Makassar, 29 November 2024. Kobaran titik api bertaburan di beberapa Fakultas yang ada di Kampus Universitas Hasanuddin (27/11). Aksi ini dipicu oleh tangan besi Jamaluddin Jompa selaku Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) dalam mengambil kebijakan. Sekitar Pukul 23.00 WITA aksi berakhir dengan diringkusnya 21 orang Mahasiswa di Polrestabes Kota Makassar.
Api akan selalu menyala jika ada yang memicu, adalah gelagat anti demokrasi yang dihadirkan oleh jajaran kampus dimulai sejak adanya larangan aktivitas malam. Hal ini tentu membatasi ruang gerak dan kebebasan Mahasiswa dalam melakukan aktivitas diluar jam kuliah. Lapakan serta diskusi sering kali dibubarkan oleh satpam kampus.
Disusul, mencuatnya isu kekerasan seksual yang fatalnya, pelakunya merupakan Dosen. Melalui laman sosial media Satgas PPKS Unhas, beberapa dosen telah diberikan sanksi atas perbuatannya yang terbukti telah melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa. Namun lagi-lagi sanksi yang dikeluarkan oleh Rektor melalui rekomendasi dari Satgas PPKS belum memberikan rasa keadilan terhadap Korban.
Situasi mulai memanas ketika Alief Gufran yang merupakan Mahasiswa dari Fakultas Sastra dan Budaya dipecat secara tidak hormat oleh Rektor langsung selaku yang bertanda tangan di atas kertas.
Situasi tersebut yang memicu amarah Mahasiswa Unhas. Kebijakan yang diterbitkan oleh Rektor sama sekali tidak menampakkan nuansa akademis. Terlebih, respon Birokrasi terhadap demonstran dinilai berlebihan. Satuan aparat keamanan merangsek masuk secara brutal menangkap secara acak para Mahasiswa yang ada di dalam Kampus Unhas.
Kesimpulan awal tentu bisa disematkan kepada Unhas, bahwa pembungkaman demokrasi sangat telanjang terjadi. Menggunakan kekuatan satpam ada aparat kepolisian untuk membungkam aspirasi tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar konstitusi.
Larangan Jam Malam dan Kebebasan Akademik
Kebebasan akademik mencakup akses mahasiswa terhadap sumber belajar kapan saja, larangan tersebut membatasi jam aktivitas mahasiswa.
Apalagi Unhas melalui Surat Edaran Nomor Rektor Nomor 09503/UN4.1/HK.05/2023 Tentang Pelaksanaan Aktivitas Akademik dan Non-akademik di Lingkungan Universitas Hasanuddin yang pada pokoknya membatasi aktivitas mahasiswa hanya sampai pukul 20.00 WITA.
Di sisi lain, Unhas memiliki unit usaha hotel dalam kampus yang beroperasi selama 24 jam. Hal ini tentunya tidak berlandaskan asas keadilan dan merugikan mahasiswa sebagai peserta akademik.
Kebijakan ini akan mempengaruhi kualitas pendidikan yang menggunakan prinsip kebebasan akademik, demokratis dan berkeadilan. Kebebasan akademik yang mencakup hak mahasiswa belajar, berskpresi dan mengembangankan diri tanpa pembatasan yang aneh dan tidak ilmiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (c) UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,
“Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.“
Satgas PPKS dan Gagalnya Unhas Menciptakan Ruang Aman
Rentetan demonstrasi menanggapi beberapa hal, salah satunya terkait kejadian pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen di Kampus Unhas. Firman Saleh merupakan tenaga pengajar di Unhas. Firman Saleh juga membimbing Mahasiswa yang penelitian sebagai dosen pembimbing. Diketahui, saat memberikan bimbingan skripsi kepada seorang mahasiswa pada tanggal 25 September 2024 di satu ruangan tertutup, Ia melakukan pelecehan seksual.
Korban yang merasa trauma, melaporkan kejadian tersebut kepada Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas. Namun, laporannya sempat ditolak dan disudutkan atas laporan tersebut.
Korban berhasil membuktikan kejadian pelecehan seksual tersebut, dan Firman Saleh terbukti melakukan pelecehan seksual. Namun, sanksi yang diberikan oleh Satgas PPKS dinilai kurang dan tidak memberi efek jerah terhadap Firman Saleh dengan skorsing selama dua semester.
