“Sulawesi Selatan Darurat Agraria dan Demokrasi, Selamatkan Konstitusi dan Jalankan Reforma Agraria Sejati Adil Gender.”

Tanggal 24 September 2024 diperingati sebagai hari lahir UU Pokok-Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dalam usia 64 tahun. Dan karena keberpihakan, pengakuan serta penghormatan atas tanah-tanah rakyat, hak ulayat, hak turun temurun khususnya kaum tani sebagai salah satu kelas yang dominan di negara agraris maka 24 September akhirnya ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 169 tahun 1963. Namun, sepanjang 64 tahun UU PA kedaulatan kaum tani dan kaum miskin pedesaan juga perkotaan di berbagai wilayah atas sumber-sumber agraria mereka semakin mengenaskan. Rezim Joko Widodo alih-alih melakukan koreksi atas ketimpangan struktural yang akut.

Kebijakan agraria yang lahir justru semakin jauh dari agenda reforma agraria dan sangat ultra liberal. Kebrutalan kebijakan rezim Jokowi dalam sepuluh tahun kekuasaannya telah melahirkan bentuk pemerintahan yang sangat kolonial, beraroma feodal bersama dinasti, oligarki dan kroni-kroninya baik di eksekutif, legislatif juga yudikatif. Konflik-konflik agraria, bencana ekologis, pelanggaran HAM dan pembajakan Demokrasi terus terjadi sepanjang masa pemerintahannya.

Tercatat sepanjang tahun 2015-2023 lahir 2.939 letusan konflik agraria, di atas 6.309,261 Ha dengan 1.759,308 KK terdampak atau hampir 9 juta jiwa di seluruh Indonesia. Ribuan dikriminalisasi, ratusan jiwa melayang, dianiaya juga tertembak peluru aparat. Belum lagi korban pelanggaran HAM lainnya di buruh, buruh migran, mahasiswa, aktivis juga jurnalis. Serta korban jiwa serta benda karena bencana ekologis (banjir, longsor) akibat investasi ugal-ugalan yang menyebabkan lingkungan rusak dan hancur.

Konflik agraria dan bencana ekologis ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan monokultur, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, wisata premium, reklamasi kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil. Situasi ini menyebabkan rakyat terusir dari tanah/kampungnya dan menjadi buruh tenaga kerja murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri. Perempuan dan anak mengalami kekerasan yang berlapis-lapis di semua sendi kehidupannya.

Fenomena penggusuran dan perampasan tanah pertanian untuk pembangunan infrastruktur dan investasi di sektor ekstraktif tidak hanya memaksa alih fungsi lahan, namun juga membuat para petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan yang bekerja di dunia pertanian menjadi semakin gurem atau bahkan terlempar pada sektor lain. BPS mencatat, pada tahun 2023 terdapat 17,24 juta rumah tangga petani dengan status gurem di Indonesia. Artinya terjadi peningkatan sebanyak 2,62 juta petani gurem atau naik 18,54 persen dari tahun 2013 dengan 14,25 juta petani.

Jika Suharto memiliki program Repelita, SBY dengan MP3EI, rezim Jokowi berkelindan dengan Proyek Strategis Nasional – PSN yang menghidupkan model penjajahan era kolonial juga menjadi kebijakan yang mendorong Penggusuran Skala Nasional. Pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja kemudian dibuat aturan turunan yang melanggar dan mengkhianati konstitusi UUD 1945. Untuk memastikan tak ada halangan, pemerintah terus-menerus membentuk badan-badan baru guna mendukung PSN seperti Bank Tanah, Otorita Ibu Kota Negara, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, Otorita Labuan Bajo, dan lembaga -lembaga sejenis diberikan berbagai keistimewaan termasuk penguasaan, penggunaan, pengelolaan tanah dan modal, hingga kewenangan pengembangan bisnis serta kemudahan bertransaksi. Kewenangan dan aset negara yang diberikan kepada badan-badan baru semacam ini ibarat menciptakan negara dan kerajaan kecil di dalam negara, di mana abuse of power dan korupsi agraria dapat tumbuh subur dan terstruktur. Lembaga-lembaga baru ini menjadi negara di dalam negara yang diberikan kewenangan dan kekuasaan yang begitu luas untuk menguasai dan mengatur tanah dalam skala besar. Segala kebijakan ini berlangsung dengan basis domain verklaring yang berprinsip, jika seseorang tak dapat membuktikan bahwa tanahnya merupakan miliknya (tak ada lagi pengakuan dan penghormatan akan sejarah hak ulayat, turun temurun, tanah adat) maka tanah itu adalah tanah negara yang tak berhak diduduki rakyat.

