“Everything from the family to the Longhouse has been affected by industry and by the way it operates in our territories and on our bodies.”
– Iako Tsira:reh Amanda Lickers (Turtle Clan, Seneca)
Dewasa kini, masalah gender tidak lagi sebatas masalah akses pendidikan, kesehatan, isu mental, reproduksi, pekerjaan dan politik. Lebih jauh lagi saat ini kita diperhadapkan dengan masalah yang terus berevolusi menyesuaikan dengan basis masalah yang muncul. Salah satunya adalah masalah krisis lingkungan.
Gerakan feminisme pun berkembang mencari cara untuk menemukan akar masalahnya dan menawarkan solusi sesuai dengan ideologi apa yang diyakini. Mengikut hal tersebut, banyak dari kita juga mulai mengubah cara pandang bahkan cara hidup sebagai bagian dari bentuk perlawanan.
Namun yang jadi pertanyaan, apakah kebiasaan-kebiasaan seperti memilah sampah, memakai pembalut kain, membawa tumbler, berhenti membeli pakaian, ikut aksi, bahkan mengorganisir petani, sudah cukup memberikan kontribusi dalam mengatasi krisis lingkungan?
Saya atau kalian pasti telah banyak menyaksikan perempuan dalam potret krisis lingkungan. Dimana perempuan mengalami berbagai situasi, mulai dari kekerasan fisik, ketakutan, trauma, stigma buruk, beban berlapis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, bahkan kematian (baca: femisida).
“Perempuan tidak diakui sebagai subjek,” kalau kata Suryani (Koordinator Solidaritas Perempuan Anging Mamiri), yang kemudian membuat Perempuan terdiskriminasi nya dalam ruang-ruang pengambilan keputusan terkait pengelolaan lingkungan.
Sebagai seorang feminis, saya ingin mengajak pembaca untuk sedikit merefleksikan bagaimana ragam feminisme melihat krisis lingkungan.
Feminisme dapat dibagi menjadi beberapa elemen yang berlawanan seperti feminisme liberal, feminisme sosialis, feminisme Marxis, dan postfeminisme, serta ekofeminisme. Representasi yang berbeda dari strategi penindasan dan pembebasan perempuan juga mempengaruhi pandangan yang berbeda tentang hubungan perempuan dengan alam dan strategi untuk mengatasi krisis lingkungan.
Feminisme liberal akhirnya muncul pada tahun 1960-an. Feminisme liberal ini didasarkan pada filosofi liberal dan melihat perempuan dengan cara yang sama seperti laki-laki. Artinya, keduanya adalah individu yang rasional dan memiliki otonomi pribadi. Dengan kata lain, perempuan juga memiliki hak asasi manusia dan hukum yang sama dengan laki-laki.
Penghapusan patriarki dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan hanya dapat dicapai dengan menyerukan kepada negara untuk memberlakukan undang-undang yang menentang diskriminasi terhadap perempuan dan mendorong perempuan untuk bekerja di depan umum melalui tindakan afirmasi dari berbagai pihak.
Dalam kasus perusakan lingkungan, feminisme liberal melihat penyebabnya dalam eksploitasi alam yang berlebihan. Hal ini karena pembangunan mengabaikan pandangan perempuan tentang kedekatan dengan alam. Untuk alasan ini, perempuan harus diberi lebih banyak kesempatan untuk menunjukkan di depan umum dampak negatif perusakan lingkungan terhadap reproduksi manusia.
Feminis sosialis berpendapat bahwa kapitalisme menciptakan kelas kapitalis, kelas bawah dan peran yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, mereka meningkatkan kesadaran sosial bagi kelompok yang terpinggirkan.
Ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri berbagai bentuk penindasan. Patriarki juga dapat diakhiri dengan meningkatkan kesadaran akan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Penghancuran lingkungan oleh kapitalisme menyebabkan produksi berlebih. Oleh karena itu, ekofeminis sosialis mempromosikan strategi sadar sosial untuk menghilangkan penindasan perempuan dan degradasi lingkungan. Di sisi lain, feminis Marxis, seperti Marxis, melihat kapitalisme sebagai sistem yang mempertahankan patriarki. Patriarki akan hilang ketika kapitalisme digantikan oleh sosialisme. Karena di bawah sosialisme setiap orang memiliki akses ke alat-alat produksi.
Mereka mengaitkan kerusakan lingkungan dengan kombinasi kekuasaan kapitalis dan patriarki. Kemudian krisis lingkungan dan diskriminasi terhadap perempuan dapat diatasi dengan mempromosikan sosialisme.
Liberalisme tampaknya tidak mampu mengatasi krisis kemanusiaan dan lingkungan. Sebuah strategi feminis liberal untuk membuat semua manusia independen dari agama, ras, orientasi seksual, keyakinan, kelas, status sosial, usia dan nasionalisme hanyalah bentuk yang lebih canggih dari mensubordinasikan minoritas ke kelompok dominan.
Misalnya, strategi paradoks adalah strategi tindakan afirmatif, yang meminta negara untuk membuat peraturan khusus untuk melindungi perempuan di mata publik. Pada saat yang sama mengubah ruang publik agar juga cocok untuk perempuan, mereka menundukkan perempuan pada ruang publik yang semula memang dirancang untuk laki-laki.
Liberalisme tidak pernah memandang massa dan kelas penguasa sebagai hal yang negatif. Ruang publik dan kelas penguasa merupakan representasi kemajuan manusia yang perlu dipertahankan. Yang dibutuhkan adalah mengangkat dan menyeimbangkan mereka dan para perempuan yang masih tertinggal.
