Rilis Pers

Release atas Pemberitaan Kompas.com terkait Berita dan Video Kapolsek Bersimpuh di Depan Massa yang Menolak Tambang PT.ASR!!!

Kami dari Aliansi Peduli Rakyat Salipolo-Bababinanga merasa perlu melakukan klarifikasi dan meluruskan beberapa point dalam artikel kompas.com berdasarkan fakta lapangan.

Kompas.com seolah menggambarkan bahwa masyarakat Salipolo sebagai pihak yang pantas disalahkan dan memframing seakan warga penolak tambang brutal. Masyarakat yang telah menjadi korban kembali menjadi korban akibat pemberitaan yang tidak utuh, tidak berimbang dan sepihak. Artikel yang dimuat oleh Kompas.com tidak menyertakan narasumber dari pihak terkait lainnya, dalam hal ini masyarakat Desa Salipolo dan Bababinanga sebagai pihak yang menolak adanya pertambangan pasir. Kami menyesalkan Kompas.com hanya mengambil potongan-potongan video yang beredar.

Kami memandang pemberitaan tersebut tidak memenuhi kode etik jurnalistik yang menggaris prinsipkan cover both side, independen dari kepentingan tertentu, akurat, jujur, dan benar, serta tidak menyiarkan berita yang menyebabkan konflik antar golongan dan jauh dari subtansi persoalan sehingga tidak menjernihkan keadaan yang sebenarnya. Kompas.com tidak seharusnya mementingkan kecepatan berita, tetapi mengutamakan keakuratan dan seharusnya jurnalis harus benar-benar turun ke lapangan.

Tanggapan atas artikel yang dimuat oleh Kompas.com, tanggal 11 November 2019 dengan judul:

  1. KAPOLSEK BERSIMPUH DI HADAPAN MASSA UNTUK SELAMATKAN PEKERJA YANG DIPUKULI SAAT DEMO TAMBANG
  2. VIRAL VIDEO KAPOLSEK BERSIMPUH DI HADAPAN MASSA YANG BAWA GOLOK

Point keberatan ini kami layangkan terhadap pemberitaan tanggal 11 November 2019.

terutama untuk point-point sebagai berikut:

  • Pada alinea ketiga dari judul berita point satu, berdasarkan fakta lapangan bahwa masyarakat yang melakukan aksi tolak tambang hanya melakukan pembelaan diri terhadap serangan senjata tajam oleh oknum yang diduga sebagai preman suruhan dari pemilik tambang yang mengakibatkan salah seorang warga bernama Hasbullah (55 tahun) mengalami luka tebasan di tangan dan di bagian paha.
  • Pada alinea kelima dari judul berita point satu serta pada alinea ketujuh dan kesembilan dari berita point dua, berdasarkan fakta lapangan tebasan senjata tajam oleh pihak yang diduga preman menyulut kemarahan warga sehingga membalas memukul preman tersebut dengan kayu yang mereka bawa dan preman tersebut mencoba melarikan diri sehingga terjatuh dan dikerumuni oleh warga. Bukan hanya Iptu Akbar, warga yang berada di lokasi pun juga melerai warga yang lainnya agar tidak melukai oknum preman tersebut.
  • Pada alinea kedelapan dari judul berita point satu dan alinea keempat dari judul berita point dua, yang kami rasa kurang jelas dan tidak menjelaskan maksud dari warga yang mendatangi lokasi pertambangan. Berdasarkan fakta lapangan bahwa warga Desa Salipolo mendatangi lokasi tambang untuk menghentikan aktivitas pertambangan karena saat ini masih menjadi polemik dan masih dalam proses peninjauan kembali, sehingga warga meminta aktivitas pertambangan dihentikan. Namun saat tiba di lokasi, warga justru dihadang oleh oknum preman dan diserang dengan senjata tajam.
  • Pada alinea kesembilan dari judul berita point satu, yang kurang jelas mengenai alasan penolakan warga Salipolo terhadap aktifitas pertambangan di DAS Saddang. Berdasarkan fakta lapangan, warga menolak pertambangan bukan hanya karena pertambangan PT. Alam Sumber Rezeki (ASR) yang ilegal, tetapi juga karena pertambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Saddang dapat merusak lingkungan dan menyebabkan ruang hidup masyarakat terancam. Hal ini juga disebabkan bahwa warga desa Salipolo Kecamatan Cempa dan warga desa Bababinanga kecamatan Duampanua telah mengalami trauma akibat banjir besar.

Sebagai respon atas pemberitaan tersebut, kami melampirkan kronologi penolakan tambang pasir PT. ASR di Desa Salipoli dan Desa Bababinanga:

Polemik aktifitas pertambangan pasir oleh PT. Alam Sumber Rezeki (ASR) di Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang memicu kemarahan masyarakat. Masyarakat menilai aktivitas pertambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Saddang dapat memicu kerusakan lingkungan parah yang mengancam kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat khawatir pertambangan akan berdampak pada terjadinya banjir, abrasi, dan longsor yang dapat menenggelamkan kampung seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan di tahun 2010 yang menyebabkan peristiwa besar yang menyebabkan tanah-tanah masyarakat—tambak, kebun, pemukima, fasos, fasum hilang akibat arus sungai yang meluap. Kerugian yang diderita mencapai puluhan miliar rupiah.

