lutut dan betisnya.
Ambiguitas Kekerasan
Berbagai usaha pencarian sebab dan solusi terhadap kekerasan telah diajukan. Namun kekerasan tetap saja terjadi. Sebab pada satu sisi diakui sebagai perbuatan terlarang lalu dikecam. Namun di lain pihak pelarangan terhadap kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekerasan sebagai instrumen utamanya. Menariknya, hukum yang sejatinya dapat menghentikan itu, justru dalam beberapa peristiwa digunakan secara sadar sebagai instrumen pendukung kekerasan itu sendiri oleh aparat penegak hukum.
Sementara itu, proses penanganan kasus kekerasan aparat berjalan tertatih-tatih. Sehingga sangat sedikit kasus-kasus kekerasan yang bernuansa melanggar HAM dapat dituntaskan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Ujung-ujungnya adalah sanksi disiplin.
Dampak Struktural
Secara struktural, kekerasan hadir tidak dalam situasi sosial-ekonomi yang sederhana. Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, seakan dapat diidentikan dengan perjalanan sejarah kekerasan itu sendiri. Hal ini sangat signifikan dalam hubungannya dengan hak-hak lainnya. Sebab, dapat menghilangkan kesempatan warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sehingga pada umumnya warga negara tidak mampu mendukung perkembangan ekonomi nasional atas kekuatannya sendiri, terutama bagi mereka yang rentan hak sosial dan ekonominya. Setali tiga uang, pemerintah terus memperlebar krang investasi. Konsekuensinya, kekerasan menjadi satu tarikan nafas dengan banjirnya proyek investasi, yang akan mendesak peminggiran warga negara. Sehingga tak jarang kita menyaksikan mahasiswa, petani dan kaum miskin kota berlarian dikejar-kejar oleh aparat. Mungkin inilah yang dimaksud dalam pidato Preiden Jokowi saat pelantikan bahwa “utamakan hasil, prosesnya tidak penting.” Wallahu a’lam bishawab.*
Catatan: Opini tersebut telah dimuat di koran harian Fajar edisi 11 desember 2019