“Keputusan tersebut bisa merusak kredibilitas Satgas PPKS dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Jika hukuman yang diberikan terasa terlalu ringan, mahasiswa dan masyarakat mungkin akan meragukan komitmen lembaga pendidikan dalam menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini dapat berdampak pada pengabaian kasus kekerasan seksual lainnya, di mana korban merasa tidak ada jaminan perlindungan yang kuat,” jelas Nunuk, Staf Advokasi Perempuan dan Anak
Menanggapi hal tersebut, mahasiswa dari berbagai fakultas melakukan demonstrasi selama berhari-hari. Alih-alih melakukan penanganan yang adil dan berkemajuan, pihak Unhas justru memberikan sanksi pemecatan terhadap mahasiswa Alief Ghufran atas dasar pencemaran nama baik.
Diketahui, Alief Ghufran sebelumnya terlibat dalam aksi demonstrasi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Pihak Unhas memberikan sanksi secara sepihak kepada Alief Ghufran dan tidak memberi peringatan tertulis atas tindakan yang dilakukan.
“Tindakan pemecatan ini berpotensi merusak nilai-nilai akademik yang seharusnya menjadi dasar perguruan tinggi. Universitas seharusnya menjadi ruang yang aman untuk berpikir kritis, berekspresi, dan mengemukakan pendapat, terutama terkait isu-isu sosial, politik, atau kebijakan yang mempengaruhi masyarakat. Jika institusi pendidikan memilih untuk membungkam mahasiswa yang bersuara, maka nilai-nilai kebebasan akademik dan demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi justru terancam,” dalam keterangannya, Hutomo selaku Kadiv Sipil dan Politik
Pelaku KS Diskorsing, Mahasiswa Aksi Ditangkap
Penangkapan itu dilakukan secara acak di berbagai titik, seperti di Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan, Rektorat hingga sekitar lingkungan kampus Unhas.
Dini hari sekitar pukul 02.00 WITA seluruh mahasiswa yang ditangkap dibawa ke Polrestabes Makassar, massa aksi bersama dengan tim kuasa hukum yang mendatangi Polrestabes Makassar tidak diberi akses untuk bertemu dengan mahasiswa.
Sekitar pukul 03.00 WITA, kuasa hukum diberi akses bantuan hukum. Namun, pemeriksaan telah dilaksanakan oleh kepolisian tanpa bantuan hukum. Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian telah melanggar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 54 KUHAP.
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Anti-Demokratis, Birokrasi Unhas Lapor Lembaga Pers Mahasiswa
Sekitar pukul 17.00 WITA, 17 mahasiswa demonstrasi dibebaskan setelah ditahan dan diperiksa tanpa alat bukti yang jelas. Masalah tidak berakhir disitu, 2 mahasiswa yang terindikasi sebagai bagian dari lembaga pers mahasiswa UKPM Unhas masih ditahan hingga gelap tiba.
Kedua mahasiswa tersebut terindikasi dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik, sebelumnya melalui akun instagram @catatankaki UKPM merilis sebuah gambar yang bertuliskan “dosen pemerkosa di skorsing, mahasiswa protes dipecat”.
Hal tersebut yang menjadi dasar pihak Unhas melapor ke Polrestabes Makassar. Aneh bin cilaka, kepolisian yang cacat prosedur ditambah birokrasi kampus anti demokrasi benar benar merugikan mahasiswa.
“Sebagai institusi negara yang didasarkan pada prinsip hak asasi manusia, Unhas harus menghormati setiap hak berekspresi mahasiswa. Postingan tersebut juga didasari atas kekecewaan mahasiswa terhadap kinerja kampus. Masalah lain, kepolisian juga berbuat sesuka hati, seharusnya penangkapan perlu dikuatkan oleh dua alat bukti. Kasus ini, tidak ada bukti kuat untuk menangkap mahasiswa,” tutur Ian, Staf Advokasi Sipil dan Politik”
Sekitar pukul 22.00 WITA, 2 mahasiswa yang ditangkap dan ditahan akhirnya dibebaskan, 2 mahasiswa tersebut tidak terindikasi melakukan tindak pidana apapun. Bersama puluhan mahasiswa yang mengawal penangkapan sejak sehari sebelumnya, mereka membubarkan diri setelah memastikan semua mahasiswa yang ditangkap bebas.
Kasus penangkapan terhadap massa demonstrasi bukan sekali ini saja, polisi seringkali penangkapan secara sewenang wenang. Tentu saja, tindakan kepolisian merusak demokrasi. Kampus juga gagal menghadirkan pendidikan berkualitas dengan melakukan tindakan represi terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi.
Terkhusus Alief Gufran, serta Bunga merupakan korban kebijakan yang sangat anti demokrasi serta tidak menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia. Melalui tangan besi Jamaluddin Jompa, sangat rendah nilai konstitusi di hadapannya, karena kejahatan secara telanjang dipreteli satu persatu.
***
Narahubung: 0851-7448-2383 (Pusat Informasi Resmi – LBH Makassar)