Pada tahun 1995, pemerintah sempat melakukan penggalian di DAS Saddang, tepatnya di anak sungai yang mengalir ke muara sungai dengan jalur utama sungai yang menuju ke Desa Paria Kecamatan Duampanua. Penggalian sedalam tiga meter tersebut dilakukan untuk pembangunan pintu air agar dapat dimanfaatkan untuk mengairi tambak-tambak masyarakat. Akan tetapi, akibat penggalian tersebut justru menyebabkan bencana saat musim hujan tiba. Aliran sungai yang deras menyebabkan volume air sungai yang mengalir ke anak sungai justru meningkat dan menghancurkan tambak-tambak dan juga pemukiman milik masyarakat akibat abrasi, serta menghancurkan jembatan penghubung antara Dusun Cilallang dan Dusun Babana, Desa Bababinanga.

Kemudian di tahun 2010 terjadi bencana banjir besar yang menenggelamkan pemukiman, tambak, kebun, dan sekolah di Dusun Cilallang. Sekitar 215 KK kemudian direlokasi ke Desa Salipolo. Atas kejadian traumatik tersebut, warga tidak ingin kejadian serupa bahkan peristiwa yang lebih besar akan kembali terjadi. Sehingga penolakan terhadap kegiatan pertambangan pasir di DAS Saddang menjadi keharusan. Apalagi aktivitas tambang ini tidak pernah melibatkan dan meminta persetujuan warga yang berada di lokasi penambangan maupun lokasi-lokasi yang akan terdampak tambang. (Sementara partisipasi masyarakat/publik dalam penetapan izin lokasi pertambangan diakui, dilindungi dan diatur dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, UU Desa No 6 Tahun 2014, UU Penataan Ruang No 26 Tahun 2007, UU PPLH No 32 Tahun 2009, UU Penanggulangan Bencana No 24 Tahun 2007, UU No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba -Lihat Putusan MK dalam Perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012 mengenai pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, hal 143 dan beberapa aturan lainnya).

Penolakan aktivitas tambang PT. Alam Sumber Rezeki dimulai sejak tahun 2017 di desa Bababinanga Kecamatan Duampanua. Penolakan di desa Bababinanga menyebabkan delapan warga diberikan surat panggilan oleh pihak kepolisian. Setelah ditolak, PT. ASR akhirnya pindah ke desa Paria namun ditolak kembali dan kembali pindah ke desa Kaliang kemudian ditolak lagi. Tahun 2019 akhirnya PT. Alam Sumber Rezeki beraktivitas di Salipolo sehingga warga desa melakukan beberapa aksi penolakan eskavator, demonstrasi hingga ke Bupati, hearing di DPRD kabupaten, aksi di Gubernuran dan terakhir aksi yang viral tersebut. Aksi penolakan di Desa Salipolo juga menyebabkan lima warga diberikan surat panggilan oleh Polres Pinrang karena dianggap menghalang-halangi aktivitas tambang. Sementara dalam pasal 66 UU PPLH No 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Aparat kepolisian patut diduga berupaya melakukan kriminalisasi terhadap warga yang berjuang terhadap penyelamatan lingkungan. Apalagi DAS Saddang dalam RPJMN telah ditetapkan sebagai salah satu dari 15 DAS kritis di Indonesia yang harus direhabilitasi. Begitu juga yang tertera dalam revisi RTRW Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 – 2028 oleh dinas PUPR dan dinas PSDA.

Setelah aksi penolakan yang dilakukan oleh preman-preman bayaran PT. ASR dan perlawanan warga desa Salipolo, kemarin hari Senin tanggal 11 November 2019, bertempat di kantor Dinas DPMPPTSP Propinsi Sulawesi Selatan, hearing kembali dilakukan.

 

Kronologi

PT. ASR pertama kali masuk dan melakukan aktifitas pertambangan di muara sungai Saddang pada November 2017 yang diawali dengan masuknya 6 buah kapal milik perusahaan melalui muara sungai di Desa Bababinanga Kecamatan Duampanua. Hadirnya kapal tersebut mengagetkan masyarakat.

Kemudian pada 27 Agustus 2019, sebuah eskavator masuk ke Desa Salipolo, Kecamatan Cempa, yang berseberangan dengan Desa Bababinanga. Eskavator tersebut dikawal oleh aparat kepolisian bernama Tajuddin, dan mengatakan bahwa pengawalan atas perintah komandan. Tajuddin pun memerintahkan warga agar tidak menghalangi proses pertambangan, dan mengatakan bahwa warga yang menolak akan di denda. Tetapi masyarakat tetap menolak, dan Tajuddin menyampaikan pada malam harinya bahwa tidak akan ada aktivitas pertambangan.

