Proses demokratisasi di Indonesia 20 tahun pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, masih terus mengalami ujian dan hambatan. Demokrasi Indonesia bahkan semakin dipukul mundur dengan berkuasanya kekuatan-kekuatan Neo Liberalisme, dan bangkitnya kembali Militerisme, dan tentu saja Fundamentalisme Agama. Bila kita menilik ke agenda-agenda reformasi yang digaungkan di tahun 1998, maka harus jujur diakui bahwa tidak satu pun agenda itu dapat dilaksanakan secara konsisten oleh rezim-rezim orde reformasi.
Agenda reformasi seperti adili Soeharto dan kroni-kroninya, semakin jauh dari harapan. Bahkan keluarga cendana dan eks kroni-kroninya, kini kembali membangun partai-partai politik dengan bebas dan bertarung dalam elektoral. Bahkan suara-suara desakan untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, masih acapkali terdengar, meskipun terbukti bersalah dalam kasus korupsi yayasan Supersemar. Demikian pula kroni-kroninya, termasuk para jenderal-jenderal militer yang diduga keras terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu dengan bebeas membangun partai politik dan beberapa diantaranya bahakan telah dan sementara mencicipi kekuasaan di era ini. Sementara kasus-kasus korupsi keluarga cendana dan kroninya serta kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih banyak yang tak kunjung mendapat penyelesaian yang berkeadilan.
Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai salah satu agenda reformasi juga mengalami kemandegan. Khususnya dalam pemberantasan korupsi, ada kecenderungan perlawanan yang semakin massif. Ironisnya, perlawanan terhadap semangat anti korupsi, justru dimotori oleh elit-elit politik yang bercokol di lembaga legislatif. Akibatnya, kewenangan lembaga anti rasuah KPK perlahan-lahan ingin dipangkas. Penegakan hukum korupsi juga menjadi sorotan dengan masih banyaknya kasus korupsi yang divonis ringan. Perilaku korupsi juga semakin beregenerasi, hal ini tampak dari banyaknya kepala daerah yang berusia muda yang juga ikut terlibat dalam proses reformasi, justru kini terjerat kasus korupsi. Bukan hanya serangan kepada institusi KPK, serangan kepada individu pimpinan KPK seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dikriminalisasi, maupun serangan brutal melalui penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, yang hingga setahun lebih tak kunjung dituntaskan kasusnya.
Agenda reformasi lain yaitu cabut dwi fungsi ABRI kini kembali dalam wujud lain. Era demokrasi yang memberikan ruang yang luas bagi kekuasaan sipil saat ini juga semakin mengalami tekanan. Bahkan militer semakin percaya diri untuk merebut ruang-ruang kekuasaan dengan semakin jauh mencampuri urusan sipil melalui berbagai kebijakan rezim SBY yang dilanjutkan oleh rezim Jokowi saat ini. TNI kembali terlibat dalam kegiatan sosial politik, suatu bagian dari dwifungsi ABRI. Hal ini mewujud dalam berbagai MoU maupun surat edaran yang melibatkan TNI dalam kegiatan kementerian. Padahal keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik dapat berdampak buruk terdahap demokrasi.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi juga masih mengalami kendala. Bukan hanya hukum dianggap masih tajam ke bawah tumpul ke atas, tapi secara spesifik, praktek kekerasan dalam penegakan hukum masih menjadi masalah serius. Pergeseran kultur militer ke sipil misalnya dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri, berjalan sangat lamban, kalau tidak mau mengatakan, tidak ada kemajuan sama sekali. Berbagai kasus kekerasan aparat Polri terhadap rakyat dalam berbagai konflik agraria, sumber daya alam, penanganan aksi demonstrasi, hingga penanganan kasus terkait terorisme, jumlahnya relatif masih tinggi. Ironisnya, kampanye penghormatan HAM dalam penegakan hukum mendapat tantangan dengan terkonsolidasinya kelompok-kelompok intoleran dan anti demokrasi yang cenderung mengarahkan kampanyenya dengan terang-terangan menyatakan anti HAM. Bahkan lebih jauh lagi penyerangan dan pembubaran berbagai kegiatan yang bertema demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia semakin sering terjadi, termasuk salah satunya adalah penyerangan dan pembubaran terdahap kegiatan bertema kasus ’65 di gedung YLBHI 2017 lalu. Berbagai kasus penyerangan dan pembubaran kegiatan bertema demokrasi dan HAM tersebut juga tidak pernah mendapat penyelesaian secara tuntas oleh aparat penegak hukum, yang memang pada dasarnya memiliki perspektif dan keberpihakan pada HAM yang tidak memadai.
YLBHI LBH Makassar sebagai bagian dari kekuatan pro demokrasi di Indonesia pada momentum 20 tahun reformasi ini merasa perlu untuk menegaskan kembali posisi dan sikapnya. Bahwa berlandaskan pada visi misi kelembagaan, kami tetap menyerukan bagi setiap rakyat Indonesia agar konsisten untuk mengawal transisi politik Indonesia menuju demokrasi sejati yang berlandaskan gerakan rakyat dan berkeadilan gender. Terus menerus mempromosikan dan memperjuangkan terjaminnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yang hanya bisa terwujud di atas terwujudnya kebebasan-kebebasan dasar dalam konsepsi hak-hak sipil dan politik merupakan bekal awal bagi terbukanya peluang masyarakat untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Di atas semua itu, sudah seharusnya bagi kita untuk mulai mengembangkan diskusi yang serius tentang konsepsi politik alternatif yang bisa dijadikan media perjuangan yang terlepas dari anasir-anasir orde baru, untuk mewujudkan cita-cita besar Indonesia berkeadilan.
Oleh karena itu, dalam peringatan 20 tahun reformasi ini, YLBHI LBH Makassar menyatakan sikap :
- Selamatkan demokrasi dari ancaman militerisme, neoliberalisme, fundamentalisme dll;
- Tuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu;
- Tolak keterlibatan TNI dalam kegiatan sosial politik rakyat;
- Bangun kekuatan politik alternatif untuk Indonesia berkeadilan;
Makassar, 21 Mei 2018
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) MAKASSAR