Pers Rilis; Masyarakat Sipil Sulsel Tolak Kodifikasi Kejahatan Khusus & Terorganisir dalam RKUHP

Saat ini, Pemerintah dan DPR terus melakukan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Setelah pembahasan, tahapan selanjutnya adalah pengesahan dan pemberlakuan RKUHP bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya, Pemerintah telah mengambil alih dan memasukkan sebagian ketentuan tindak pidana luar biasa dan terorganisir (tindak pidana khusus) seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana berat HAM, dan tindak pidana lingkungan hidup ke dalam RKUHP.

Dalam kenyataannya, kodifikasi hanya akan memasukkan sebagian delik khusus ke dalam RKUHP dan meninggalkan sebagian lainnya tetap di dalam undang-undang yang berlaku saat ini. Sebagai konsekuensinya terdapat dualisme pengaturan delik khusus, artinya selain diatur di dalam RKUHP delik korupsi juga diatur dalam undang-undang tipikor, demikian pula terhadap delik narkotika, kejahatan HAM berat, pencucian uang dan lingkungan hidup. Pengaturan demikian berpotensi menimbulkan perdebatan dalam penegakan hukum dan mengganggu kepastian hukum di masyarakat.

Sebagai catatan singkat, berikut beberapa contoh persoalan pengaturan delik khusus dalam RKUHP:

1. RKUHP mengatur tentang pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, yang tidak ada dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Narkotika (UU No. 35/2009), dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009).

2. Dalam konteks tindak pidana berat HAM, UU Pengadilan HAM mengatur kekhususan dalam pemidanaannya, yaitu antara lain batas pidana penjara maksimum selama 25 tahun, tidak adanya daluarsa tindak pidana, serta dapat diberlakukannya asas retroaktif terhadap tindak pidana berat HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan, sedangkan RKUHP tidak mengatur tentang kekhususan tersebut dalam rumusannya.

3. Kemudian, dalam konteks tindak pidana lingkungan hidup, RKUHP mengatur bahwa rumusan tindak pidana lingkungan hidup memiliki unsur melawan hukum, serta tidak memiliki ancaman pidana minimum khusus, dua hal yang tidak dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. Begitupun dengan pengaturan RKUHP terhadap tindak pidana narkotika yang tidak mengenal sistem rehabilitasi terhadap pengguna sebagaimana telah diatur dalam UU Narkotika. Selain itu, karena sifatnya yang cenderung sulit diubah, RKUHP tidak dapat menjerat kejahatan dengan substansi-substansi narkotika dan psikotropika terbaru.

5. Dalam konteks tindak pidana korupsi, RKUHP mengatur hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu antara lain:
a. tidak adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti;
b. percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi yang ancaman pidananya dikurangi 1/3 dari maksimum pidana;
c. ancaman pidana denda menurun drastis;
d. definisi korporasi dalam RKUHP lebih sempit dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
e. ketidakjelasan konsep Ketentuan Peralihan.

Undang-undang di luar KUHP yang mengatur tindak pidana khusus menerapkan berbagai kekhususan seperti pemberatan hukuman tertentu, bentuk sanksi khusus (uang pengganti, pengawasan, dll), pemberlakuan prinsip retroaktif yaitu penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang terjadi sebelum adanya undang-undang, serta berbagai perlakukan khusus lainnya. Dimasukkannya tindak pidana khusus dalam RKUHP akan menganulir berbagai perlakuan khusus tersebut dan memperlakukan kejahatan khusus seperti kejahatan pada umumnya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemberantasan narkotika, penegakan terhadap kejahatan HAM berat, dan penegakan tindak pidana lingkungan hidup, kodifikasi yang memasukkan tindak pidana khusus adalah suatu langkah mundur. Selain itu, Ketentuan Peralihan RKUHP yang tidak tegas memberikan kewenangan terhadap lembaga-lembaga khusus, berpotensi menghilangkan kewenangan dan kedudukan lembaga-lembaga khusus seperti KPK, BNN, dan KOMNAS HAM.

Pembangunan hukum sepatutnya mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan penegakan hukum yang nyata, tidak hanya bersandar pada konsep tujuan akademis. Dengan demikian, mengeluarkan delik-delik khusus dari RKUHP dan memperkuat undang-undang khusus yang sudah ada menjadi jalan yang paling efektif dan efisien untuk mendukung penegakan hukum Indonesia ke depan, hal ini juga mengingat dinamika perkembangan hukum yang begitu cepat sehingga perubahan akan lebih mudah dituangkan dalam masing-masing undang-undang khusus ketimbang melakukan revisi terhadap kodifikasi.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka perlu mendorong pemerintah untuk:

  1. Mendengarkan, mempertimbangkan dan menerima masukan yang disampaikan oleh aparat penegak hukum, institusi negara, civil society, dan masyarakat kepada Pemerintah dan DPR;
  2. Mengeluarkan pengaturan tindak pidana khusus (kejahatan korupsi, pencucian uang, narkotika, kejahatan HAM berat, kejahatan lingkungan hidup) dari RKUHP;
  3. Segera menyelesaikan pembahasan dan mensahkan RKUHP.

——- #MASYARAKATMENOLAKDELIKKHUSUSMASUKRKUHP# ——

Makassar, 16 April 2018

KOALISI MASYARAKAT SIPIL SULAWESI SELATAN:
FAKULTAS HUKUM UNIBOS, LBH MAKASSAR, ACC SULAWESI, WALHI SULSEL, FIK ORNOP SULSEL, AMAN SULSEL, PBHI SULSEL, HWDI SULSEL, SP ANGING MAMMIRI, UPPM UMI, FMK MAKASSAR, PERKASI, KOMUNITAS PETAK, KATALIS, PEMBEBASAN, BEM FAI UMI, BEM HUKUM UNHAS, KOMUNITAS SEHATI, LPMH UNHAS, KPI SULSEL, KOMUNAL, PERDIK, GIPA, YLBHM, LBH APIK MAKASSAR

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2024-10-01 at 12.32
WARGA TOROBULU MENANG! 2 PEJUANG LINGKUNGAN DIPUTUS LEPAS PN ANDOOLO
Foto: LBH Makassar
Terbukti Tidak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi PT. GNI Ajukan Praperadilan Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Sumber: Google Image
Warga Protes Tindakan Penyerobotan PT. Masmindo, Berbalas dengan Tembakan Gas Air Mata
Skip to content