Latar Belakang
PLTA PT. Seko Power Prima akan berinvestasi untuk membangun PLTA dengan kapasitas 480 MW sesuai dengan yang tertuang di dalam dokumen RUPTL. PLTA PT. Seko Power Prima merupakan salah satu PLTA di Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak Kabupaten Luwu Utara, kecamatan Seko yang masuk dalam Program Pengadaan Pembangkit 35.000 MW berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN Persero 2015-2024.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 19 tahun 2015 pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa “Dengan Peraturan Menteri ini, Menteri menugaskan PT. PLN (Persero) untuk membeli tenaga listrik dari PLTA dengan kapasitas sampai dengan 10 MW (sepuluh megawatt) dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yang telah memiliki IUPTL”. Artinya bahwa, pihak PT. PLN hanya bisa membeli tenaga listrik dari PLTA maksmial 10 MW. Sementara PLTA PT. Seko Power Prima menginvestasi 480 MW. Pertanyaannya, 470 MW mau digunakan untuk apa dan untuk kepentingan apa? Tentunya untuk mensuplai listri bagi rencana investasi pembangunan perusahaan tambang yang telah mengantongi izin eksplorasi di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Seko, Rongkong dan Rampi. Dari data Dinas Pertambangan, Perusahaan Pertambangan telah mendapat IUP sejak tahun 2011 dengan total luasan 237.984 Ha, adalah:
- PT. Aneka Tambang (emas)
- PT. Seko Bukit Mas (bijih besi)
- PT. Sapta Cipta Kencana Wisma (bijih besi)
- PT. Andalan Prima Cakrawala (bijih besi)
- PT. Trisakti Panca Sakti (bijih besi)
- PT. Citra Palu Mineral (logam dasar)
- PT. Kalla Arebamma (bijih besi)
- PT. Kalla Arebamma (emas)
- PT. Dataran Seko Perkasa (bijih besi)
- PT. Samudra Raya Prima (bijih besi)
Pembangunan PLTA PT. Seko Power Prima akan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat Seko, khususnya perempuan. Sebagian besar masyarakat adat Seko berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, pembangunan PLTA juga akan mengancam sekitar 25 Ha sawah produktif yang akan tergenang air akibat pembangunan PLTA tersebut.
Informasi kasus
Penolakan masyarakat Seko Tengah yang ada di Desa Tanamakaleang, Hoyane, dan Embonnatana yang juga merupakan wilayah ada Komunitas Adat Pohoneang dan Hoyane sudah berlangsung sejak tahun 2012. Wilayah Komunitas Adat Pohoneang memiliki luas wilayah adat 4.413,44 Ha dengan jumlah penduduk 410 KK terdiri dari 890 laki-laki dan 927 perempuan, dan wilayah Komunitas Adat Hoyane memiliki luas 18.970,57 Ha dengan jumlah penduduk 169 KK terdiri dari 390 laki-laki dan 437 perempuan. Protes masyarakat dan aksi pengusiran serta penyanderaan pekerja PLTA PT. Seko Power Prima di lokasi yang melakukan penegerjaan tanpa izin masyarakat adat Seko Tengah mulai mengemuka tahun 2014. Penolakan masyarakat adat Seko didasari dengan Perda No. 12 tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat, yang diperkuat dengan SK yang dikeluarkan oleh Bupati Luwu Utara No.300 tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko. Salah satu pointnya adalah: Setiap pemberian izin-izin pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat Seko harus atas persetujuan masyarakat adat Seko (point a pasal 10).
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PT. Seko milik PT. Seko Power Prima, di kecamatan Seko, kabupaten Luwu Utara tetap dilaksanakan menjadi bencana besar bagi ribuan jiwa masyarakat pedalaman di daerah tersebut. Pasalnya, sejauh ini warga tetap menolak dengan berada di lokasi yang telah diwariskan nenek moyang mereka sejak puluhan tahun silam. Seko Power Prima memperoleh surat perpanjangan izin prinsip dari pemerintah daerah Luwu Utara sejak 23 Juni 2014 dan berakhir tanggal 23 juni 2015, kemudian mulai melakukan aktifitas pengeboran sekitar bulan Mei 2016 sementara izin lokasi peruntukan PLTA terbit pada 9 Juni 2016. Sejak awal beroperasi dengan melakukan suvey pengambilan sampel tanah di wilayah adat komunitas adat Pohoneang dan Hoyane, sebagian besar masyarakat adat di dua komunitas tersebut menolak rencana pembangunan PLTA di wilayah adat mereka.
Dampak yang dialami oleh Masyarakat Adat Seko, khususnya perempuan dan anak akibat pembangunan PLTA PT. Seko Power Prima
1. Intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi
Sepanjang tahun 2016-2017, masyarakat adat Seko yang berjuang mempertahankan hak atas sumber daya alamnya kerap mengalami tindakan represif dari aparat kepolisian Luwu Utara. Sebanyak 13 orang masyarakat adat Seko dikriminalisasi dan pada bulan Maret telah dijatuhkan vonis oleh PN Masamba 7 bulan penjara atas tuduhan perusakan basecamp perusahaan. Selain itu, perempuan yang juga berjuang untuk mempertahankan sumber penghidupannya juga mengalami tindakan represif dari arapat. Pada bulan Maret 2017, 6 orang perempuan mengalami kekerasan fisik. Mereka diangkat lalu dibuang. Selain itu, mereka juga ditembaki gas air mata.
2. Kehilangan sumber pangan
Sebagian besar masyarakat adat Seko menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan sumber daya alamnya. Masuknya PLTA di wilayah tersebut membuat masyarakat khususnya perempuan semakin jauh dari alamnya. Tidak hanya itu, mereka juga telah kehilangan sumber pangannya, termarjinalkan, bahkan dimiskinkan. Tanah yang merupakan sumber pangan mereka telah dirampas paksa oleh penguasa dan pengusaha untuk kepentingan investasi.
3. Urbanisasi dan Putus Sekolah
Sebagian dari mereka yang terus menerus mengalami tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian memilih untuk keluar dari wilayah adatnya, mereka memilih untuk pergi ke kota dan mencari rasa aman. Ketakutan mereka muncul ketika pihak Polres Luwu Utara terus-menerus melakukan penyisiran bagi masyarakat yang masih berjuang mempertahankan haknya. Akibatnya, sebagian anak yang masih berstatus pelajar dengan terpaksa harus putus sekolah.
Makassar, 8 April 2017
Solidaritas untuk Seko
Walhi Sulawesi selatan, KPA Sulawesi Selatan, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, PP MAN, LBH Makassar, KontraS Sulawesi, Jaringan Gusdurian Makassar, LAPAR Sulsel, PMII UIN Cab. Makassar, PEMILAR, Pembebasan, LPM Unifa, HPMS, IPMII, Komunal
Comments
No comment yet.