Majelis Hakim yang memeriksa Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang ajukan Warga Bara-Baraya atas putusan Mahkamah Agung (MA) tidak berpihak pada keadilan substantif. Namun tidak ada kata “Menyerah” bagi warga Bara-Baraya melawan proses Peradilan yang tidak memberikan perlindungan bagi Hak Asasi Manusia. Sejatinya tanah yang menjadi incaran “Mafia Tanah” ini, merupakan milik warga Bara-Baraya yang diperoleh secara tidak melawan hukum dan telah dikuasai puluhan tahun.
Beberapa warga Bara-Baraya lainnya sebagai pihak ketiga dari perkara sebelumnya, turut melakukan perlawanan atas Putusan MA dengan mengajukan gugatan (Derden Verzet) pada tanggal 29 November 2022. Sebab mereka berada di objek sengketa yang bukan pihak tergugat dalam perkara ini. Dimana mereka juga akan menjadi korban jika Pengadilan Negeri Makassar memaksakan eksekusi, tanpa mempertimbangkan upaya hukum ini.
Upaya warga ini menunjukkan jika perlawanan warga Bara-Baraya semakin meluas, sebab jika eksekusi dilakukan korban yang akan timbul semakin bertambah jumlahnya dan memberi dampak sistemik. Tanpa adanya perlindungan Hukum yang memadai dari Negara yang berakibat terampasnya Hak-Hak fundamental mereka. Tercatat ada lebih dari 196 jiwa yang sedang dibayang-bayangi oleh penggusuran. Mereka semua merupakan warga Bara-baraya yang telah hidup puluhan tahun, yang berpotensi hidup terkatung-katung tanpa tanah dan tempat tinggal yang layak.
Dari angka potensi korban tersebut didominasi oleh kelompok rentan. Berdasarkan gender, perempuan sejumlah 103 jiwa, dan laki-laki sejumlah 93 jiwa. Kelompok rentan lainnya terdiri dari Balita 5 tahun sejumlah 12 jiwa, usia anak 54 jiwa dan terdapat lansia 14 jiwa.
Ancaman kehilangan tanah dan tempat tinggal terus menghantui setiap saat. Tidak ada kepastian kapan mereka akan hidup tenang dan bebas dari segala bentuk ancaman, yang dihunus oleh para MafiaTanah yang terus berupaya menguasai tanah yang ditinggali warga Bara-Baraya.
Pengadilan harusnya berpihak kepada keadilan warga dengan melihat ancaman nyata bahwa penyingkiran adalah sebuah bentuk Pelanggaran HAM yang nyata. Penggusuran akan merenggut beberapa Hak Warga Bara-Baraya:
- UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
Pasal 40: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. - Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
Pasal 25 ayat (1): “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”. - UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya)
Pasal 11 ayat (1): “Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan….”
Sesuai dengan Instrumen Hukum Internasional yang termaktub dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) KOMENTAR UMUM NO. 7 (1997)
Hak atas Tempat Tinggal yang Layak:
Pengusiran Paksa (Pasal 11 [1]
Perjanjian Internasional atas Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Tertera dalam poin:
- Dalam Komentar Umum No. 4 (1991), Komite mengamati bahwa setiap orang harus memiliki kepastian kedudukan yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, kekerasan, dan ancaman-ancaman lainnya. Komentar ini menyimpulkan bahwa pengusiran paksa merupakan prima facie yang tidak sesuai dengan syarat-syarat Perjanjian. Setelah mempelajari sejumlah laporan tentang pengusiran paksa dalam tahun-tahun belakangan ini, termasuk contoh-contoh dimana kewajiban-kewajiban Negara yang dilanggar telah dikenali, Komite kini berada dalam posisi untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut mengenai dampak dari praktek-praktek semacam ini dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Perjanjian.
Tertera dalam poin:
- Perempuan, anak-anak, remaja, manula, penduduk asli, kelompok minoritas etnis dan lainnya, serta orang-orang dan kelompok-kelompok rawan lainnya menjadi korban praktek pengusiran-paksa. Kaum perempuan adalah yang paling rawan dengan adanya diskriminasi yang kerap terjadi sehubungan dengan hak atas properti (termasuk kepemilikan rumah) atau hak atas akses properti atau akomodasi, dan rawannya mereka terhadap tindak perkosaan dan pelecehan seksual jika dibuat tidak memiliki tempat tinggal. Ketetapan non-diskriminasi dalam pasal 2.2 dan 3 Perjanjian mewajibkan Pemerintah untuk memastikan bahwa, dimanapun terjadi pengusiran, ukuran-ukuran yang tepat harus digunakan untuk memastikan tidak terlibatnya unsur diskriminasi.
- Konvensi Hak Anak
Pasal 27 Ayat 3: ”Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan.
Penggusuran paksa memiliki akibat yang sangat luas seperti menyebabkan orang menjadi tunawisma, hilangnya rasa aman, terisolasi dari komunitas dan keluarga, hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas identitas, hilangnya hak untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi, materi dan juga kerugian psikologis berupa trauma yang sangat mendalam. Bahkan, dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya nyawa orang. Jika penggusuran paksa terjadi di Bara-Baraya, maka kita akan menyaksikan praktek nyata dimana Negara dan produk Hukum telah menelantarkan dan memiskinkan warganya.