Pidato Presiden di Sidang Tahunan 2019: Jauh dari Kenyataan yang Dihadapi Rakyat

Gambar diambil dari website Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

 

Siaran Pers LBH-YLBHI

Pidato Presiden di Sidang Tahunan 2019: Jauh dari Kenyataan yang Dihadapi Rakyat

16 LBH-YLBHI memberikan pandangan terhadap Pidato Presiden, Joko Widodo, yang disampaikan di depan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019 sebagai berikut:

  1. Pidato ini penuh dengan kondisi positif yang telah dicapai berbagai lembaga. tetapi kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat tidaklah demikian. Hal ini menunjukkan pidato ini bersifat formalistis, mengedepankan konsolidasi kekuasaan dibandingkan kesejatian kewajiban yang diharus dilakukan pemerintah.
  2. Menyebutkan Indonesia sebagai “rumah besar yang nyaman untuk semua” sungguh-sungguh menyakiti hati masyarakat yang digusur rumah dan sawahnya baik untuk infrastruktur, tambang atau perusahaan. Pernyataan ini juga menolkan pengalaman kelompok minoritas keagamaan, keyakinan serta etnis seperti Papua, orang disabilitas, orang dengan orientasi seksual serta gender berbeda yang mengalami diskriminasi dalam setiap fase kehidupannya.
  3. Menyebutkan “dalam rumah besar ini semua anak bangsa bisa berkarya, bergerak dan berjuang untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita bersama” sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi buruh dan serikat buruh di seluruh Indonesia. Mereka mengalami perampasan upah layak, dipecat karena berserikat, bahkan dikriminalisasi karena aksi damai untuk memperjuangkan hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang.
  4. Benar terjadi inovasi dan upaya reformasi pengadilan, tetapi rakyat dan advokat yang pernah berperkara ke pengadilan akan tahu pungli masih di mana-mana, permintaan menyogok datang begitu perkara masuk ke pengadilan dan ini semua menghambat akses masyarakat terhadap keadilan. Bahkan tidak jarang pengadilan menjadi alat untuk merampas hak rakyat dan sarana impunitas.
  5. Hal mencolok dalam pidato ini adalah Presiden tidak menyebut sama sekali kepolisian dan kejaksaan padahal kata “peradilan” muncul di sana sini. Seolah Presiden memposisikan peradilan hanyalah pengadilan. Tentu saja kepolisian dan kejaksaan merupakan bagian penting dalam proses peradilan. Suatu kasus (pidana) tidak mungkin masuk ke pengadilan tanpa melalui 2 institusi ini. Dalam banyak catatan masyarakat kriminalisasi berbagai hak melalui proses peradilan masih banyak terjadi demikian pula dengan salah tangkap dan tuntut. Perempuan, masyarakat adat, kelompok minoritas agama atau keyakinan, buruh, petani, mahasiswa adalah saksi kriminalisasi ini. Penyiksaan dalam proses penyidikan terus terjadi dan tidak ada proses hukum. Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil umumnya masih mandek dalam proses di Kepolisian.
  6. Kinerja DPR dalam membuat UU yang berpotensi merampas hak rakyat (UU ITE, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Minerba) dan sebaliknya tidak membuat UU yang melindungi rakyat (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat) dibalik dalam pidato ini menjadi sebuah keberhasilan.

 

Jakarta, 16 Agustus 2019

LBH-YLBHI

(LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Palembang, LBH Bandar Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Manado, LBH Papua, LBH Palangka Raya)

 

C.p

Asfinawati 0812 8218930

Arip Yogiawan 0812 14194445

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Credits: https://w.wiki/BWWm
PGRI Kota Makassar Berpihak Kepada Pelaku, Mengesampingkan Keadilan Terhadap Siswi SLB Korban Kekerasan Seksual.
Credits: https://w.wiki/BWWm
Siswi Disabilitas Tuli di SLB Makassar jadi Korban Kekerasan Seksual, Pelakunya Seorang Guru
Foto: LBH Makassar
Permohonan Praperadilan Buruh PT. GNI Korban Kriminalisasi Ditolak, Hakim Jauhkan Korban dari Keadilan
Skip to content