Koalisi Masyarakat Sulsel Tuntut Reformasi Kepolisian

REPOSISI POLRI DAN PERKEMBANGAN POSKO PENGADUAN KEKERASAN APARAT

Sejak awal reformasi Polri digulirkan, telah terbangun kesepahaman bersama mengubah pendekatan keamanan dari pelayanan negara menjadi pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, masalah keamanan merupakan bagian integral dari upaya pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun masalah menjadi lebih pelik karena kepolisian kemudian lebih menganggap penegakan hukum sebagai tugas pokok dan dipandang terpisah dari fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa penegakan hukum yang dilakukan kepolisian cenderung mengabaikan perlindungan hak-hak hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan aparat keamanan yang mandek atau hanya diselesaikan sampai di tingkat sidang kode etik dan disiplin. Begitu juga tindakan diskriminatif polisi terhadap golongan atau kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti ahmadiyah, syiah, LGBT, dan lain-lain. Dalam kasus ahmadiyah dan syiah, kepolisian cenderung membiarkan tersulutnya konflik horizontal di masyarakat, sementara LGBT banyak mendapat diskriminasi bahkan secara langsung oleh aparat penegak hukum itu sendiri.

Terkait hal tersebut di atas, LBH Makassar sebelumnya telah melaunching kasus-kasus kekerasan aparat kemanan yang mandek dalam proses penegakan hukumnya, dimana LBH Makassar sendiri menangani 18 kasus kekerasan aparat yang masih mandek dari tahun 2009 – 2015. Selain itu, membuka posko pengaduan bagi korban kekerasan aparat kepolisian lainnya yang belum terkampanyekan dan tertangani selama ini. Selama kurang lebih dua minggu berjalan, posko pengaduan telah mendapatkan respon yang positif dari masyarakat dimana ada beberapa kasus baru maupun lama yang diadukan. Kasus-kasus tersebut sebagai berikut diantaranya, (1) Agus Salim yang dituduh mencuri dan diamankan oleh polisi namun tidak pernah diperiksa oleh penyidik, selang 4 jam kemudian keluarga mendapat kabar bahwa yang bersangkutan meninggal dunia. (2) Dede & rahmat, terpidana kasus pembunuhan yang mengaku mengalami kekerasan selama proses penyidikan di kepolisian dimana yang bersangkutan dipaksa mengakui turut serta dalam kasus pembunuhan. (3) Surya, dituduh melakukan pembunuhan, dipaksa mengakui dan mengalami penganiayaan, bahkan telah ditembak beberapa kali. (4) Masyarakat Advent Toraja, diintimidasi oleh Polisi dimana mereka dilarang membangun sekolah padahal telah memiliki IMB. (5) Randi Rahman, seorang anak yang diduga melakukan penganiayaan, mengaku mendapatkan kekerasan fisik selama menjalani pemeriksaan di kepolisian.

Menindaklanjuti launching kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian yang mandek serta posko pengaduan korban kekerasan polisi, LBH Makassar bersama Koalisi Reformasi Kepolisian Republik Indonesia berinisiatif untuk membangun kesepahaman bersama akan pentingnya melakukan reformasi kepolisian, dimana masyarakat sipil harus memberikan kontribusi konkrit secara aktif. Advokasi reformasi kepolisian ini akan dijalankan seiring dengan rencana pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia. Advokasi reformasi kepolisian dimulai dengan menginventarisir beberapa masalah pokok terkait fungsi, kewenangan, dan kelembagaan Polri secara umum.

Selain pelaksanaan fungsi kepolisian dengan pendekatan keamanan dan penegakan hukum yang masih belum lepas dari aroma militerisme dan diskriminasi, upaya perbaikan di internal kepolisian melalui beberapa peraturan internal seperti implementasi prinsip dan standar HAM, pengawasan dan pemeriksaan rutin, hingga tata cara pelayanan informasi publik, masih sebatas gincu pemanis bibir. Peraturan-peraturan internal tersebut hanya dipahami oleh kalangan elit kepolisian dan di struktur atas, sementara kalangan bawah terutama yang berada di struktur polsek, polres, tidak mendapatkan pemahaman yang memadai. Salah tuntutan yang akan dikembangkan adalah reposisi Polri untuk tidak lagi berada di bawah kontrol langsung Presiden, melainkan di bawah Kemendagri dan/atau Kemenkumham.

