PERNYATAAN SIKAP
YLBHI – LBH Makassar
Nomor: 021/SK/LBH-MKS/IX/2020
“TUNDA PILKADA UNTUK KESELAMTAN RAKYAT”
EVALUASI KEBIJAKAN MENGATASI COVID
Saat ini Indonesia masih dalam masa kedaruratan kesehatan, sebagaimana Presiden RI melalui KEPRES No. 11 Tahun 2020 yang dimana KEPRES tersebut telah mengamanahkan untuk mengatasi COVID 19 berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Namun hingga sat ini, pemerintah tampak tidak memiliki kemampuan untuk secara progresif melakukan pencegahan penyebaran virus. Tindakan yang dilakukan Pemerintah sejauh ini hanya sebatas himbauan. Sementara negara kita telah mengatur melalui Undang-Undang ketentuan-ketentuan pembatasan dalam hal terjadi darurat kesehatan.
Indonesia sebagai negara Hukum dan menghormati HAM, sudah sepantasnya mengambil tindakan-tindakan berdasarkan Undang-Undang dalam melindungi rakyatnya. Indonesia sendiri jelas telah memiliki perangkat undang-undang untuk melakukan pembatasan-pembatasan guna mencegah penyebaran virus, tapi tidak digunakan dengan alasan akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Jika dievaluasi, pemerintah sejak awal gamang dalam mengambil tindakan, hanya menghimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah dan melakukan protokol kesehatan, hingga pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan pencegahan COVID-19. Peraturan tersebut kemudian dijadikan acuan oleh pemerintah daerah untuk menerapkan PSBB di daerahnya masing-masing, dengan terlebih dahulu meminta izin kepada menteri. PSBB kemudian dianggap gagal, minimal terdapat 3 kegagalannya:
- Pemerintah gagal mendisiplinkan masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan, sehingga penyebaran virus terus meningkat;
- Pemerintah gagal memenuhi hak ekonomi, sosial budaya masyarakat selama PSBB, sehingga pendisiplinan masyarakat pada poin 1 tidak mampu di kendalikan.
- Pemerintah gamang, antara memilih menyelamatkan masyarakat dari pandemi atau penyelamatan ekonomi.
Pada akhirnya, pemerintah kemudian memilih menyelamatkan ekonomi kemudian mengumumkan untuk tidak lagi menggunakan PSBB dan mendorong masyarakat untuk menjalani kehidupan normal yang baru. Kantor-kantor, pusat perbelanjaan, dll, diperbolehkan untuk kembali beroperasi dengan syarat menerapkan protokol kesehatan. Selama kehidupan normal baru (New Normal) diterapkan, penyebaran virus tidak pernah menurun bahkan terus menerus menanjak. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam mengatasi penyebaran Covid-19 sekaligus gagal memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap penyebaran COVID-19.
Kehidupan normal yang baru sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah sebuah model kebijakan yang sama sekali tidak didukung oleh Undang-Undang, Sementara kita tahu bahwa kebijakan pemerintah untuk membatasi masyarakat adalah pembatasan HAM yang berdasarkan Pasal 28 J Ayat 2 UUD 1945 pada prinsipnya menyatakan bahwa pembatasan HAM hanya dapat dilakukan melalui UU. Dampaknya, pemerintah menerapkan kebijakan New Normal secara serampangan, tidak terukur, tidak terstruktur dan berpeluang melanggar HAM.
Peluang pelanggaran HAM dapat terjadi pada penjatuhan sanksi kepada yang diduga melanggar protokol yang dapat merendahkan harkat dan martabat manusia karena pembatasan-pembatasan beserta sanksinya tidak diatur dalam Undang-Undang.
PILKADA DALAM KEDARURATAN KESEHATAN
Saat ini, KPU telah mengagendakan pelaksanaan pilkada serentak di tengah kegagalan pemerintah mengatasi COVID-19. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan kepada masyarakat seolah menganggap bahwa kehidupan kita telah benar-benar normal dan masyarakat secara patuh telah melaksanakan protokol kesehatan dan kenyataannya tidak demikian. Pendaftaran pasangan calon kepala daerah menunjukkan banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, apalagi tahapan berikutnya adalah tahapan yang akan mengumpulkan banyak orang seperti tahapan kampanye.
Di satu sisi, pilkada adalah jaminan HAM bagi Rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan[1], namun pemilu juga wajib menjamin rasa aman bagi semua warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya[2]. Dengan melaksanakan Pemilu dalam keadaan Pandemi tidak akan memberikan jaminan rasa aman kepada masyarakat untuk melaksanakan semua tahapan pilkada, bahkan cenderung akan melanggar hak-hak lainnya seperti hak atas hidup dan hak atas kesehatan.
Untuk itu, penundaan pilkada dalam keadaan pandemi hingga berakhirnya COVID-19 adalah langkah penting yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk menjamin rasa aman kepada Rakyat yang akan menjalankan hak pilihnya, hal mana telah diatur dalam Pasal 201A Ayat 3 PERPPU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur bahwa “Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A”. Kita tahu, pemerintah saat ini masih belum mampu mengatasi penyebaran COVID-19, bahkan peningkatan jumlah infeksi semakin meningkat. Untuk itu, penggunaan Pasal 210A Ayat 3 PERPPU No. 2 Tahun 2020 tersebut akan relevan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, LBH Makassar menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak Pemerintah dan KPU Menunda pelaksanaan pilkada hingga bencana nonalam akibat Pandemi Covid-19 berakhir dalam rangka menjamin rasa aman kepada pemilih untuk memberikan Hak Suaranya;
- Mendesak pemerintah untuk melakukan upaya-upaya yang efektif guna mengatasi penyebaran COVID-19 sesuai hukum yang berlaku;
Demikian untuk disebar luaskan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih
Makassar, 22 September 2020
YLBHI – LBH MAKASSAR
Muhammad Haedir
Direktur
[1] Hak berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara diatur dalam Pasal 21 DUHAM dan Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 28 D UUD NRI 1945.
[2] Hak atas rasa aman daitur dalam Pasal 28 UU HAM, Pasal 28 G UUD NRI 1945.