Siaran Pers YLBHI-LBH Makassar tentang Meninggalnya Sugianto (22 tahun), Korban Penembakan yang Diduga Mengalami Penyiksaan bersama Rekannya Bernama AS (15 tahun)

Pada Sabtu, 9/11/2019, dini hari sekitar pukul 01.00 WITA, inisial AS keluar untuk membeli rokok, dalam perjalanan ia bertemu seorang polisi yang ia kenal bernama Pak Tri. Pak Tri memanggil AS, katanya ingin minta tolong kepadanya. AS sempat bertanya, ingin dibantu apa, namun ia tidak diberi tahu, intinya ada hal yang ingin dibantu.

Kira – kira pukul 01.30 WITA, AS bersama Pak Tri berjalan menuju penjual bakso yang berada di samping RSUD Bantaeng, setibanya AS langsung dipiting oleh Pak Tri dan dituduh telah mencuri di Kantor DPRD Bantaeng bersama Sugianto. AS kemudian dimasukkan ke dalam mobil Avanza yang sedang terparkir di samping RSUD Bantaeng. Di dalam mobil itu ternyata sudah ada Sugianto bersama 4 (empat) orang polisi. AS melihat Sugianto dalam keadaan terborgol dengan luka memar berwarna hijau dan bengkak pada bagian wajah. Kedua tangan AS diikat dan mata ditutup dengan lakban. AS adalah adek ipar dari Sugianto.

Setelah itu mereka dibawa kedepan jalan/lorong masung rumah Sugianto, tiba disana, seorang polisi kemudian memukul bagian wajah Sugianto dengan menggunakan batu, hingga batu tersebut pecah. Kemudian polisi masuk memanggil Iin (Istri Sugianto) yang berada di dalam rumah. Iin kemudian keluar dan ikut untuk memastikan Sugianto di dalam mobil. Tiba di mobil, polisi bertanya kepada Sugianto dan menunjuk Iin, apakah ini istrimu? Sugianto hanya menjawab “Iya pak”. Setelah itu mereka bergerak menuju Pos Polisi Terpadu di jalan Kartini, sementara Iin diminta ikut dengan menggunakan motor.

Dalam perjalan, di dalam mobil, AS terus dipaksa untuk mengaku, wajahnya dihantam menggunakan pantat pistol. Sementara AS tetap tidak mengaku, karena memang ia tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, ia sudah menangis terisak-isak kesakitan.

Tiba di pos, mereka dibawa masuk ke dalam ruangan. AS membuka sedikit lakban untuk mengintip. Ia melihat secara samar seorang membawa balok dan memukul Sugianto, mulai dari bagian kepala hingga kaki Sugianto dihajar dengan balok. Setelah itu, polisi berjumlah 4 orang berinisial TR, KH, AM dan NK, kemudian masuk memukuli Sugianto. Disana juga terlihat seorang Satpol PP yang sedang menyaksikan.

AS juga dipukuli saat itu, kemudian seorang polisi meminta Aan untuk memukul Sugianto. Karena diancam terus menerus oleh Polisi, akhirnya AS ikut memukul Sugianto dengan pukulan ringan. Karena tidak mau memukul dengan keras, akhirnya AS dipukul tangannya dengan balok-balok. Tangan AS semakin membiru setelah dipukul balok, akhirnya lakban ditangan AS dilepaskan.

Setelah itu, AS dibawa oleh KH menggunakan mobil ke Polres Bantaeng, setibanya ia langsung dimasukkan ke dalam sel tahanan. Sedangkan Sugianto masih tinggal di Pos Polisi.

Sekitar pukul 04.00 WITA, setelah shalat subuh, Sugianto dibawa polisi masuk ke dalam sel tanahan tempat AS berada. AS melihat Sugianto dalam keadaan babak belur dan luka pada bagian betis dan lutut atas kanan, diduga luka tembak. Luka tersebut terlihat tidak terjahit, hanya dibalut perban. Hampir satu jam, Sugianto terus berteriak kesakitan meminta obat. AS yang melihat seorang polisi di depan ruangan kemudian memelas meminta obat, namun polisi tersebut hanya mengatakan biarkan saja mati seorang pencuri. Lalu seorang penjaga sel memberikan 1 biji obat Amoxilin, namun obat yang diberikan dimuntahkan kembali, seolah tubuh Sugianto tidak mau menerima obat tersebut.

Sugianto terus berteriak kesakitan, luka pada bagian lututnya terus mengalami pendarahan yang berwarna hitam kental. Melihat Sugianto mengalami pendarahan, AS kemudian berteriak kepada petugas agar segera membawa Sugianto ke Rumah Sakit. Kemudian seorang polisi meminta salah seorang tahanan untuk mengangkat Sugianto ke dalam mobil, saat itu langit sudah mulai cerah, kira – kira pukul 05.00 – 06.00 wita. Setelah naik di mobil, menurut keterangan tahanan yang mengangkat Sugianto melihat sudah tidak sadarkan diri. Sugianto sempat dibangunkan namun sudah tidak sadar.

