Sejak awal pandemi pertama kali diumumkan di Indonesia pada bulan Maret 2020 hingga hari ini, jumlah kasus positif Covid-19 sudah mencapai 2,23 juta kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,9 juta jiwa. Dalam penanganan COVID-19 Pemerintah Indonesia telah menetapkan politik hukum dengan menerbitkan tiga instrumen hukum sebagai langkah pencegahan terhadap penyebaran wabah COVID-19, yakni Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Menindaklanjuti peraturan tersebut, pemerintah kota Makassar kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai upaya pencegahan dan penanganan Covid-19. Diantaranya, Peraturan Walikota Nomor 36 Tahun 2020 tentang Percepatan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19), Perwali Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, Perwali Nomor 52 tahun 2020 tentang pedoman penerapan protokol kesehatan pada pelaksanaan kegiatan pernikahan, resepsi pernikahan dan pertemuan di kota Makassar dan Perwali Nomor 5 Tahun 2021 tentang Recover. Namun, politik hukum tersebut justru memunculkan kritik di mana-mana. Aturan tersebut dinilai lamban. Akibatnya, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mengalami kegagapan dalam mengambil langkah-langkah penanggulangan wabah pandemi COVID-19. Selain itu, kondisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk malahirkan kebijakan yang dianggap merugikan warga negara indonesia dalam hal kesejatraan dan keadilan seperti pemerintah mensahkan undang-undang Omnibus Cipta Kerja dan Undang-undang Mineral dan Batubara yang isinya bertentangan dengan hak masyarakat di berbagai sektor, antara lain di bidang perburuhan, sumber daya alam, pertanian, hak komunitas adat, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal itu, perlu adanya peran YLBHI–LBH Makassar serta jaringan keadilan di seluruh Indonesia untuk membangun gerakan melawan kebijakan rezim yang mengabaikan hak masyarakat. Gerakan ini dilakukan dengan mendorong peran paralegal komunitas untuk bersama-sama kantor LBH setempat melakukan pemantauan dan advokasi terhadap kebijakan terkait covid-19, melawan kebijakan terkait Undang-undang Cipta Kerja dan UU Minerba serta melawan kebijakan deforestasi, yang merugikan hak masyarakat atas keadilan, melalui kegiatan “Pelatihan Paralegal Covid”.
Kegiatan tersebut direncanakan berlangsung selama empat hari, mulai tanggal 21 Agustus hingga 24 Agustus 2021, secara online melalui aplikasi zoom meeting.
Menurut Muhammad Haedir, selaku Direktur LBH Makassar, peserta yang ikut terlibat dalam kegiatan ini, berasal dari latar belakang profesi dan pendidikan yang berbeda-beda. Mulai dari Mahasiswa, serikat buruh, guru, pekerja sosial hingga shelter warga.
“Karena sejak awal focus pelatihan ini untuk mengakomodir kebutuhan isu dari berbagai sector, seperti pendidikan, buruh, kesehatan, akses fasilitas isolasi mandiri bagi teman-teman disabilitas dan bahkan terkait transparansi anggaran penanganan Covid. Sehingga, sasaran pesertanya pun beragam. Nantinya, output dari kegiatan ini yakni pembentukan posko Covid bersama untuk pemantauan kebijakan penanganan Covid di Makassar” jelasnya.
Makassar, 20 Agustus 2021
YLBHI-LBH Makassar
Narahubung:
Andi Haerul Karim, S.H. (Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar)
+62 813-4398-5796