Amin (55), Labaa (78) dan Wa Ana (37) menerima surat panggilan dari Kepolisian Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara perihal Undangan Klarifikasi atas dugaan tindak pidana dalam bidang pertambangan Mineral dan Batubara yang diduga terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawoni Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan. Ketiga warga Wawoni disangka dengan Pasal 162 Jo. 136 Ayat (1) UU No. 4 tahun 2019 tentang Mineral Batubara. Pemeriksaan dijadwalkan pada tanggal 29 Juli 2019 pukul 8.30 Wita di ruang Direktorat Kriminal Khusus Polda Sultra.
Sebelumnya, warga telah dipanggil secara resmi untuk diperiksa pada tanggal 22 Juli 2019, akan tetapi warga tidak bersedia diperiksa tanpa pendampingan dari penasehat hukum. Warga sangat tertekan dan merasa terintimidasi dengan adanya laporan polisi, apalagi langsung ditangani tingkat Polda. Warga kemudian mengadukan kasusnya ke kantor YLBHI sekaligus meminta pendampingan hukum. YLBHI meneruskan pengaduan ini ke LBH Makassar dan menunjuk Kepala Divisi Tanah & Lingkungan, Edy Kurniawan Wahid, bersama Ratna Kahali untuk mendampingi warga dalam pemeriksaan di Polda Sultra. Sebelum dilakukan pemeriksaan, tim LBH Makassar terlebih dahulu melakukan pertemuan bersama warga, perwakilan JATAM (Jaringan Tambang) dan perwakilan Front Rakyat Sultra Bela Wawoni di sebuah warkop di Kendari untuk menggali informasi lengkap mengenai kronologis kasus. Warga yang tergabung dalam Front Rakyat Sultra Bela Wawoni sangat antusius dan menyambut baik kedatangan tim LBH Makassar. Dengan adanya pendampingan hukum dari LBH Makassar, menumbuhkan kembali semangat perjuangan warga menolak tambang. Tiga petani yang akan diperiksa pun percaya diri untuk memberikan klarifikasi.
Warga di atas dilaporkan oleh PT. Gema Kreasi Perdana (GKP) selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan Nikel di Pulau Wawoni, karena menolak pembebasan lahan tambang.. Mereka dituduh menghalang – halangi atau mengganggu kegiatan pertambangan. Padahal mereka telah mengolah lahan itu selama 35 tahun dan membayar pajak setiap tahunnya. Bahkan, dalam rentang waktu puluhan tahun itu, tak pernah sekalipun terjadi konflik penguasaan lahan, baik sesama warga maupun dengan pihak lain. Justru ketika PT. GKP masuk, konflik mulai muncul. Warga saling mengklaim lahan milik orang lain untuk dijual ke pihak perusahaan.
Selain tiga warga di atas, tiga warga Desa Sukarela Jaya lainnya, masing – masing atas nama Idris, Sardin dan Masa Udin (L) juga menerima surat Undangan Klarifikasi dari Kasat Reskrim Polres Kendari pada 27 Juli 2019. Warga dilaporkan atas dugaan tindak pidana penganiayaan dan tindak pidana pengancaman terhadap karyawan perusahaan.
Banyaknya warga penolak tambang yang dilaporkan ke pihak kepolisian, berikut gerak cepat polisi dalam memproses laporan tersebut, mengindikasikan posisi dan sikap polisi yang cenderung berpihak pada perusahaan tambang ketimbang hadir untuk melindungi masyarakat yang lahan – lahannya terus terancam. Bahkan, pemerintah daerah, mulai dari Desa, Camat Wawonii Tenggara, Bupati Konawe Kepulauan, hingga Gubernur Sulawesi Tenggara tampak masa bodoh, membiarkan upaya perampasan lahan ini terus berlangsung.