Kasus penembakan brutal anggota Kepolisian Polsek Ujung Tanah dan Polres Pelabuhan di Jalan Barukang, Makassar, pada 30 Agustus 2020 silam telah mengakibatkan 2 (dua) orang terkena tembakan pada betis, serta seorang meninggal dunia karena luka tembak di kepala. Setelah sekian lama mandek, kini POLDA SULSEL selaku penyidik mengklaim akan menghentikan perkara dengan dalih para pelaku sudah berdamai dengan para korban. Keluarga korban tewas membantah telah melakukan perdamaian dan menuntut agar kasus tersebut dilanjutkan. LBH Makassar sebagai Penasihat Hukum korban menilai kasus yang dilaporkan pada 5 September 2020 sejak awal telah ada indikasi kuat kasus ini akan dihentikan dengan cara mengulur-ngulur waktu atau mendiamkan laporan korban (undue delay).
Hal ini terbukti pada klarifikasi Polda Sulsel dalam surat hasil pemeriksaan KOMPOLNAS dan OMBUDSMAN RI kepada LBH Makassar. Dalam masing-masing surat tersebut Polda Sulsel pada pokoknya memberikan klarifikasi bahwa dari hasil penyelidikan berdasarkan keterangan saksi-saksi, bukti dan/atau petunjuk, maka terhadap perkara tersebut terdapat bukti permulaan untuk ditingkatkan ke proses penyidikan, namun penyelidikan rencana akan dihentikan karena ketiga korban/pelapor merasa tidak keberatan dan merasa tidak dirugikan lagi karena telah menempuh penyelesaian secara kekeluargaan. Polda Sulsel pun mengklaim rencana penghentian tersebit mengacu pada surat Edaran Kapolri No. SN/8/VII/2008 tentang Penerapan keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara Pidana serta akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan.
Sebelumnya YLBHI-LBH Makassar menerima pencabutan kuasa dari 2 (dua) orang korban luka-luka. Namun ketika dikonfirmasi keluarga korban tewas sekaligus Pelapor dalam perkara tersebut mengaku tidak pernah berdamai. “Balle-ballei (bohong itu), tidak pernah saya itu datang (untuk damai). Pernah itu saya datang sama mamanya, na (mereka) tanya bagaimana kejadiannya, jadi ku tanyami (saya jelaskan bagaimana) kejadiannya”. Pihak keluarga pun menyayangkan hukuman terhadap ke-11 terduga pelaku yang hanya berupa sanksi disiplin, sementara proses pidana justru akan dihentikan. Mereka menambahkan, “Dihukum pelakunya toh, sebagaimana hukum yang berlaku. Ituji mauta. Masa mati anakta mati begituji? Tidak dihukum pelakunya? Tidak masuk akal.”
Atas fakta-fakta tersebut YLBHI-LBH Makassar selaku Penasehat Hukum Pelapor/Korban mengecam klaim Polda Sulsel terkait penghentian kasus karena pelaku sudah damai dengan korban:
- Penghentian Penyelidikan sebagai Tindakan Melawan Hukum
Rencana penghentian penyelidikan oleh Polda Sulsel dengan alasan penyelesaian secara kekeluargaan atau yang diklaim sebagai pendekatan Restorative Justice adalah tindakan melawan hukum. Perkara yang dilaporkan bukan delik aduan yang memungkinkan penghentian proses hukum dengan adanya pencabutan aduan oleh korban. Ke-11 terlapor anggota kepolisian diduga telah melakukan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain secara bersama-sama; dan/atau kekerasan terhadap orang secara bersama-sama yang mengakibatkan kematian dan luka berat; dan/atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan luka berat; dan/atau membantu melakukan dan/atau turut serta melakukan tindak pidana, sebagamana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP Subs 170 KUHP Jo. Pasal 351 Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 56 KUHP—yang kesemuanya adalah delik biasa, sehingga bahkan pun ada pencabutan laporan, penyidik tetap berwenang dan berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
Tindak pidana yang disangkakan juga bukan Tindak Pidana Ringan (tipiring) yang dapat diterapkan restorative justice. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP, restorative justice hanya mencakup tipiring yang ancaman hukumannya 3 (tiga) bulan penjara atau kurungan.
Kami pun menilai Polda Sulsel tidak memahami aturannya sendiri. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, perkara tersebut tidak memenuhi syarat baik formil maupun materiel untuk diterapkan restorative justice. Dimana diantaranya adalah, tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat; serta tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat. Syarat serupa juga tertuang dalam surat Edaran Kapolri No. SN/8/VII/2008 yang jadi acuan Polda Sulsel sebelumnya dalam klarifikasi pada KOMPOLNAS dan OMBUDSMAN RI.
Maka sebagaimana ketentuan-ketentuan tersebut, perkara tidak dapat dihentikan penyelidikannya apalagi melalui mekanisme restorative justice.
- Melanggengkan Impunitas dalam Kekerasan oleh Polisi dan Menujukkan Reformasi Kepolisian Mandek
Tidak adanya proses peradilan yang sungguh-sungguh dalam kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan fisik oleh aparat kepolisian yang bernasib serupa. Impunitas dalam kasus-kasus ini menujukkan reformasi kepolisan yang dicitakan POLRI justru mandek, dengan lembaganya yang tetap mempertahan kultur kekerasan. Selain penembakan brutal di Jalan Barukang, terdapat sejusmlah kasus yang didampingi YLBHI-LBH Makassar yang melibatkan Anggota POLDA SULSEL sebagai terduga pelaku penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Diantaranya adalah kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian Agung Pranata di Makassar. Kasus ini dilaporkan sejak 20 Desember 2016 dan menyeret 5 (lima) orang anggota POLDA SULSEL sebagai tersangka. November 2019, 4 (empat) anggota Polres Bantaeng diduga terlibat dalam penyiksaan AS (15) dan Sugianto (22) yang menyebabkan kematian Sugianto. Sejak dilaporkan kasus ini belum juga dilimpahkan ke persidangan.
Sebagaimana pada kasus lainnya, penanganan kasus penembakan barukang tidak dilakukan dengan prinsip peradilan yang cepat dan transparan demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Justru yang ditemukan adalah pola mengulur-ngulur waktu, upaya mendamaikan korban dengan para pelaku, demi melindungi nama baik instansi kepolisian. Pola tersebut ditempuh dengan cara sistematis mulai dari pencabutan kuasa pihak korban dari penasehat hukum, pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi, hingga praktik pemberian ‘uang bungkam’, yang difasilitasi oleh kepolisian dengan ujungnya memberi lampu hijau lewat penghentian penyelidikan.
Untuk itu, berdasarkan fakta-fakta di atas YLBHI LBH Makassar mendesak:
- Kepada KAPOLRI untuk segera mengevaluasi Penyelidikan perkara oleh POLDA SULSEL dikarenakan upaya yang ditempuh dalam kasus ini merupakan tindakan melawan hukum dan diduga kuat sebagai maladmanistrasi. Serta memastikan agar proses penyelidikan tetap berlanjut dan segera ditingkatkan ke tahap penyidikan;
- KOMNAS HAM harus memberikan perhatian khusus terkait kasus ini karena diduga menjadi pola dalam banyak kasus yang melibatkan anggota polisi yang berakibat pada impunitas;
Makassar, 26 Juli 2021
YLBHI-LBH Makassar
Narahubung:
Andi Haerul Karim, S.H., M.H. / 0813-4398-5796
Rezky Pratiwi, S.H. / 0895-3599-53959
Muhammad Ansar, S.H. / 0812-4116-3839
Salman Azis, S.Pd. / 0852-993-7770