Jumat (25/09/20) Forum Solidaritas Mahasiswa peduli rakyat Papua (FSP-RP) menggelar serangkai aksi dengan tuntutan menolak perpanjangan otonomi khusus jilid II serta dibarengi penyerangan yang dilakukan oleh oknum yang diduga berasal dari ormas tertentu, menurut informasi yang didapatkan oknum tersebut selalu hadir disetiap aksi demonstrasi yang di lakukan oleh FSP-RP. Tindakan kekerasan ini dilakukan dilokasi tidak jauh sekitar ±10 meter dari Asrama Papua jalan Lanto Daeng pasewang.
Bahkan sebelumnya, kamis (25/09/20) pada malam hari pukul 19.00 FSP-RP sudah ditangi oleh anggota kepolisian di Asrama Papua agar tidak melaksanakan kegiatan aksi demosntrasi.
Kekerasan dalam bentuk pemukulan ini terjadi ketika peserta aksi dilempari batu oleh orang tidak dikenal dari arah samping barisan yang tepat mengenai kaki Mandela (25) salah satu peserta aksi. Berselang kemudian datang salah seorang oknum ormas yang menghadang barisan hingga terjadilah aksi saling dorong dan beberapa mahasiswa ditarik dan dipukul beramai-ramai, salah satunya Marcho Pahabol (21) sebagai korlap yang mengalami luka sobekan di pelipis kanan dan beberapa mahasiswi mengalami pelecehan (dada/payudara ditarik) hingga mengalami memar. Di lokasi yang sama juga terdapat aparat kepolisian yang hanya melihat dan menyaksikan hal itu terjadi.
Pada pukul 10.05 Wita peserta aksi FSP-RP kemudian masuk kembali ke asrama Papua karena mengingat kondisi mereka sangat sedang tidak menguntungkan. Hingga hanya melakukan orasi di ruang lingkup asrama, sampai peserta aksi membubarkan diri pukul 11.30 Wita
Tindakan premanisme, brutal, dan kekerasan terhadap peserta aksi oleh oknum yang diduga ormas telah menciderai demokrasi serta diduga melanggar HAM dan hukum yang berlaku, serta pembiaran yang dilakukan pihak kepolisian, dinilai lalai dalam melangsanakan tugas.
Analisis Hukum
Pertama, Penghalangan dan pembubaran aksi secara paksa oleh pihak diduga oknum ormas dan kepolisian telah melanggar konstitusi pasal 28 ayat (3), penghalangan serta pembubaran juga sangat bertentangan dengan tugas dan fungsi kepolisian yang seharusnya memberika perlindungan atas penggunaan hak dan kebebasan berpendapat berdasarkan UU nomor 9 tahun 1998. Bahkan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan penghalangan terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan secara damai, tindakan penghalangan dan pembubaran tersebut adalah merupakan tindakan kejahatan yang harus diancam dan diproses secara pidana. Sesuai yang tertuang dalam pasal 18 ayat (1) damn (2) UU nomor 9 tahun 1998 (9/1998) tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum bahwa :
Ayat (1) “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undangundang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. Ayat (2) “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan”.
Kedua, kekerasan yang terjadi pada peserta aksi oleh oknum yang diduga ormas dinilai telah memenuhi unsur dari pasal 170 (KUHP) “barang siapa dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. ”, pasal 351 (KUHP) tentang penganiayaan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah dan mencederai UUD 1945 pasal 28I ayat (1) “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Terlebih lagi dengan menggunakan cara yang represif.
Ketiga, Kepolisian dalam menjalankan tugas pengamanan dinilai telah mengabaikan pasal 13 ayat (2 )UU nomor 9 tahun 1998 “dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Maka tindakan refresif terhadap peserta aksi FSP-RP oleh oknum diduga ormas adalah merupakan tidakan yang dapat dipidana sesuai dengan pasal 60 UU nomor 17 tahun 2017 ayat (1) dan (2) bahwa :
Ayat (1) “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif”. Ayat (2) “Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana”.
Untuk itu, YLBHI-LBH Makassar mendesak kepolisian tetap memberikan keamanan dan perlindungan kepada warga negara yang melakukan demonstras/unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum. YLBHI-LBH Makassar juga mengecam keras oknum diduga ormas yang melakukan tindakan premanisme dan kekerasan terhadap peserta aksi FSP-RP, serta meminta kepada Aparat Penegak Hukum untuk melakukan proses pidana terhadap pelaku kekerasan. Selain itu, YLBHI – LBH Makassar juga menuntut agar Anggota Kepolisian yang diduga sengaja melakukan pembiaran terhadap aksi kekesaran untuk diproses pada sidang disiplin kepolisian.
Dalam konteks Negara Hukum, HAM dan Demokrasi, demonstrasi atau unjuk rasa menjadi salah satu indikator kemajuan demokratisasi di suatu negara. Bilamana demonstrasi/unjuk rasa dihalang-halangi dan justru direspon secara represif oleh aparat penegak hukum ataupun ormas, hal tersebut akan menurunkan citra kualitas demokrasi negeri ini di mata publik dunia internasional.
Makassar, 26 September 2020
YLBHI – LBH Makassar
Narahubung :
A Haerul Karim, S.H. /081343985796
Muh. Fitrah Al Qadri /08114609996