Ratusan aturan selama pemerintahan Jokowi dibuat dengan meninggalkan partisipasi dan mempercepat perampasan tanah dan kerusakan lingkungan, PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, PP 124/2021 tentang Modal Badan Bank Tanah;, PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah;, PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; PP 20/2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar; PP 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah; PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan; PP 40/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus; PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Pada tahun 2023, sebut saja misalnya revisi UU IKN dengan memberikan izin 190 tahun HGU dan 160 tahun HGB.dan PP No 12 Tahun 2023 tentang Perizinan dan Penanaman Modal di IKN, PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Perpres No. 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi, Perpres No. 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Padahal Pemberian konsesi HGU dan HGB hampir 2 abad bagi badan usaha skala besar sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan dan pembaruannya), adalah bentuk pelanggaran UUD 1945, UUPA, dan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 terkait pengujian UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Begitupun Tanah-tanah yang “terlanjur” dirampas, diklaim, dan dikuasai secara melawan hukum oleh pengusaha untuk bisnis sawit, tambang, dan hutan tanpa izin/hak atas tanah, dapat dilegalkan hanya dengan mengakui (mendaftar) dan membayar denda pada pemerintah (dalam hal ini yaitu KLHK dan BKPM). Pemerintah memberikan pengampunan bisnis ilegal sawit, tambang, dan hutan melalui kebijakan forest amnesty yang diatur pada Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.

Ditetapkan dan berlakunya UU Cipta Kerja dengan aturan turunannya juga menyebabkan revisi ruang untuk kepentingan pemodal terus dilakukan dan dimudahkan. Tampak Situasi agraria dan alokasi ruang di Sulawesi Selatan juga semakin dimonopoli dan diperuntukkan untuk investor. Hal ini dapat dilihat pada Perda RTRW Provinsi Sulawesi Selatan No. 03 Tahun 2022 untuk sektor pertambangan seluas 68.576,54 Ha, dimana 30.497,82 Ha sudah berada dalam IUP/WIUP. Sedang 38.078,72 menjadi wilayah yang dicadangkan untuk Pertambangan dan Energi dengan alokasi 11.696,04 Ha berada di daratan dan 26.382,68 Ha untuk alokasi tambang pasir laut. Total konsesi tambang Sulsel adalah 317.955,48 Ha dengan 432 IUP/WIUP. PT. Vale, Masmindo Dwi Area, Citra Lampia Mandiri, Bosowa, Conch, Tonasa adalah beberapa perusahaan tambang yang memonopoli sumber agraria di Sulsel. Terjadi peningkatan signifikan izin yang dikeluarkan jika pada tahun 2022 hanya 27 dengan luasan 1.709,19 ha namun 2023 terbit 215 izin dengan luasan 25.857,35 Ha.

Ketimpangan agraria yang disebabkan oleh perampasan tanah-tanah rakyat oleh konsesi-konsesi perkebunan monokultur seperti PTPN XIV di Polongbangkeng Takalar, Enrekang, Wajo, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap, Gowa maupun milik swasta seperti PT. Seko Fajar, Sinar Indonesia Merdeka, PT. London Sumatera – Lonsum di Bulukumba yang bahkan telah hadir lebih dari 1 abad adalah bentuk kezaliman rezim yang anti RA. Penguasaan sumber-sumber agraria oleh korporasi perkebunan baik swasta atau BUMN di provinsi Sulawesi Selatan tercatat terdapat di 190 desa/kelurahan di 18 kabupaten dengan jumlah konsesi 76 Hak Guna Usaha dengan total luasan 112.627,65 Ha. PT. Perkebunan Nusantara yang terdapat di 9 kabupaten, 32 kecamatan dan 112 desa dengan luas keseluruhan mencapai 56.998,18 Ha. Tercatat terdapat 5 Hak Guna Usaha PTPN telah berakhir namun masih melakukan klaim dan pendudukan serta pengolahan lahan secara ilegal, bahkan terdapat unit usaha PTPN yang tidak memiliki Hak Guna Usaha yang melakukan perampasan tanah milik petani di Kabupaten Luwu Timur.