Pada Sabtu, 9/11/2019, sekitar pukul 07.00 WITA, Iin mendapat informasi dari seorang tukang becak, jika Sugianto telah meninggal dunia dan sedang berada di RSUD Bantaeng. Tukang becak tersebut mengaku mendapat informasi dari seorang perawat rumah sakit. Iin langsung menuju RSUD Bantaeng, tiba di ruang UGD, Iin mendapati Sugianto yang tidak bernyawa lagi. Salah seorang perawat menyampaikan kepada Iin, bahwa Sugianto dibawa ke RS sekitar pukul 05.00 WITA, dengan luka tembak sebanyak 3 kali, pada bagian betis 2 kali dan pada bagian lutut atas kanan 1 kali. Menurut keterangan perawat, setelah mendapat perawatan, Sugianto kemudian dibawa lagi keluar dari RS oleh polisi. Kemudian sekitar pukul 05.30 WITA, Sugianto kembali dibawa ke ruang UGD oleh polisi dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kira – kira 2 (dua) menit kemudian Sugianto meninggal dunia. Menurut keterangan perawat, saat Sugianto meninggal tidak ada seorang pun polisi di RS.

Tiga jam kemudian, kira – kira pukul 09.00 WITA, Iin mendatangi Polres Bantaeng untuk menanyakan perihal kematian suaminya, Sugianto. Sekitar pukul 11.00 WITA, Kapolres Bantaeng menuju RS bersama 20 orang anggotanya.

 

Pendapat Hukum LBH Makassar-YLBHI

Berdasarkan kronologi di atas, maka kami berpendapat bahwa tindakan anggota Polres Bantaeng yang terlibat dalam peristiwa tersebut, diduga telah melakukan serangkaian penyiksaan, penggunaan kekerasan & senjata api secara berlebihan yang menyalahi prinsip nesesitas, proporsionalitas dan reasonable (masuk akal), sesuai ketentuan Pasal 3 huruf : b, c dan f Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindak Kepolisian Jo. Pasal 9 Ayat (1) huruf : a, b dan c, Pasal 11 Ayat (1) huruf : b dan j Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Dimana, situasi dan kondisi korban secara logis tidak memerlukan penggunaan kekerasan apalagi senjata api, lagipula tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi petugas, karena korban dalam keadaan tidak berdaya dengan tangan terikat yang secara logis tidak mungkin melakukan tindakan aktif maupun agresif.

Akibat dari perbuatan tersebut di atas, diduga telah melanggar Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable right), yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, sebagaimana diatur dalam Pasal Page | 3 28A dan Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Terkait dugaan pelanggaran HAM, maka anggota Polres Bantaeng yang terlibat dalam peristiwa tersebut bertanggungjawab secara pidana dengan hukuman yang setimpal dengan jenis kejahatannya, sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia Jo. Penjelasan Umum UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Bahwa secara tegas dalam Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum yang telah dijadikan dasar penerbitan dan pemberlakukan Protap Kapolri No. 1 Tahun 2010. Dimana Prinsip 7 Protokol PBB tersebut menyatakan : ”Pemerintah akan menjamin bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api secara sewenang – wenang atau tidak tepat oleh aparatur penegak hukum akan dihukum sebagai suatu pelanggaran pidana berdasarkan hukum yang berlaku.”

Adapun dugaan tindak pidana yang dapat diterapkan dalam peristiwa ini adalah dugaan pembunuhan berancana atau penganiayaan mengakibatkan kematian, sesuai ketentuan Pasal 340 Jo. Pasal 351 Ayat (3) KUHP.

Selain anggota yang yang terlibat langsung, pejabat atasan dalam hal ini Kapolres Bantaeng harus bertanggungjawab sebagai atasan yang seharusnya tahu bahwa aparat di bawah komandonya telah melakukan penggunaan kekerasan dan senjata api secara tidak sah dan kemudian tidak mengambil seluruh tindakan yang berada dalam kekuasaannya untuk mencegah, menindas atau melaporkan penggunaan tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip 24 Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka LBH Makassar-YLBHI selaku lembaga yang selama ini konsern mendorong penegakan hukum, HAM dan demokrasi sekaligus bertindak selaku Penasehat Hukum keluarga korban, dengan ini mendesak Kabareskrim Polri Cq. Reskrim Polda Sulsel, Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan, penyidikan terkait peristiwa ini.

 

Makassar, 19 November 2019

 

Tim Penasehat Hukum :

Edy Kurniawan, S.H. (0853- 9512-2233)

Ridwan, S.H. (0852-5555-3776)

Andi Haerul Karim, S.H. (0813-4398-5796)

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2024-10-01 at 12.32
WARGA TOROBULU MENANG! 2 PEJUANG LINGKUNGAN DIPUTUS LEPAS PN ANDOOLO
Foto: LBH Makassar
Terbukti Tidak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi PT. GNI Ajukan Praperadilan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Sumber: Google Image
Warga Protes Tindakan Penyerobotan PT. Masmindo, Berbalas dengan Tembakan Gas Air Mata
Skip to content