
Aparat Penegak Hukum perlu menerapkan system Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif agar ada efek jera terhadap para pelaku kejahatan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Haswandy Andy Mas mengakui pentingnya RJ. Apalagi terhadap jenis tindak pidana yang tidak memiliki korban secara langsung. Misalnya pengguna awal narkotika atau tindak pidana yang pelakunya adalah anak di bawah umur.
Belum optimal restorative justice, kata dia, dikarenakan sebagian besar apparat penegak hukummasih posivistik dan melihat tujuan pemidaan sekadar balas dendam. Hal itu juga didukung sebagian pandangan masyarakat yang mengira pemenuhan keadilan korban hanya sekadar memenjarakan pelaku.
Padahal menurutnya, belum tentu korban merasa adil jika dihukum penjara. Sisi lainnya, hal itu malah berkontribusi terhadap over capacity di rumah tahanan atau lapas. Untuk itu, RJ seharusnya bisa memberikan peluang kepada masyarakat untuk mencari solusi terbaik mengembalikan ketertiban.
“karena masyarakat dapat memberikan masukan, bentuk-bentuk sanksi bagi pelaku, termasuk proses reintegrasi sosial baik terhadap pelaku maupun korban,” imbuhnya lagi. Secara otomatis, lanjutnya lagi, proses RJ bisa menghemat keuangan negara untuk angggaran lapas yang dia alihkan kepada program-program yang lebih mendorong kesejahteraan.
Sementara itu, konsep RJ sudah dicontohkan oleh pihak Polsekta Rappocini. Selama beberapa tahun terakhir, mereka menekankan upaya restorative justice untuk menindak pelaku-pelaku tindak pidana ringan (tipiring). Salah satunya membawa para pelaku ke jalan agama melalui Pendidikan di luar tahanan.
Kanit Reskrim Polsekta Rappocini, Iptu Iqbal Usman mengakui, konsep itu memang sengaja diterapkan oleh personelnya. Mereka maenggandeng Bhabinkamtibmas untuk memperbaiki perangai para pelaku kejahatan tipiring. Bahkan, mereka bisa mendapatkan Pendidikan gratis di Pesantren jika benar-benar bertekad menjadi orang baik.
“kamikan prihatin dengan pelaku-pelaku kejahatan tipiring. Biar Cuma curi helm, curia ayam, mau dipenjara. Malah dengan konsep seperti ini (menyadarkan pelaku) juga bisa mengurangi kondisi lapas yang semakin sesak,” ungkapnya.
Buktinya, Polsekta Rappocini telah “meluluskan” hingga 300 tahanan melalui program Pendidikan berdasar restorative justice ini. Ia memastikan, tak ada eks tahanan Rappocini yang kembali tertangkap tangan di wilayah hukumnya. Artinya, nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai tertanam dalam benak mantan pelaku krimal itu.
“Yang ditanamkan dari konsep itu sebenarnya bukan bahwa mereka tidak melakukan tindak kriminal karena takut dengan polisi. Melainkan mereka tidak mengulangi perbuatannya karena malu dengan polisi,” tutur Iqbal. Ia pun berharap, upaya Polsek Rappocini itu bisa menjadi rintisan bagi Polsek Lainnya di Makassar.
*Berita ini telah di muat di Koran Harian Fajar (hal. 6) edisi 23 Januari 2019.
Comments
No comment yet.