Disektor infrastruktur terdapat 33 proyek di Sulawesi Selatan yang terbagi dalam berbagai proyek mulai dari, Kawasan Industri, energi, properti dan transportasi. Dimana proyek yang masuk PSN seluas 10.806 HA sedangkan Non PSN seluas 12.470 HA. Total luas keseluruhan sebesar 23.276 Ha yang tersebar di 20 kabupaten/kota. Sebagian besar proyek tersebut berada di pesisir dan mengancam kehidupan nelayan, perempuan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dari 4,6 juta Ha lebih luas wilayah Sulsel, masuk dalam klaim hutan negara berdasarkan SK.362/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2019 seluas 2.532.182 Ha. Dengan penguasaan korporasi hutan INHUTANI Gowa – Maros yaitu 12.463 Ha. 2.532.182 Ha. Klaim kawasan hutan negara tahun 1970 an hingga saat ini yang diawali dengan program reboisasi terhadap lahan pertanian, kampung-kampung menjadi salah satu penyebab konflik agraria tertinggi di Sulsel. Dari luas kawasan hutan tersebut, terdapat sekitar 1016 desa yang berada didalam dan sekitar kawasan hutan negara dan sering terjadi kriminalisasi petani dengan tuduhan pengrusakan, penyerobotan hingga menggunakan UU P3H. Upaya pemerintah dalam mengembangkan energi baru terbarukan dengan dalih krisis iklim menjadi sebuah ancaman baru bagi masyarakat yang wilayahnya terdapat potensi penghasil energi, salah satunya adalah pembangkit energi geothermal panas bumi. Hingga saat ini terdapat 19 titik Lokasi yang memiliki potensi geothermal yang tersebar di 10 kabupaten di Sulawesi selatan. Penggusuran dan ancaman konflik agraria tidak hanya terjadi di daratan tapi juga di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tambang Pasir laut, Reklamasi Lae-lae, Privatisasi Wisata Bahari 12 Kepulauan Sangkarrang Makassar serta peruntukan Proyek Strategis Nasional seperti 3.500 Ha KIBA di Bantaeng, MNP di Bulao Tallo, Kawasan Industri Terpadu Takalar yang difokuskan dalam pengolahan industri logam alumunium dan tembaga di Pesisir Takalar, proyek Water Front City Bulukumba, PLTU di Jeneponto dan tambang pasir sungai Sa’dan di Pinrang serta proyek investasi pendukung IKN akan menjadi mimpi buruk tak berkesudahan. Ancaman penggusuran dan perampasan tanah seperti di Tanjung Alang, Bara-baraya, Beroangin, Ujung Tanah, yang ditengarai melibatkan drakula dan mafia tanah yang berkelindan dengan kekuasaan juga tak berhenti. Pun pedagang kecil kaki lima di pintu 0 kampus Universitas Hasanuddin akan menambah peristiwa ketidakadilan sosial di rezim hari ini.

Masalah-masalah agraria yang tak kunjung selesai bahkan terus menghadirkan konflik dan kronik agraria juga akan berdampak pada kedaulatan pangan. Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan, berubah dan hancurnya lanskap lahan-lahan sumber pangan, hilangnya kedaulatan pangan petani, masyarakat adat, perempuan-perempuan petani, perempuan nelayan dan masyarakat pedesaan serta sistem pertanian rakyat yang penuh dengan kearifan dan kekayaan lokal yang membudaya, Dan tentunya ancaman bencana karena ugalan-ugalan pemberian konsesi dan monopoli investor akan menempatkan posisi rakyat khususnya perempuan dan anak, petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat pesisir pulau dan pedesaan, buruh, mahasiswa dan kelompok rentan lainnya semakin terpuruk dan tak berdaulat. Ironisnya persoalan pangan malah disandarkan pada korporasi pangan proyek Food Estate yang telah terbukti gagal dan dipenuhi praktek kerugian negara triliunan rupiah. Jika Perusahaan dan Pengusaha diberikan kemudahan sangat istimewa dalam memonopoli kekayaan negara, berbanding terbalik dengan hasil Sensus Pertanian BPS yang menyebutkan rumah tangga pengguna lahan pertanian di Sulawesi Selatan berjumlah 1.010.912 dengan petani gurem sebesar 426.742 atau sebesar 42.21% keluarga. Angka ini naik 69.72 keluarga dari tahun 2013 atau dalam 10 tahun. Persentase petani gurem di Sulawesi paling tinggi terdapat di Sulawesi Selatan yaitu sebesar 41.23 persen dari 338.108 RTP tahun 2013 menjadi 426.272 RTP tahun 2023 atau naik 20,62 persen. Inilah dekade wajah kegagalan rezim Jokowi dengan segala pembelokan dan pengkhianatan konstitusi demi dinasti, kroni dan oligarki.

