Wujudkan Pembaruan Agraria bagi Petani, Nelayan dan Masyarakat Miskin Kota untuk Struktur Agraria yang Adil

Makassar, 24 September 2023. Hari Tani yang diperingati setiap 24 September, merupakan perwujudan harapan dan semangat kaum Tani untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Jika kita melihat proses penetapan 24 September sebagai hari tani tidak bisa dilepaskan dari semangat pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sebagai implementasi mandat konstitusi agar bumi, air, udara dan seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya yang dikuasai oleh negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Implementasi UUPA sejatinya bukan hanya menjadi harapan petani, namun juga menjadi Harapan seluruh Warga Negara Indonesia, termasuk nelayan, dan kaum miskin kota agar terjadi perubahan struktur agraria yang lebih adil melalui norma hukum ini. Norma hukum Agraria sebelum pengesahan UUPA dinilai memiliki watak negara jajahan, hingga dinilai bertentangan dengan kepentingan warga negara yang merdeka untuk memperoleh kesejahteraan, dan mewujudkan negara yang adil dan makmur.

Di tahun 2023 ini, 63 tahun pasca pengesahan UUPA,  Faktanya belum mampu mewujudkan struktur agraria, baik itu penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, baik itu tanah, air  termasuk wilayah laut, dan ruang udara yang adil untuk masyarakat. Dalam catatan pendampingan di pemantauan YLBHI-LBH Makassar, tercatat berbagai konflik agraria masih terjadi dan menjadi luka kolektif bagi petani, nelayan dan warga miskin kota di Sulawesi Selatan yang menunjukkan sikap kebijakan pemerintah yang tidak bijak dan mempertimbangkan keadilan bagi mereka.

Bagi Warga Lae-Lae, rencana reklamasi di pesisir pulau mereka, menjadi kebijakan pemerintah yang akan mengancam ruang kehidupan mereka. Wilayah laut yang setiap hari mereka jadikan lokasi penangkapan ikan, cumi-cumi dan ambaring, akan ditimbun untuk keperluan pengembangan pariwisata di wilayah tersebut. Nahas nya, kebijakan tersebut dimaksudkan dengan niat baik untuk memajukan perekonomian warga, namun hal tersebut faktanya dilakukan tanpa mendengarkan kebutuhan warga, sehingga kebijakan tersebut menemui penolakan dan perlawanan dari warga yang mempertahankan ruang hidupnya.

Tidak jauh berbeda dari Warga Lae-Lae, Warga di Pesisir Tallo juga merasakan hal yang sama, wilayah yang mereka sering gunakan sebagai wilayah penangkapan ikan, kepiting, cumi-cumi, kanjappang (kerang) juga sudah ditimbun untuk keperluan pembangunan Makassar New Port. Pelabuhan baru yang diklaim menjadi pelabuhan terbesar di kawasan Indonesia timur. Sejak awal dibangun di 2017 hingga saat ini, Warga di pesisir Tallo, masih terus berjuang untuk menuntut agar pembangunan kawasan tersebut tidak diperluas hingga semakin menghancurkan ruang hidup warga yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.

Hal yang dirasakan oleh Warga Tallo, memiliki hubungan dengan Warga di Pulau Kodingareng. Jika wilayah pesisir Tallo dijadikan lokasi timbunan Makassar New Port (MNP), Coppong lompo yang merupakan wilayah tangkap nelayan Tradisional Kodingareng menjadi lokasi penambangan pasir laut, yang menjadi bahan material untuk reklamasi MNP. Hingga saat ini dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, masih memasukkan wilayah penangkapan ikan tradisional sebagai zonasi yang tambang, yang dapat serta merta menjadi wilayah tambang, jika nantinya terdapat keperluan pasir laut untuk pembangunan kawasan baru.

Bagi Petani di Polongbangkeng Utara,  Takalar tahun 2023 ini dan tahun 2024 mendatang menjadi tahun terakhir bagi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Tebu oleh PTPN XIV. Ratusan petani di tahun 1980-an hingga 1990-an dipaksa untuk menyerahkan tanahnya untuk menjadi kebun tebu perusahaan pemerintah, dengan atau tanpa ganti rugi oleh perusahaan dibawah ancaman aparat keamanan waktu itu. Berakhirnya masa HGU tahun ini dan tahun depan, membangkitkan harapan dari petani di 11 Desa di Takalar untuk dapat memperoleh tanahnya kembali guna meningkatkan taraf kehidupan keluarganya.

Selain itu masih terdapat beberapa konflik agraria di  Maiwa Enrekang, Keera Wajo melawan PTPN XIV, Petani Tanamalia Luwu Timur yang bertahan melawan ekspansi aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Vale di lahan pertanian merica warga, serta konflik Masyarakat adat Kajang yang berusaha untuk merebut kembali wilayah adatnya dari penguasaan Perusahaan London Sumatra.

Selain konflik agraria yang melibatkan Petani dan Nelayan, ratusan Warga Bara-Barayya, Makassar juga terus bertahan dari ancaman penggusuran akibat pengabaian terhadap penguasaan tanah dan peralihan hak secara sah dari ahli waris yang sudah dilakukan oleh Warga.

Situasi yang dialami oleh Petani, Nelayan dan Masyarakat Miskin kota, kontras dengan struktur agraria yang dominan dikuasai oleh Perusahan dan Tuan Tanah di Perkotaan. Mereka diberikan perlindungan oleh Aparat Keamanan di tengah warga yang kesulitan untuk mempertahankan ruang hidupnya. Tidak jarang warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya tersebut dilakukan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan untuk meredam upaya perlawanan yang mereka lakukan.

Maka berdasarkan pembacaan situasi tersebut, YLBHI-LBH Makassar menuntut:

  1. Menghapus Zonasi tambang pasir laut dari wilayah tangkap nelayan tradisional
  2. Menghentikan rencana reklamasi di Pesisir Pulau Lae-Lae dan Tallo Makassar.
  3. Mengembalikkan tanah eks HGU PTPN XIV ke Petani Takalar, Maiwa, Keera dan seluruh eks HGU PTPN yang diperoleh dari lahan petani.
  4.  Mengembalikkan tanah masyarakat adat Kajang.
  5. Menghentikan ancaman penggusuran terhadap Warga Bara-Barayya

Secara umum Pemerintah harus  menjalankan amanat UUPA untuk mewujudkan struktur agraria yang adil dan melindungi seluruh warga negara yang berusaha untuk mempertahankan ruang hidupnya.

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

web
Universitas Hasanuddin Hari Ini, Kegagalan Rektor Mengambil Keputusan yang Demokratis
Credits: https://w.wiki/BWWm
PGRI Kota Makassar Berpihak Kepada Pelaku, Mengesampingkan Keadilan Terhadap Siswi SLB Korban Kekerasan Seksual.
Credits: https://w.wiki/BWWm
Siswi Disabilitas Tuli di SLB Makassar jadi Korban Kekerasan Seksual, Pelakunya Seorang Guru
Skip to content