Berbagai Kebijakan dan regulasi yang dirancang oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang secra pengkajian kritis akan membuat masyarakat indonesia semakin terpuruk yang mengarah pada jurang pembungkaman, pengekangan dan kemiskinan yang akan jauh dari keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang nilai landasannya ada pada Hak Asasi Manusia.
Saat ini ada beberapa Rancangan maupun Revisi Undang-undang (UU) yang dianggap bermasalah dan ditolak oleh kalangan Mahasiswa, Buruh, Tani dan kaum miskin kota seperti RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini telah disahkan, RUU pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, dan RUU Sumber Daya Air dan juga RUU lainnya yang tidak pro Rakyat. Kemudian, berbagai elemen Rakyat Indonesia juga mendorong agar disahkannya RUU Pencegahan Kekerasan Seksual, yang akan memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan Indonesia.
Selain Itu, polemik diskriminasi rasial yang terjadi terhadap bangsa papua sampai saat ini belum juga terselesaikan. Kasus dugaan pembuangan bendera merah putih ke dalam saluran air yang berada di depan Asrama Papua di Surabaya membuat berbagai elemen, mulai dari Ormas sampai pada Aparat Keamanan melontarkan diskriminasi rasial bahkan sampai pada tindakan yang represif. Dugaan pengrusakan tiang bendera merah Putih tersebut tidak terbukti dilakukan oleh mahasiswa Papua. Kejadian tersebut mendorong terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh Mahasiswa maupun masyarakat papua di berbagai wilayah di Indonesia yang menuntut agar diadilinya pelaku diskriminasi rasial, bahkan sampai pada menyuarakjan referendum untuk bangsa papua.
Saat ini, Aktivis HAM untuk Papua seperti Surya Anta Dkk., yang menyuarakan aspirasinya dikriminalisasi oleh Aparat Kepolisian karena diduga terlibat dalam pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Negara (yang dianggap makar). Kejadian serupa juga terjadi di Papua. Terdapat beberapa aktivis HAM di Papua juga ditangkap dengan dugaan serupa. Bahjan ada juga yang ditangkap atas dugaan menjadi pemicu terjadinya kerusuhan. Total Aktivis HAM untuk Papua yang ditahan oleh aparat kepolisian sebanyak 22 orang (termasuk di Papua).
Penangkapan dan penahan para aktivis HAM untuk Papua tersebut jelas merupakan gejala penurunan kualitas demokrasi di Indonesia, khususnya pada aspek kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Banyak ahli hukum menyebut bahwa penerapan pasal 106 KUHP yang disangkakan harus memuat unsur aanslag (serangan fisik). Padahal para aktivis tersebut mengekspresikan aspirasi politiknya secara damai dan tanpa kekerasan. Sekalipun aspirasi yang mereka suarakan adalah kemerdekaan Papua, selama disampaikan secara damai, tidak bisa dikenai pasal tersebut.
Kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, dan berserikat dijamin oleh pasal 18, 19, dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi pemerintah dalam UU No. 12 tahun 2005. Bahkan, pasal 19 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Polemik RUU tidak Pro Rakyat, dorongan pengesahan RUU-PKS sampai polemik mengenai papua memicu terjadinya aksi besar-besaran di berbagai wilayah di Indonesia. Di Makassar sendiri aksi besar-besaran tersebut terjadi mulai dari 23 – 30 September 2019 yang dilangsungkan oleh berbagai alisansi, front, solidaritas, maupun gerakan mahasiswa. Namun, aksi tersebut tidak sepenuhnya ditanggapi dengan baik oleh aparat keamanan dalam hal ini pihak kepolisian. Tercatat, aksi pada 24-27 September 2019 di Kota makassar mendapat tindak represif dari pihak keamanan. Bahkan beberapa korban dari massa aksi harus mendapatkan penengan cepat dan intensif dari rumah sakit akibat luka-luka yang diderita.
Oleh karena itu, Kami dari Aliansi Masyarakat Sipil Melawan Oligarki menuntut kepada Pemerintah agar:
- Batalkan Revisidan/atau Rancangan UU yang tidak pro rakyat.
- Batalkan Revisi KUHP.
- Sahkan dengan cepat RUU-PKS.
- Bebaskan 22 tahanan aktivis politik Papua—termasuk Surya Anta—tanpa syarat.
- Hentikan kriminalisasi aktivis pembela hak asasi manusia (human rights defenders) yang mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah Papua.
- Usut dan adili pelaku ujaran dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus mencabut pasal-pasal makar karena rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi
- Tarik TNI/POLRI dari tanah Papua.
- Adili pelaku kekerasan terhadap massa aksi demonstran di kota Makassar yang dilakukan pada 24-27 September 2019.
Makassar, 21 Oktober 2019
Aliansi Masyarakat Sipil Melawan Oligarki