Pada Juli 2019, anggota DPR mengumumkan bahwa Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) sudah diselesaikan 99%. RKUHP yang digadang-gadang menjadi peraturan yang bisa mengikat jati diri bangsa. Bahkan DPR terkesan terburu-buru menutup semua jalur diskusi dengan masyarakat sipil untuk memberikan usulan perubahan. RKUHP bukanlah peraturan yang hanya menyasar satu ataupun dua isu, akan tetapi di dalam 627 pasalnya. Termasuk isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan dan kesetaraan gender. Pada 28 Agustus 2019, DPR menyakini bahwa hanya diperlukan 2 kali sidang saja untuk mencapai konsensus norma-norma dan nilai masyarakat majemuk di Indonesia. Sidang-sidang tersebut akan diadakan pada 16 September dan 24 September, yang digadang sebagai rapat paripurna keputusan pengesahan RKUHP.
Koalisi Makasar Tunda RKUHP menemukan adanya kejanggalan yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut, terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan kesehatan dan kesetaraan gender, yaitu:
- Pasal kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan suami istri.
- Pasal kriminalisasi kepada orang yang bekerja di jalan dan anak terlantar
- Pasal kriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi
- Pasal kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penguguran kandungan
- Pasal yang berpotensi meningkatnya perda dan sikap diskriminatif dalam pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law).
- Pasal dengan pidana retributif yang tidak efektif untuk pengguna narkotika.
Pertama terkait dengan Pasal Kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan suami istri. Bahkan berdasarkan draft 28 Agustus 2019, pasal tersebut sangatlah multitafsir. Bukan saja menyasar pasangan yang bukan suami istri dan kelompok rentan tertentu, namun juga berpotensi terjadinya pemaksaan perkawinan, karena aduannya meluas pada orangtua dan anak. Selain itu pasal zina dan hidup bersama berpotensi mempidana orang-orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke negara karena alasan ekonomi, perbedaan keyakinan dan bahkan penerapan adat budaya setempat. Melalui pasal ini, Negara secara langsung dan sewenang-wenang mencampuri urusan privat dan sosial individu yang tinggal di Indonesia. Lusi Palulungan mengungkapkan bahwa tidak hanya akan melanggar hak privasi warga negara namun juga akan memperlebar ruang-ruang masyarakat luas untuk melakukan main hakim sendiri.
Kedua, terkait dengan kriminalisasi kepada orang yang bekerja di jalan dan anak terlantar. RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (satu juta rupiah). Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir, orang dengan disabilitas psikososial yang diterlantarkan keluarganya dan anak yang hidup di jalan. Secara logika sulit untuk diterima seorang gelandangan di jalan diwajibkan untuk membayar denda 1 juta rupiah. Padahal adanya penggelandangan adalah bentuk kegagalan negara memenuhi kesejahteraan warga negaranya. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kriminalisasi semestinya ditujukkan ke mereka yang mengorganisir penggelandangan, bukan individu yang melakukan penggelandangan.
Ketiga, terkait dengan Pasal yang akan mengkriminalisasi edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi. Kemunduran adalah kata yang tepat terkait dengan pasal ini. Karena promosi dan edukasi alat kontrasepsi hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang dan relawan kompeten dengan penugasan dari pejabat berwenang. Tidak diketahui secara pasti siapa yang pejabat berwenang yang berhak memberikan penugasan tersebut. Belum lagi bagaimana menentukan kompetensi untuk menilai boleh atau tidaknya seorang relawan mempromosikan alat kontrasepsi, sebut saja kondom ke masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan tindakan-tindakan main hakim sendiri kepada penjangkau lapangan untuk pencegahan HIV/AIDS. Pasal ini juga akan menakutkan baik kepada penjangkau lapangan maupun menimbulkan keraguan untuk pekerja seks, misalnya mendapatkan proteksi bagi dirinya dari IMS. Tidak hanya itu, Pasal ini mempidana orang tua atau teman kita yang memberikan informasi terkait alat pencegahan kehamilan sebagai bekal edukasi seksual ataupun persiapan perencanaan pernikahan kepada anak. Padahal menurut Sartika Nasmar dari Perkumpulan Samsara mengungkapkan bahwa sebagian besar remaja, tidak memahami alat reproduksi tubuhnya dan semakin berkembangnya mitos-mitos seksualitas pada masyarakat sehingga dibutuhkannya partisipasi masyarakat dalam hal ini. Begitu pula dengan alat pencegah kehamilan perlulah untuk diberikan informasi yang benar dan tidak hanya mengedepankan pidana..
