Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP), yang menyangkut hajat hidup orang banyak saat ini sedang dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah. Tanpa mempertimbangan kualitas RUUP dan situasi agraria saat ini, pembuat undang-undang (DPR RI dan Pemerintah) tetap bersikukuh mengesahkan RUUP. Sementara itu, Indonesia tengah mengalami 5 (lima) pokok krisis agraria, yakni: (1) Ketimpangan struktur agraria yang tajam; (2) Maraknya konflik agraria struktural; (3) Kerusakan ekologis yang meluas; (4) Laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian; dan (5) Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas. Oleh karena itu, RUUP seharusnya menjawab 5 krisis pokok agraria di atas yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan. Merujuk pada naskah RUUP yang terakhir, kami memandang bahwa RUUP gagal menjawab 5 krisis agraria yang terjadi.
Ketimpangan penguasaan ruang dan pengelolaan atas sumber agraria masih begitu nyata, pembenahan tata kelola sumber sumber agraria belum terjadi dan upaya pemulihan krisis lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat jalan ditempat, meskipun regulasinya telah dibuat. Dalam konteks situasi agraria Sulawesi Selatan yang memiliki 3033 desa/kelurahan, ada 1028 desa diklaim masuk dalam kawasan hutan. Sementara ada privatisasi konsesi kehutanan seluas 347.653,996 Ha, sektor pertambangan 655.086,66 Ha, pada sektor Perkebunan 218.833,72 Ha dan untuk pembangunan infrastruktur mencapai 36.876 Ha. Total alokasi ruang untuk konsesi 4 sektor adalah 1.258.450,376 Ha.
Jika melihat peruntukan ruang Sulawesi Selatan, 60 % klaim kawasan hutan dan peruntukan konsesi sekitar 20% dari luas 45.765,53 km propinsi ini, sementara ada Rumah Tangga Petani gurem di Sulawesi Selatan sekitar 338.108 dari total 950.241 RTP, artinya terdapat 35% RTP yang penguasaan lahannya dibawah 1.000 m2. Jika diurai lagi maka akan memperlihatkan bahwa 1 Rumah Tangga Petani menguasai lahan garapan hanya 0,57 Ha saja atau di bawah 1 ha. Catatan KPA Sulsel, sepanjang tahun 2015- 2019, ada sekitar 50 petani yang dikriminalisasi oleh negara yang menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kejahatan. Situasi ini memperlihatkan bagaimana ketimpangan penguasaan dan tata kelola agraria yang tidak sungguh jauh dari rasa keadilan.
Melihat persoalan mendasar dari RUU Pertanahan saat ini adalah: RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960; Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan “Hak Menguasai dari Negara (HMN)”; Masalah Hak Guna Usaha (HGU); Kontradiksi dengan agenda dan spirit reforma agraria (RA); Kekosongan Penyelesaian Konflik Agraria; Permasalahan Sektoralisme Pertanahan dan Pendaftaran Tanah; Pengingkaran Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat; Bahaya Pengadaan Tanah dan Bank Tanah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada Ketua DPR RI dan Presiden RI agar membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan. Ke depan, diperlukan penyusunan ulang draft Undang-Undang yang lebih utuh dan matang untuk menjawab krisis agraria nasional dan mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat. Utamanya, RUU mengenai agraria yang sejalan dengan mandat Pasal 33 UUD 1945, Tap MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Makassar 12 September 2019
Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sulawesi Selatan, WALHI Sulsel, SPAM, ACC Sulawesi, LBH Makassar, Lapar Sulsel, PPMAN, FNKSDA Makassar, FMK, Pembebasan, CGMT, Komunal, ForMakar, PPMI DK Makasar, Fosis UMI, Sintalaras UNM , BEM FAI UMI, BEM FIS UNM, DEMA Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN, DEMA Fakultas Syariah dan Hukum UIN, PMII Rayon FAI UMI, LKBHMI Cab. Gowa Raya, HMI Kom. Adab dan Humaniora UIN, HMI kom. Ekonomi dan Bisnis Islam UIN, AMP, Simposium, Lesbumi, Forwa, AntiTesis
Narahubung : KPA Sulsel (Badai, 085 213 678 222)