Kepolisian juga terekam dalam berbagai kejadian berada pada posisi yang tidak objektif, terutama dalam menangani aksi-aksi gerakan pro demokrasi & HAM. Pembubaran bahkan pelarangan aksi dengan alasan prosedural makin sering terjadi, seperti pembubaran aksi solidaritas dan doa bersama untuk terpidana mati Mary Jane serta aksi hari reformasi di Makassar. Bahkan di beberapa aksi demonstrasi mahasiswa, preman yang berada diantara barisan polisi, dengan leluasa melakukan aksi kekerasan kepada mahasiswa, tanpa upaya pencegahan dan penindakan oleh polisi. Pada sektor perburuhan, kepolisian dalam beberapa kasus lebih condong memihak kepada pengusaha/pemodal, akibatnya aksi premanisme yang dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh yang menuntut hak-haknya, cenderung dilakukan pembiaran. Pelaksanaan ketentuan pidana perburuhan yang dilaporkan oleh buruh juga belum pernah ada yang ditindaklanjuti. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dalam konflik agraria di berbagai daerah, tak terkecuali di Sulsel. Bahkan kriminalisasi terhadap petani karena dianggap mengolah lahan sengketa dengan perusahaan negara seperti PTPN terus terjadi.

Kehadiran pengawas eksternal seperti Kompolnas pun sejauh ini masih tidak mampu memperbaiki kinerja kepolisian, terkait penyalahgunaan fungsi dan kewenangannya. Akibatnya, pengawas eksternal sekali pun tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kasus-kasus kekerasan aparat keamanan yang mandek proses penegakan hukumnya. Saksi dan korban dalam kasus kekerasan aparat keamanan pun tidak mendapat perlindungan yang memadai dari LPSK. Ombudsman juga tidak melakukan apa-apa terkait berbagai keluhan dan ketidakpuasaan publik atas pelayanan kepolisian.

Sejauh ini terlihat dengan jelas bahwa Polisi belum dapat masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan publik dengan kewenangan yang terkendali secara cermat, dan belum terwujudnya prinsip akuntabilitas dalam institusi Kepolisian. Upaya reformasi Polri untuk mengubah pendekatan keamanan yang berorientasi untuk negara menjadi pendekatan keamanan untuk kemanusiaan, sejauh ini belum terwujud. Reformasi Polri yang hendak mengubah citra polisi dari militeristik ke polisi sipil yang demokratik, profesional, dan akuntabel, masih harus diperjuangkan bersama.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari tuntutan reformasi kepolisian kami menyatakan :

Mendesak agar kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian (termasuk yang mandek selama ini), penyidikannya tidak lagi ditangani oleh kepolisian sendiri, melainkan ditangani oleh kejaksaan dan/atau lemabag lainnya
Mendesak perlunya melakukan reposisi dan desentralisasi terhadap pengawas eksternal dalam hal ini Kompolnas
Mendesak dilakukannya audit kinerja terhadap Kompolnas, LPSK, dan Ombudsman
Menyerukan kepada seluruh elemen organisasi masyarakat sipil untuk bergabung dalam advokasi reformasi kepolisian

KOALISI MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

UNTUK REFORMASI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

(LBH Makassar, Kontras Sulawesi, MARS Sulsel, KAMRAD, SORAK Makassar)

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

WhatsApp Image 2025-02-07 at 12.00
Ditemukan Bukti Pemalsuan Keterangan, Warga Bara-Baraya Resmi Melaporkan Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan oleh Nurdin Dg. Nombong dkk
WhatsApp Image 2025-01-22 at 17.54
Tuntut Transparansi Dana, Pemerintah Desa Justru Mengkriminalisasi Warga Lampuara
web
Bencana Longsor Kembali Terjadi, Pemkab Luwu dan PT. Masmindo Dwi Area Abai Patuhi Aturan Larangan Aktivitas Penambangan di Wilayah Rawan Bencana
Skip to content