Karena Kekuasaan yang secara waktu hanya 5 sampai 10 tahun tetapi mampu mengeluarkan kebijakan yang telah/akan dirasakan puluhan tahun bahkan seabad oleh Rakyat Indonesia melampaui periodisasi penguasaan rezim itu sendiri. Oleh sebab itu, mari Rakyat Indonesia untuk tidak lagi menggadaikan masa depan kita, sumber sumber agraria kita, kampung, tanah kelahiran, wilayah adat, kota, gunung, hutan, pesisir dan pulau-pulau untuk kita serahkan kepada mereka yang akan bermanis-manis dan menipu rakyat dalam Kontestasi Politik Pilkada November Mendatang. Jangan serahkan hidupmu dan suaramu kepada mereka yang tak memberikan jaminan penuh atas tanah-tanah Rakyat. Mari memastikan tak akan ada suara Rakyat jika tak ada Tanah. Sebab “Tiada Guna Demokrasi Tanpa Reforma Agraria Sejati!

Atas situasi tersebut dan demi Penyelamatan serta Penegakan Konstitusi Negara, Aliansi Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah Menuntut dan Mendesak:

  1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industri Nasional
  2. Tolak dan Lawan Perpanjangan HGU PTPN 1 Regional 8 Takalar
  3. Tolak dan lawan Pembaharuan HGU PT. Lonsum Bulukumba
  4. Tolak Pembangunan dan Perluasan MNP
  5. Hapus Zona Tambang Pasir Laut dan Reklamasi dari Perda RTRW Sulsel
  6. Tolak Reklamasi Pulau Lae-lae
  7. Lawan Penggusuran Barabaraya, Beroangin, Ujung Tanah, Pedagang Pintu 0 UH, dan Tanjung Alang
  8. Tolak IUPK PT. Vale Luwu Timur dan KK PT. Masmindo Dwi Area kabupaten Luwu
  9. Hentikan Kriminalisasi dan Represifitas Gerakan Rakyat
  10. Cabut UU Cipta Kerja dan Seluruh Aturan Turunannya (Bank Tanah, HPL, dllnya)
  11. Tolak Pembangunan Geothermal serta Proyek Energi dan Solusi Palsu Krisis Iklim
  12. Sahkan RUU tentang Masyarakat Adat dan RUU PPRT
  13. Cabut PP 26 tentang Pemanfaatan Sedimentasi Laut
  14. Usut tuntas dan Tangkap Para Mafia Tanah
  15. Tolak RUU Penyiaran
  16. Cabut Permendikbud No. 2 tahun 2024
  17. Wujudkan Perda Ketenagakerjaan di Sulsel
  18. Cabut SK Skorsing dan SE di Kampus UINAM
  19. Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi pada Rakyat

Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah

KPA SS, AGRA Sulsel, PPSS, SP AM. SPSS, LBH Makassar, BPAN, Walhi Sulsel, Petani Polongbangkeng Takalar, Nelayan dan Warga Pulau Lae-Lae, Perempuan Pesisir Tallo-Buloa, Jurnal Celebes, FNKSDA, Kontras Sulawesi, Fosis UMI, Komunal, FMN Makassar, SMI, PMBI, BEM FIP UNM, BEM Faperta UH, HMPS Pend. Ekonomi UNM, BEM FISH UNM, BEM FMIPA UNM, BEM UNM, BEM FEB UNM, BEM Kehutanan UH, Ekonomi UIN,

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2024-10-01 at 12.32
WARGA TOROBULU MENANG! 2 PEJUANG LINGKUNGAN DIPUTUS LEPAS PN ANDOOLO
Foto: LBH Makassar
Terbukti Tidak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi PT. GNI Ajukan Praperadilan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Sumber: Google Image
Warga Protes Tindakan Penyerobotan PT. Masmindo, Berbalas dengan Tembakan Gas Air Mata
Skip to content