Keempat, kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penguguran kandungan. Pasal ini menempatkan perempuan hingga tidak memiliki posisi tawar. Disebutkan bahwa perempuan yang melakukan pengguguran kandungan baik dengan persetujuan ataupun tanpa persetujuan akan tetap dipidanakan. Saat ini saja adanya tekanan sosial terhadap perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Padahal pengguguran kehamilan tidak dapat dihilangkan dalam dinamika masyarakat, akan tetapi stigma atas KTD membuat seorang perempuan tak jarang menempuh pengguguran kehamilan yang tidak aman sebagai solusinya. Sartika Nasmar mengungkapkan bahwa pembicaraan terkait dengan aborsi illegal atau legal, aborsi tetap ada sehingga perlunya mengadakan konseling terhadap Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Penguguran kandungdungan menyumbang 75% angka kematian perempuan hamil (BKKBN). Pasal ini sejak awal dirumuskan tidak mengalami perubahan adanya keengganan dari pembuat kebijakan untuk membahas lebih mendalam terkait pasal ini. Keengganan tersebut akan semakin berbahaya untuk kesehatan dan masa depan perempuan.
Kelima, potensi meningkatnya perda dan sikap diskriminatif dalam pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law). RKUHP mencoba mengakomodir hukum-hukum adat di Indonesia melalui pasal mengenai hukum yang berlaku di masyarakat. Namun frasa ‘hukum yang berlaku di masyarakat’ sangat multitafsir. Jika frasa ini tidak didefinisikan dengan jelas dan tidak didiskusikan matang-matang, maka pasal ini berpotensi digunakan oleh oknum-oknum daerah untuk melanggengkan korupsi dan aib-aib politiknya. Di Bulukumba, Sulawesi Selatan pernah ada perda-perda diskriminatif yang tidak diketahui statusnya. Bahkan ada salah satu perdes di Desa Padang yang mengatur tentang pelaksanaan cambuk di 2006. Pertimbangan pembuat kebijakannya membuat perdes itu adalah sebagai judicial alternative , atau penerapan hukum yang diyakini hidup dalam masyarakat. Pembatasan HAM dalam pasal hukum yang hidup dalam masyarakat tidak menjamin dalam pelaksanaannya menjaga masyarakat dari pelanggaran HAM. Rosmiati Sain dari LBH APIK mengungkapkan bahwa hukum yang hidup akan sangat mungkin untuk terangkum dalam perda dan diimplementasikan oleh apparat penegak hukum dan menciderai adat itu sendiri. Belum lagi pasal ini juga akan kontradiktif dengan asas legalitas
Keenam, pidana retributif untuk pengguna narkotika tidak efektif. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan secara tegas bahwa tujuan dari kebijakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Pasal-pasal karet yang tercantum dalam RKUHP justru mengkriminalisasi pecandu yang seharusnya diselamatkan. Andi Iskandar dari Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) mengungkapkan bahwa kebijakan di RKUHP menghilangkan pengutamaan rehabilitasi. Lapas narkotika menjadi tempat mengatur peredaran narkotika, tempat merekrut anak untuk menjadi pengedar. Maka dari itu RKUHP juga malah menghilangkan fungsi administrasi dari UU Narkotika No 38, yaitu rehabilitasi. Karena pendekatan narkotika itu seharusnya kesehatan bukan pemidanaan.
Atas dasar paparan di atas, Koalisi Makasar Tunda RKUHP mendesak agar Pemerintah dan DPR mempertimbangkan ulang rencana pengesahan RKUHP yang secara nyata berpotensi menimbulkan banyak masalah kesehatan. Kami percaya bahwa RKUHP adalah produk hukum yang lahir dari konsensus dan seharusnya bertujuan untuk melindungi masayrakat Indonesia, termasuk warga Bali dan daerah-daerah lain yang letaknya jauh dari pemerintah pusat. Untuk itu kami meminta pemerintah dan wakil rakyat untuk:
- Menunda pengesahan RKUHP dan melanjutkannya pada periode selanjutnya.
- Mengevaluasi lalu menghapus atau mengubah pasal-pasal yang berpotensi membahayakan kesehatan publik masyarakat Indonesia dan kesetaraan gender.
- Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, melakukan pembahasan revisi KUHP secara parsial terhadap ketentuan-ketentuan yang dianggap prioritas dengan melibatkan ahli-ahli pada seluruh bidang terkait termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy),
- Mendorong disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai warisan pembaharuan hukum dan menunda pengesahan RKUHP.
Narahubung:
Rezky Pratiwi (LBH Makassar) 0895359953959
Rosmiati Sain (LBH Apik) 081242843387
Andi Iskandar (PKBI) 0811444176
Lusy Palulungan 081354677677
Sartika Nasmar (Perkumpulan Samsara):085242337321