Pinrang, 27 Mei 2024. Warga Pinrang yang berasal dari Bababinanga dan Salipolo memenuhi ruangan rapat Paripurna DPRD Kabupaten Pinrang. Dalam pertemuan rapat dengan pendapat (RDP), dengan tegas menolak tambang pasir di muara Sungai Saddang.
“Kami hidup dari kebun dan tambak, kalau tambang beroperasi, lalu kebun dan tambak kami rusak, dari mana lagi kami akan hidup?” Ujar Angka seorang Perempuan Warga Bababinanga.
Melalui kesaksian Warga, dampak akibat beroperasinya tambang pasir jelas terasa. Sebelumnya pada 14 April 2024 seorang Warga harus kehilangan rumah tempat tinggalnya yang hanyut akibat abrasi di sepanjang Sungai Saddang. Selain itu, pernah ketika terjadi banjir ratusan hektar kebun dan tambak warga harus terendam dan mengalami derita gagal panen.
Dalam pertemuan RPD, forum yang tidak mengundang Warga, dihadiri oleh Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Satpol PP, Camat Duampanua, Kepala Desa Bababinanga dan seluruh Kepala Dusun dan Tokoh Masyarakat di Desa Bababinanga.
Sebagai pihak yang merasakan dampak buruk tambang, Warga berinisiatif untuk mengintervensi forum dan memutuskan untuk hadir dalam RDP.
RDP dibuka oleh Pimpinan Komisi II Bidang Pertambangan DPRD Pinrang, yang lalu memberikan kesempatan pertama ke pihak LSM Duta Keadilan untuk mempertanyakan alasan permohonannya terkait RDP ini. Dalam pernyataannya, pihak LSM tersebut mempertanyakan alasan penolakan warga terkait dengan penambangan pasir di muara sungai Saddang. Karena menurutnya material pasir yang ditambang di muara sungai Saddang adalah komoditas primadona untuk menunjang Pembangunan IKN.
Warga kemudian menegaskan sikapnya bahwa mereka dengan tegas menolak tambang. Hal ini lantaran warga memiliki pengalaman traumatik ketika mereka menghadapi banjir. Setiap tahunnya wilayah daerah aliran sungai Saddang mengalami abrasi.
Hal ini diakui oleh Pimpinan Komisi II DPRD Pinrang yang mengetahui abrasi yang terjadi. Selain itu di sungai tersebut adalah ruang kehidupan warga tempat dimana warga sering menangkap udang kecil (balacang) yang akan hilang ketika wilayah tersebut di tambang.
Muara sungai Saddang juga merupakan habitat dari Buaya yang memiliki relasi yang erat dan warga karena warga memiliki kepercayaan buaya tersebut adalah bagian dari leluhurnya. Bilamana wilayah tersebut ditambang maka habitat dari Buaya juga akan rusak sehingga bisa mengakibatkan punahnya Buaya di Muara Sungai Saddang.
“Pertemuan ini untuk mendengar pendapat dari warga terkait tambang, dalam pertemuan ini warga dengan tegas menyampaikan penolakkannya, LSM yang hadir disini seharusnya ada untuk memfasilitasi masyarakat ketika ada perusahaan yang bertanya. Pertemuan ini adalah yang terakhir sebab secara tegas sikap warga tetap pada penolakannya terhadap tambang pasir,” tegas Muhammad Sakir perwakilan Warga Salipolo
Semua aktivitas yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup masyarakat harus melakukan kajian lingkungan. Pihak perusahaan mestinya menyampaikan informasi secara utuh terkait dengan rencana kegiatannya dan dampak yang potensial ditimbulkan dari kegiatannya.
Hasbi selaku Pendamping hukum dari YLBHI LBH Makassar berpandangan bahwa jika suatu aktivitas berpotensi merusak ruang hidup warga, dan warga menyatakan penolakan, pemerintah dan perusahaan harus menghormati pandangan warga, dan menghentikan segala tindakan yang berpotensi melanggar hak atas lingkungan hidup bagi warga sekitar
Hasbi juga menyoroti pandangan dari Kadis PMPTSP Pinrang yang menyampaikan bahwa terdapat ancaman pidana terhadap warga yang menghalang-halangi aktivitas pertambangan ketika seluruh Izinnya sudah lengkap.
“Sikap warga untuk menolak tambang adalah sikap politik yang dilindungi oleh Undang-Undang dan itu merupakan hak konstitusional warga untuk mempertahankan ruang hidupnya. Menurut UU Lingkungan Hidup, setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ujar Hasbi.
Nurwahida selaku Asisten Pendamping Hukum LBH Makassar memberikan catatan terkait sikap DPRD Kab. Pinrang serta Pegawai Kecamatan Duampanua yang tidak berani bersikap atas penolakan warga terhadap tambang.
“Pihak pemerintahan yang hadir dalam RDP tersebut baik dari Komisi I Bidang Pertambangan sampai tingkat kecamatan yang diwakili Kepala Seksi Tantrib tidak memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap tambang. Alih-alih bersikap tegas terhadap penambang pasir, aparat pemerintah justru saling menyalahkan, Dan melepaskan tanggung jawab atas terbitnya IUP di sepanjang DAS Saddang,” pungkas Nurwahida selaku APBH LBH Makassar.
Pertemuan kemudian diakhiri dengan penandatanganan berita acara yang berisi kesepakatan. Pertama, peninjauan lapangan terhadap kondisi sungai pada Kamis, 30 Mei 2024. Kedua, hasil pertemuan dan RDP tersebut oleh Komisi II DPRD akan memfasilitasi penyampaian aspirasi secara langsung di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan sebagai lembaga berwenang memanggil otoritas provinsi terkait kewenangannya menerbitkan izin.
Narahubung:
+62 813-5685-8409 – Hasbi Assidiq (PBH LBH Makassar)