Perbuatan kedua pelaku amat keji dan mengakibatkan korban mengalami penderitaan secara fisik, mental, serta kerugian sosial dan ekonomi. LBH Makassar menyesalkan tuntutan Jaksa dan vonis hakim yang ringan justru menjadikan kekerasan seksual terhadap anak seolah bukan kejahatan luar biasa. Hal ini menjadi preseden buruk dalam upaya memberantas kekerasan seksual dan mencederai rasa keadilan.
Sekaitan dengan putusan Pengadilan Negeri Parepare yang memvonis dua terdakwa G (16 tahun) dan S (17 tahun) atas Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak, M (14 tahun) pada 24 Juni lalu dengan hukuman penjara selama 5 bulan dan pelatihan kerja selama 1 bulan. Sebelumnya Jaksa dalam perkara tersebut menuntut para terdakwa dengan tuntutan 7 bulan penjara. Pihak korban merasa keberatan atas putusan tersebut, terlebih keterlibatan korban dalam proses serta informasi yang diperoleh pihak korban mengenai perkara amat minim. Setelah menerima permohonan bantuan hukum korban LBH Makassar menyatakan hal-hal berikut;
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa, yang harus disikapi dan ditindak secara luar biasa. Keadaan tersebut pun yang melatarbelakangi pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun kian meningkat. Dalam catahu 2020 Kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus, menempati posisi tertinggi di ranah komunitas dan kedua di ranah personal setelah kekerasan fisik.
Terhadap kedua terdakwa anak, memang hakim wajib memperhatikan aspek kesejahteraan dan tanggung jawab anak serta penghindaran pembalasan. Namun aspek kepentingan korban adalah yang utama dalam pemenuhan keadilan restoratif, tuntutan dan vonis ringan dalam perkara ini justru tidak didasarkan pada hal tersebut. Pelatihan kerja selama 1 bulan sebagai pengganti denda juga tidak memenuhi ketentuan minimum 3 bulan sebagaimana Pasal 78 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Hakim bertindak pasif dengan mengacu pada tuntutan jaksa dan tidak mempertimbangkan situasi dan kepentingan korban sebagaimana kewajibannya dalam Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Dalam pemeriksaan di persidangan, korban dan ibunya justru dicecar pertanyaan yang menyudutkan dari penasehat hukum para terdakwa. Surat yang diklaim sebagai kesepakatan damai antara korban dan dua terdakwa tidak diklarifikasi di persidangan. Sementara pihak korban tidak pernah membuat kesepakatan damai dengan kedua pelaku. Hal ini disebabkan oleh Jaksa yang tidak bertindak profesional dalam memberikan informasi yang cukup tentang perkembangan perkara, sebagaimana ketentuan tentang hak anak korban dalam UU SPPA. Hal ini pun diperparah dengan tidak adanya pendampingan pada pemeriksaan persidangan, sebagaimana ketentuan Pasal 69A tentang Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual.
Atas hal-hal tersebut di atas, LBH Makassar menyatakan:
- Mendesak Komisi Yudisial agar memeriksa Hakim yang memutus perkara atas dugaan pelanggaran etik dalam penanganan perkara;
- Mendesak Kejaksaan RI mengevaluasi jaksa yang menangani perkara dan memeriksa dugaan pelanggaran etik ataupun penyalahgunaan wewenang dalam penanganan perkara;
- Meminta Pemerintah Daerah Kota Parepare untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka pemulihan korban baik fisik, mental, maupun sosial serta mengevaluasi kinerja perangkat daerah yang bertugas dalam memberi perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan.
Makassar, 7 Juli 2020
Lembaga Bantuan Hukum Makassar
Contact person: 0895359953959