“Sidang Pembacaan Tuntutan Dua Kali Tunda, Hakim Harus Bertindak Tegas Kepada Penuntut Umum”

Sidang kasus kriminalisasi tiga petani Soppeng kembali ditunda. Harusnya tanggal 24 November 2020, sesuai dengan jadwal persidangan, Penuntut Umum sudah harus membacakan tuntutannya terhadap tiga terdakwa; Natu bin Takka, Ario Permadi bin Natu dan Sabang bin beddu. Akan tetapi, Penuntut Umum belum menyelesaikan tuntutannya dan meminta waktu satu minggu kepada Majelis Hakim untuk menyelesaikan tuntutannya. Satu minggu kemudian, tanggal 1 Desember 2020, Penuntut Umum masih belum menyelesaikan tuntutannya dan kembali meminta waktu satu minggu lagi untuk menyelesaikan tuntutannya. Majelis Hakim yang mengadili perkara ini memberi kesempatan terakhir kepada Penuntut Umum untuk menyelesaikan tuntutannya dan akan dibacakan ada tanggal 8 Desember 2020.

Dua kali penundaan pembacaan tuntutan telah melanggar asas persidangan cepat. Apalagi, kasus ini merupakan tindak pidana khusus kehutanan yang diatur berdasarkan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU P3H, yang menyatakan bahwa:

“Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum”

Jika dihitung setidak-tidaknya sejak tanggal sidang pertama terhadap ketiga terdakwa, yaitu tanggal 29 September 2020, maka berdasarkan jangka waktu 45 hari, seharusnya Majelis Hakim sudah harus menjatuhkan putusannnya selambat-lambatnya tanggal 13 November 2020. Oleh karenanya, Majelis Hakim yang mengadili perkara ini harus tegas kepada Penuntut Umum. Karena penundaan yang berulang ini membuat proses persidangan semakin lama dan tak kunjung memberi kepastian hukum kepada para terdakwa.

Penundaan ini, mengindikasikan bahwa Penuntut Umum tidak yakin bisa membuktikan dakwaannya terhadap tiga Petani/Terdakwa. Oleh karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan membuktikan bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk kualifikasi subjek hukum yang diatur dalam UU P3H. Sehingga perbuatannya tidak termasuk kategori tindak pidana. Apalagi, dalam proses persidangan ini, telah terjadi perubahan undang-undang yang dipakai untuk mendakwa ketiga terdakwa. Sehingga Penuntut Umum wajib menggunakan asas transitoir dalam artian jika terjadi perubahan undang-undang, maka yang diterapkan adalah undang-undang menguntungkan terdakwa.

Untuk itu, sekiranya Penuntut Umum tidak yakin dengan dakwaannya, maka seharusnya Penuntut Umum berani menuntut bebas ketiga terdakwa atau setidak-tidaknya menyatakan perbuatan ketiga terdakwa bukan termasuk tindak pidana.

Untuk diketahui, tiga petani asal Kab. Soppeng didakwa melakukan pembalakan liar dengan cara menebang pohon, mengangkut dan membawa alat penebang kayu berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b atau Pasal 82 ayat (2) atau Pasal 83 ayat (1) huruf a atau Pasal 84 ayat (1) atau Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, para Terdakwa menebang pohon untuk keperluan membangun rumah (bukan untuk komersil). Ia tak mengetahui bahwa lokasi kebun jati miliknya masuk dalam kawasan hutan lindung. Kebun jati Natu sudah dikelola secara turun-temurun selama ratusan tahun dari kakek, orangtua dan terakhir dikelola oleh Natu. Selama mengelola kebun tersebut, Natu tak pernah ditegur oleh pihak kehutanan. Setiap tahun, Natu aktif membayar PBB sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2020.

Sementara itu, puluhan petani dan keluarga terdakwa yang hadir di Pengadilan Negeri Watansoppeng kecewa dengan dua kali penundaan ini. Mereka rela menempuh jarak yang jauh dan meninggalkan pekerjaan demi menghadiri persidangan.

Atas dasar itu, Kami dari LBH Makassar selaku Penasehat Hukum Para Terdakwa meminta kepada:

  1. Majelis Hakim yang mengadili perkara ini untuk mengambil tindakan tegas kepada Penuntut Umum yang terus menunda pembacaan tuntutan;
  2. Meminta Penuntut Umum untuk tidak memaksakan/mencari tuntutan kepada terdakwa, karena perbuatan terdakwa bukanlah tindak pidana;
  3. Mejelis Hakim untuk memutus bebas para terdakwa atau setidak-tidaknya menyatakan perbuatan para terdakwa bukan tindak pidana (onslag van recht vervolging);

 

Makassar, 03 Desember 2020

 

Narahubung:

+62 853-4297-7545-

Ady Anugrah Pratama (Advokat PBH LBH Makassar)

+62 8134-4210-0642-

Rizky Angriani Arimbi (Korwil KPA Sulsel)

+62 397 255757-

Madi (Terdakwa) ###

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

web
Universitas Hasanuddin Hari Ini, Kegagalan Rektor Mengambil Keputusan yang Demokratis
Credits: https://w.wiki/BWWm
PGRI Kota Makassar Berpihak Kepada Pelaku, Mengesampingkan Keadilan Terhadap Siswi SLB Korban Kekerasan Seksual.
Credits: https://w.wiki/BWWm
Siswi Disabilitas Tuli di SLB Makassar jadi Korban Kekerasan Seksual, Pelakunya Seorang Guru
Skip to content