Pemecatan 51 Orang Pegawai KPK karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) merupakan imbas dari beberapa paket pelemahan upaya pemberantasan korupsi yang berhasil diterapkan. Pengalihan status dan pemecatan tersebut sebagai bentuk korupsi independensi KPK sebagai anak kandung reformasi.
Istana melalui Moeldoko menganggap peran KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang merupakan amanat langsung reformasi sebagai penghambat investasi, lagi-lagi agenda reformasi berangsur-angsur menjauh, dengan mengeluarkan beberapa undang-undang dan penggantian pimpinan KPK yang bermasalah mengarah pada penciptaan iklim investasi yang ramah bagi investor eksploitatif (penghisapan) di sektor perburuhan dan industri ekstraktif. Pelemahan ini sangat disayangkan padahal menurut Mantan Ketua KPK (Agus Rahardjo) selama kurun waktu 2016-2019 saja KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara dan/atau pendapatan negara sejumlah Rp 63.8 Triliun. Hal ini, menghilangkan satu-satunya kepercayaan publik terhadap pemerintah di tengah-tengah kemerosotan kebebasan sipil.
Pandemi yang melanda sejak awal 2020 tidak meningkatkan prioritas dan tanggungjawab pemerintah dalam penggunaan keuangan negara, Indeks Persepsi Korupsi menurut penelitian Tranparency International (TI) di kawasan ASEAN mendapat peringkat ke-5 satu tingkat di bawah Timor Leste. Kemudian, turut diperparah dengan adanya tindakan korupsi uang dilakukan oleh dua orang Menteri sekaligus (Edhy Prabowo dengan kasus korupsi kebijakan ekspor benih lobster, dan Juliari Batubara dengan kasus korupsi pengadaan bantuan sosial covid-19).
Melihat beberapa peristiwa penolakan pelemehan ke belakang dengan dua Dengan kondisi seperti ini, Kita sebagai masyarakat sipil, harus mulai berfikir lebih jauh untuk mendorong agenda reformasi yang belum selesai tanpa bergantung pada pemerintah dan KPK yang hari ini sudah dimatikan.
Pernyataan Pimpinan KPK (Alex Simarmata) bersama Kepala BKN (Bima Haria Wibisana) kepada 51 Pegawai KPK yang tidak lolos TWK karena memiliki rapor merah dan tidak bisa dibina lagi, sehingga berujung pemecatan adalah tidak jelas dan bertentangan dengan Putusan MK bertentangan dengan Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019, karena tidak memenuhi syarat “pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan”. Padahal, pengabdian mereka dalam pemberantasan korupsi dan kinerja mereka justru memberikan citra positif KPK bagi masyarakat, terlebih lagi ada pegawai KPK yang turut dipecat sudah dan sedang mengungkap kasus-kasus korupsi besar.
Presiden selaku jabatan tertinggi dalam hierarki eksekutif terbukti tidak mampu mencegah pembantunya untuk menyingkirkan 51 Orang Pegawai KPK. Adapun, pernyataan Presiden terkait “hasil TWK tidak dapat dijadikan dasar pemecatan” tanpa diiringi dengan tindakan langsung merupakan bentuk impunitas dan hanya terkesan mencuci tangan. Presiden juga sebelumnya, saat revisi UU KPK digulirkan bak seorang heroik dengan belum menandatangani UU KPK hasil revisi namun tidak kunjung mencabutnya dengan Perpu hingga sekarang hanyalah kesemuan belaka.
Korupsi telah nyata mengurangi kapasitas negara dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, fasilitas publik yang memadai, dan hak-hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain. Atas dasar itu, Kami YLBHI, LBH Papua, LBH Manado, LBH Makassar, LBH Bali, LBH Surabaya, LBH Yogyakarta, LBH Semarang, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Bandar Lampung, LBH Palembang, LBH Pekanbaru, LBH Padang, LBH Medan, LBH Banda Aceh menyatakan sikap menolak keras segala bentuk pelemahan upaya pemberantasan korupsi dan tindakan Pimpinan KPK yang melakukan pemecatan kepada 51 Orang Pegawai KPK dengan muslihat karena tidak lolos TWK.
Jakarta, 13 Juni 2021
Narahubung:
Yogiawan (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) -+62 812-1419-4445
Muhammad Haedir (LBH Makassar) – +62 853-4101-6455