HR (29), Seorang perempuan Miskin, yang juga adalah seorang Ibu Single Parent (orangtua tunggal) dari 3 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Anak petama berusia 12 Tahun, anak kedua berusia 6 Tahun dan anak ketiga masih berusia 2 tahun. Saat ini tengah menjalani penahanan di Rutan Kelas I.A Makassar dan menunggu putusan Hakim di Pengadilan Negeri Makassar setelah sidang pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada tanggal 21 Juni 2021 yang lalu, JPU telah menuntut HR pidana penjara selama 5 Tahun 6 Bulan.
Bandingkan dengan tuntutan JPU terhadap Jaksa PINANGKI yang telah terbukti melakukan 3 (tiga) tindak pidana kelas kakap sekaligus yakni menerima suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat, namun hanya dituntut 4 tahun tahun penjara. Padahal kondisi dan beban sosial HR sebagai perempuan miskin dan ibu “single parent” dari 3 anak kecil, tentu jauh lebih berat. Lagipula HR adalah korban dari para bandar besar narkotika yang belum diberantas oleh institusi penegak hukum.
Tingginya tuntutan JPU terhadap HR dibandingkan dengan tuntutan kepada Jaksa PINANGKI adalah gambaran nyata sikap diskriminatif Kejaksaan terhadap perempuan miskin dan menutup mata terhadap realitas adanya pola eksploitasi kerentanan perempuan miskin dalam peredaran gelap Narkotika. Di mana fakta persidangan telah menunjukkan bahwa terdakwa HR dalam kasus ini hanyalah sebagai korban dari perederan gelap narkotika. Seorang yang berinisial “HN” (saat ini DPO) telah memanfaatkan kemiskinan HR untuk mengantarkan 3 sachet narkotika jenis sabu kepada salah seorang pecandu (Terdakwa lainnya dalam perkara yang sama), yang ternyata HR sama sekali tidak mendapatkan upah.
Pun berdasarkan hasil uji laboratorium forensik Polda Sulsel Nomor Lab: 4992/NNF/XII/2021 Tanggal 11 Desember 2020, tes urin HR positif mengandung metamfetamina, terungkap pula bahwa HR menggunakan narkotika karena beban kehidupan sosialnya yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual pisang epe’ di emperan jalan di malam hari serta beban tanggungjawab menghidupi keluarganya dengan tiga anak yang masih kecil-kecil.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, semestinya HR dituntut sebagai penyalahguna kategori pengguna yang berhak memperoleh rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Kepala BNN No. 11/ 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial dan aturan teknis dalam pelaksanaan SEJA tersebut.
Tuntutannya JPU juga telah abai terhadap komitmen Kejaksaan Agung RI dalam PERJA No. 15 Tahun 2020 yang telah mengedepankan sisi humanis dan pemulihan keadaan daripada pendekatan pembalasan. Pun dalam Pedoman Jaksa Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Untuk perkara tindak pidana dimana perempuan dan/atau anak sebagai pelaku, JPU harusnya mempertimbangkan keadaan khusus yang melatarbelakangi tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan dan/atau anak dengan memperhatikan, diantaranya, riwayat kekerasan yang pernah dialami, kondisi psikologis, posisi dalam kelompok rentan, kondisi stereotip gender dan relasi kuasa, dan/atau kondisi lain yang melatarbelakangi. Demikian berdasarkan alat bukti terhadap keadaan khusus dimaksud Penuntut Umum dapat menggunakannya sebagai pertimbangan sebagai alasan pembenar, meniadakan kesalahan, ataupun keadaan yang meringankan.
JPU juga tidak mempertimbangkan kondisi sosial kehidupan dan kepentingan ketiga anak dari Terdakwa HR yang masih kecil-kecil. Jauh dari semangat UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dimana Pasal 1 Ayat (2) menyatakan “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Satu-satunya harapan adalah putusan Hakim yang rencananya akan dibacakan pada hari senin besok (19/07/2021), olehnya itu Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo diharapkan akan memberikan putusan dengan pendekatan Restorative Justice (Keadilan yang memulihkan) yang telah menjadi salah satu arah kebijakan dan strategi bidang penegakan hukum dalam RPJM Nasional 2020 – 2024 (Perpres No. 18/ 2020)
Putusan Majelis Hakim yang bijak berupa rehabilitasi sosial dan/atau rehabilitasi medis terhadap HR, berdasarkan ketentuan Pasal 127 UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Juncto SEMA No. 4/2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial Juncto SEMA No. 03/ 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Makassar, 18 Juli 2021
FORUM ADVOKAT PROBONO MAKASSAR
PEMBELA HAK PEREMPUAN & ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
[PBH PERADI MAKASSAR, LBH MAKASSAR, LKBH UIN ALAUDDIN, UKBH FH UNHAS, LBH SALEWANGANG, LBH APIK SULSEL, YLBHM, PBHI SULSEL, YOUNG LAWYERS COMMITTEE MAKASSAR, DEWI KEADILAN]
Nara Hubung – Tim Panesihat Hukum Terdakwa HR
- Abdul Jamil, S.Hi., M.H (PBH PERADI MAKASSAR) : 085241280719
- Tri Ariadi Rahmat, S.H. (PBH PERADI MAKASSAR): 082260567095