Tujuan diberikannya kewenangan bagi anggota kepolisian menggunakan senjata api untuk melindungi masyarakat, menegakkan hukum dan menjamin Hak Asasi Manusia sebagaimana tugas dan fungsi kepolisian itu sendiri. Legitimasi memiliki dan menggunakan senjata api bagi aparat kepolisian oleh undang – undang tidak berarti anggota kepolisian bisa secara serampangan menggunakan senjata api yang dikuasainya tersebut, lebih – lebih lagi digunakan untuk gagah – gagahan serta mengancam masyarakat.
Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian telah diatur, diantaranya melalui Peraturan Kapolri Nomor No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No. 8 Tahun 2009). Walaupun sudah diatur, tidak sedikit anggota kepolisian menggunakan senjata api diluar kewenangannya hingga berujung pelanggaran kode etik dan tindak pidana.
Merujuk pada ketentuan Pasal 47 Perkap No. 8 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Perkap No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, jelas tindakan yang dilakukan oleh terduga pelaku AH tidak dapat dibenarkan dan berpotensi melanggar hak atas rasa aman sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Konstitusi jo UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia jo. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Tindakan Penodongan terhadap anak dibawa umur juga pernah terjadi di Kabupaten Bone dan telah divonis bersalah telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak oleh Pengadilan Negeri Watampone dan melanggar kode etik Polri. Kasus serupa terjadi, tindakan pengancaman menggunakan senjata api yang diduga kuat dilakukan oleh anggota Polri Satlantas Polrestabes Makassar berinisial nama AH Ba yang terjadi di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Imam Az-zuhri, Jl. Veteran Bakung Kel. Samata Kec. Somba Opu Kab Gowa pada Rabu, 23 November 2022 lalu, telah menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri.
Dalam video rekaman CCTV yang beredar luas melalui media sosial, terlihat tindakan terduga pelaku (AH) menarik kerah baju salah satu santri dan mengacungkan pistolnya. Dari hasil pemantauan LBH Makassar ditemukan bahwa kejadian tersebut dipicu oleh adanya lemparan batu yang mengenai rumah dari terduga pelaku beserta beberapa rumah warga sekitar. Namun, setelah diperiksa CCTV, pelaku pelemparan tersebut bukanlah santri melainkan sekumpulan anak remaja yang sedang melintas.
Dikutip dari detikSulsel (30/11/22), Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Komang Suartana menyampaikan bahwa “Nggak ada (proses pidana), dia kan belum melakukan tindakan (pidana)”, “Kecuali ada yang dipukul, ada bekas – bekas dan itu dilaporkan ada penganiayaan ya itu ada pidananya”, “Untuk melakukan tindakan mungkin itu karena arogansi, membawa senjata ya itu kesalahannya disana. Menyalahi prosedur” lebih lanjut Suartana mengatakan “berarti kan (penanganannya) kode etik saja atau disiplin”.
Dari pernyataan tersebut diatas dapat dilihat proses penyelesaian yang akan diambil oleh aparat kepolisian atas tindakan yang dilakukan oleh terduga pelaku AH dan sanksi apa yang akan diperoleh jika terbukti ada kesalahan dari terduga pelaku AH, yaitu melalui mekanisme etik dan disiplin kepolisian.
Pernyataan yang disampaikan Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Komang Suartana sebagaimana dikutip dari detikSulsel tersebut diatas, jelas adalah pernyataan yang mengandung kekeliruan, hal mana dapat dinilai pernyataan tersebut telah mereduksi KUHP, seolah – olah yang diatur dalam KUHP hanya tindakan Penganiayaan. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak hanya mengatur tentang Penganiayaan, namun lebih dari itu, ada banyak pasal dalam KUHP yang mengatur tentang Tindakan Kejahatan termasuk Kejahatan Pengancaman. Tindakan Penganiayaan sendiri sebagai kejahatan diatur dalam Bab XX, Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP sedangkan tindakan Pengancaman dapat diatur dalam Pasal 335 sampai dengan Pasal 337 KUHP, selain itu diatur pula dalam Pasal 368 KUHP.
Menanggapi tindakan yang dilakukan AH dalam peristiwa yang terjadi pada Rabu, 23 November 2022 lalu tersebut kuat dugaan merupakan tindakan yang tidak hanya melanggar kode etik tetapi juga merupakan tindak pidana, yaitu tindak pidana Pengancaman. Karena itu penindakannya, selain melalui mekanisme etik di kepolisian sebagai sebagai konsekuensi pertanggungjawaban adanya dugaan pelanggaran etik, juga harus diselesaikan melalui mekanisme peradilan umum untuk dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai konsekuensi hukum adanya dugaan tindak pidana Pengancaman dengan senjata api oleh terduga pelaku AH.
Atas dasar itu, Kami dari LBH Makassar mengecaman tindakan yang dilakukan oleh terduga pelaku AH dan mendesak Polda Sulsel untuk bertindak secara profesional, transparan dan akuntabel dengan membawa kasus ini ke ranah pidana dalam peradilan umum dengan dugaan Pengancaman menggunakan senjata tajam.
Makassar, 02 Desember 2022
YLBHI-LBH Makassar
Narahubung:
Ridwan, S.H., M.H. (LBH Makassar – YLBHI)
Muhammad Ansar (LBH Makassar – YLBHI)
Mirayati Amin, S.H. (LBH Makassar – YLBHI)