Pada 28 Agustus 2019, PT. ASR justru memulai aktivitas pertambangan dengan eskavator. Sontak warga mendatangi lokasi pertambangan dan menolak aktifitas pertambangan. Warga kemudian melaporkan kejadian tersebut ke kantor Kecamatan Cempa dan dijanjikan akan disampaikan ke Bupati.

Pada 9 September, warga mendatangi Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Pinrang. DLHD Pinrang mengaku bahwa persoalan izin bukan wewenangnya dan belum pernah mengeluarkan surat terkait pertambangan.

Kemudian pada 23 September 2019, warga bertemu dengan Bupati Pinrang, dan menyampaikan bahwa tidak boleh ada aktivitas tambang di sana. Bupati juga mengatakan bahwa izin dikeluarkan oleh bupati sebelumnya.

Akan tetapi, pada 12 Oktober, satu unit eskavator kembali masuk ke Desa Salipolo namun tidak sempat beroperasi. Keesokan harinya pada 13 oktober 2019, sekitar 200 orang warga melakukan aksi penolakan tambang pasir dan meminta kapolsek, camat, dan kepala desa menemui warga. Dalam aksi tersebut warga membawa bambu runcing sebagai simbol perjuangan rakyat dan spanduk penolakan. Di hari yang sama 2 orang warga, Tahang dan Akkas mendapat panggilan pihak kepolisian namun keduanya menolak hadir karena terjadi kesalahan alamat pemanggilan, yang terulis Kecamatan Duampanua.

Pada 18 Oktober 2019, 3 orang warga bernama Muhammad Sakir, Abd. Hakim, dan Latif mendapatkan undangan klarifikasi dari pihak kepolisian atas laporan adanya upaya penolakan pertambangan pasir terhadap kegiatan pertambangan PT. ASR. Kemudian ketiganya menghadiri panggilan tersebut pada 21 Oktober 2019 di Polres Pinrang.

Tepat pada hari sumpah pemuda, 28 Oktober 2019 warga melakukan aksi di gedung DPRD dan melakukan hearing bersama pemerintah kabupaten, dan DPRD Pinrang. Warga juga meminta alat berat milik PT. ASR keluar dari lokasi pertambangan. Di hari itu juga eskavator milik PT. ASR meninggalkan lokasi pertambangan.

Pada 4 November 2019, PT. ASR kembali memasukkan 2 unit alat berat ke lokasi pertambangan di Desa Salipolo. Keesokan harinya, pukul 09.00 WITA, 5 November 2019, 2 unit alat berat tersebut melakukan aktivitas pertambangan (pengerukan pasir). Warga pun mendatangi lokasi pertambangan untuk meminta kepada penambang untuk menghentikan aktivitas pertambangan.

Akan tetapi, di lokasi warga dihadang oleh oknum yang diduga preman suruhan oleh PT. ASR dan melukai seorang warga bernama Hasbullah (55 Tahun) dan menyulut kemarahan warga. Karena panik, oknum tersebut mencoba menghindari warga yang marah dengan melarikan diri dan akhirnya terjatuh. Oknum tersebut kemudian dikerumuni oleh warga, dan warga pun mencoba menenangkan dan melerai warga lainnya yang marah atas kelakuan oknum preman tersebut. Saat itu pula Iptu Akbar juga mencoba melerai warga yang marah.

Hari Senin tanggal 11 November 2019, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Propinsi Sulawesi Selatan menginisiasi pertemuan antar Pemerintah Propinsi dan Kabupaten Pinrang yang dihadiri beberapa instansi, Wakil Ketua DPRD Pinrang, masyarakat desa Salipolo, Bababinanga, Ombudsman Propinsi, organisasi pendamping, PT. ASR, Pemerintah Kecamatan dan aparat yang melahirkan beberapa rekomendasi dalam berita acara kesepakatan.

 

Makassar, 12 November 2019

Aliansi Peduli Rakyat Salipolo- Bababinanga dan DAS Saddang Pinrang (Konsorsium Pembaruan Agraria – KPA Wilayah Sulsel , LBH Makassar, Walhi Sulsel, Pembaru, Nalar, KMP STIEM Bongaya, KMP UINAM, KPMP Cab. Lembang)

 

Narahubung: 0813-4210-0642

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2024-09-11 at 19.07
RDP Konflik Polongbangkeng Takalar Vs PTPN Ungkap Fakta Perampasan dan Habisnya HGU Perusahaan
penggusuran tenant
Kontrak Belum Berakhir, UNHAS Mengusir Para Pedagang Secara Sepihak
Aksi takalar 2
Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV: Petani Polongbangkeng Duduki Kantor Bupati Takalar
Skip to content