Marxisme dan ekofeminisme Marxis juga tampak tidak meyakinkan, karena jalan menuju sosialisme, yang akan mengakhiri penindasan kelas, perempuan dan alam, tampaknya tertutup. Abdullah Ocalan juga bahkan mengatakan Kita harus mendefinisikan ulang cita-cita ‘sosialisme’ yang digagas Marx.
Karl Marx pernah menyebut dan merumuskan jalan menuju sosialisme dengan teori “kediktatoran proletariat”. Artinya, situasi di mana kelas pekerja mengambil alih negara dan menghapuskan hak milik pribadi atas alat-alat produksi untuk membawa masyarakat menuju sosialisme. Menurut Karl Marx, “kediktatoran proletariat” hanya mungkin terjadi ketika kapitalisme mengalami krisis internal dan borjuasi yang menggunakan negara melemah.
Mengambil alih sebuah negara pada masa jayanya seperti membenturkan kepala ke tembok. Tetapi jalan menuju sosialisme melalui “kediktatoran proletariat” hanyalah sebuah ilusi.
Misalnya, Revolusi Uni Soviet dan Revolusi Cina menjadikan “kediktatoran proletariat” sebagai kesempatan bagi mereka yang memegang kekuasaan negara untuk memperkaya diri sendiri dan menindas kaum buruh, tani, dan perempuan. Masa jabatannya hanya empat atau lima tahun, dapat diperpanjang hingga dua periode. Jadi mereka tidak bisa begitu saja memaksakan negara konstitusional sosialis selama masa jabatan mereka.
Bahkan Jurgen Habermas secara radikal mengkritik teori Marx dalam merumuskan revolusi proletariat. Habermas mengatakan, Marx lupa kalau ada teori “keterasingan” yang ia buat sendiri. Ketidakpedulian Marx dengan teori “keterasingan” lantaran ambisinya dengan analisis ekonomi.
Menurut Habermas, seandainya Marx tetap meneruskan ketertarikannya terhadap teori “keterasingan”, maka Marx tak hanya mencari penyebab keterasingan yakni kapitalisme, tapi juga jalan keluar dari keterasingan itu sendiri. Artinya Marx bahkan bingung dengan teori yang ia buat sendiri.
Lantas apa yang seharusnya kita lakukan? atau bagaimana seharusnya kita bersikap?
Melihat banyaknya aliran gerakan hari ini yang terkesan sektoral, perlu kiranya kita duduk bersama mendiskusikan hal lebih urgen untuk didorong dan bergerak bersama.
Gerakan feminisme Liberal harus menurunkan ego sentrisnya untuk mewadahi juga perempuan akar rumput dalam mengawal kebijakan, begitu juga dengan gerakan feminisme akar rumput, harus melibatkan perempuan kelas atas sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan identitas perempuan yang tentu saja jadi korban dari keseluruhan sistem hari ini.
Dengan adanya korelasi antar keduanya, gerakan feminis bisa lebih massif untuk mengawal dan mendorong berbagai aturan pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan terlebih bermacam aturan lainnya.
Jangan biarkan gerakan terpecah oleh momok independensi setiap kelompok. Kita jangan sibuk memperdebatkan gerakan politik. Berceloteh tentang siapa yang paling layak untuk dijadikan gerakan perlawanan, sedangkan kapitalisme dan patriarki terus bersetubuh di atas lahan-lahan garapan petani, di laut-laut nelayan, di pabrik-pabrik perusahaan, dan di kursi-kursi parlemen.
Kita harus bersepakat bahwa, dari semua lapisan aturan atas perempuan, Kitalah korban dari sistem patriarki dan kapitalisme. Berbagai gerakan masif mulai dari memilah dan memilih sampah, memakai pembalut kain, tumbler, mendorong aturan sektoral, atau debat ideologi, itu penting tapi apakah itu cukup? Masalah krisis lingkungan saya pikir lebih besar dan solusinya haruslah juga lebih besar dan melampaui akal sehat.
Jauh daripada itu kita perlu untuk lebih peka terhadap pembentukan seluruh kebijakan, dari basis akar rumput sampai perempuan kelas atas. Kolaborasi yang apik akan melahirkan gerakan feminis yang ‘gila’.
Peraturan baru seperti UU Ciptaker, UU Minerba, bahkan KUHP baru, semua itu dapat memperparah kondisi lingkungan kita hari ini. Belum lagi aturan turunannya yang memudahkan investasi dan relasi kerja yang fleksibel, jauh dari keberpihakan dan perlindungan hak buruh perempuan serta menjadi instrumen legal untuk menghancurkan lingkungan hidup kita.
Kita harus menyadari bahwa dengan adanya UU dan aturan turunan lain yang saling berkaitan satu sama lain ini dapat memperkuat posisi pemodal dalam menciptakan krisis lingkungan. Jangan sampai perjuangan kita berhenti hanya dengan memilah sampah dan berdebat kusir. Tentu saja jauh lebih dari itu kita harus MARAH.
Untuk individu yang menamakan dirinya sebagai pekerja kemanusiaan, aktivis perempuan, pendamping korban, advokat perempuan, pekerja sosial, tenaga pengajar perempuan, relawan perempuan, konselor perempuan dan lainnya, selamat merayakan Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia.
Saya ingin meminjam kata-kata dari Katsi Cook, seorang perempuan advokat yang mengatakan “Perempuan adalah lingkungan pertama. Kita beruntung menjadi pintu gerbang menuju kehidupan. Di dada perempuan, generasi-generasi dipelihara dan ditopang. Dari tubuh perempuan mengalir hubungan generasi-generasi ini, baik dengan masyarakat maupun dengan alam. Dengan cara inilah bumi adalah ibu kita, kata orang-orang tua. Dengan cara inilah kita sebagai perempuan adalah bumi.”
Penulis: Nunuk Parwati Songki (Staf Perempuan, Anak, dan Disabilitas YLBHI-LBH Makassar)