Hari perempuan international lahir dari sebuah tragedi kekerasan, saat para buruh perempuan melakukan unjuk rasa, memprotes segala bentuk diskriminasi yang di alami oleh perempuan. Kemenangan hari perempuan international belumlah menjadi kemenangan sepenuhnya bagi perempuan untuk terbebas dari penindasan. Sampai dengan hari ini, diskriminasi, eksploitasi, tindak kekerasan, dan segala bentuk penindasan lainnya masih membelenggu, terlebih perempuan miskin, disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya. Momentum Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tahunnya di seluruh dunia termasuk Sulawesi Selatan. Momentum tersebut digunakan sebagai ruang untuk menyampaikan berbagai persoalan perempuan kepada Pemerintah dan publik secara luas dan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama bergerak memperjuangkan kedaulatan perempuan.
Data dari KOMNAS PEREMPUAN menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020. Demikian pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau di singkat KBGS yang di laporkan langsung ke komnas pe rempuan yaitu dari 214 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal yang sama dari laporan lembaga layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510 kasus kekerasan berbasis gender di ruang online/daring (KBGO). Data yang terkonfirmasi dari aliansi GERAK IWD SULSEL sepanjang tahun 2020 terdapat 480 kasus yang beragam, di antaranya, kasus KDRT terdapat 31 kasus, tindak kekerasan terdapat 56 kasus, KBGO terdapat 2 kasus, kekerasan seksual, baik secara umum maupun yang terjadi di ranah pendidikan terdapat 59 kasus, situasi ketidakadilan dan kekerasan yang dialami Perempuan buruh migran, seperti ; Deportasi, penipuan, kekerasan fisik, upah/gaji yang tidak dibayarkan, Pemalsuan dan atau penghilangan dokumen identitas, hingga indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terdapat 20 kasus sepanjang tahun 2020-2021, kekerasan negara terhadap perempuan nelayan maupun petani terdapat 313 aduan, dan berbagai praktek genosida dan pelanggaran HAM di tanah Papua yang tidak kunjung di selesaikan oleh negara.
Pemerintah seharusnya berupaya menyelesaikan segala konflik dan kasus yang di alami oleh masyarakat khususnya perempuan dan kelompok minoritas. Namun di masa pandemi covid 19 pemerintah justru memanfaatkan situasi untuk mengesahkan UU Ciptakerja yang sangat jelas merugikan masyarakat dan sudah di tolak dari awal pembahasannya. Pandemi covid 19 dan pengesahan UU Ciptaker menjadi virus mematikan bagi rakyat miskin. Berbagai akses di batasi; akses bantuan dana covid 19, akses pengobatan terhadap orang yang terkena HIV/AIDS, akses layanan bantuan hukum, dan berbagai akses informasi yang di butuhkan masyarakat, termasuk akses jurnalisme di tanah Papua. Dengan di sahkannya UU Ciptaker yang memberikan kemudahan terhadap investor melakukan perampasan sumber daya alam, berdampak pada pengrusakan bumi menyebabkan krisis iklim dan perampasan sumber kehidupan masyarakat, seperti yang di alami oleh petani perempuan di takalar yang tanahnya di rampas oleh PT PN XIV (BUMN) dan nelayan perempuan di pesisir Makassar yang sumber penghidupannya di laut itu di timbun oleh proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) dan juga sampai hari ini belum di akui identitasnya sebagai perempuan nelayan.
Dampak UU Ciptaker sangat di rasakan oleh buruh terkhususnya perempuan yang tidak lagi mendapat hak mereka atas reproduksi, tak ada lagi cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, upah yang tidak sesuai, PHK sepihak yang akan terus di alami oleh buruh, serta tidak adanya pemenuhan hak dan perlindungan terhadap perempuan buruh migran yang sejatinya menjadi penyumbang devisa terbesar untuk negara. Penggusuran yang mengatasnamakan pembangunan, seperti yang di alami oleh masyarakat Bara-barayya sejak 2016 hingga saat ini. Proyek tambang yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat, serta kebijakan otsus jilid II di tanah Papua yang terus menambah rentetan kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Berbagai kasus intoleransi juga terus terjadi khususnya di kota Makassar, walikota terpilih memberi dukungan atas penolakan terhadap LGBT yang akan memberi ancaman kepada kelompok minoritas. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi harusnya menjadi hal prioritas untuk di selesaikan, namun kenyataannya pemerintah masih abai terhadap penindasan yang di alami oleh masyarkat khususnya perempuan.
Untuk itu, menyongsong hari perempuan International, aliansi GERAK IWD SULSEL mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bergerak bersama menantang dominasi kuasa untuk keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Dengan menyerukan tuntutan:
- Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
- Cabut Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Revisi perda No. 4 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
- Akui identitas perempuan sebagai nelayan
- Mendesak Pemerintah untuk tidak melakukan perpanjangan izin HGU PTPN XIV Kabupaten Takalar
- Hentikan proyek reklamasi untuk pembangunan pelabuhan Makassar New Port
- Tolak RUU Ketahanan Keluarga
- Mendesak pembuatan SOP pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi
- Penyediaan rumah aman dan Berikan perlindungan terhadap perempuan, anak, kelompok minoritas seksual, minoritas gender, orang yang dengan HIV/AIDS, dan kelompok Disabilitas
- Tolak penggusuran Bara-barayya
- Mendesak pemerintah mendeklarasikan darurat iklim
- Libatkan perempuan untuk merespon perubahan iklim perkotaan
- Hentikan kekerasan militer terhadap perempuan Papua
- Adili pelaku kekerasan seksual di sekolah, kampus, dan semua instansi pendidikan
- Mendesak pemerintah mengalokasikan dana untuk korban kekerasan terhadap perempuan
- Buka akses jurnalis nasional dan internasional di tanah Papua
- Tolak otsus jilid II di tanah Papua
- Sahkan RUU PRT
- Mendesak Pemerintah dan DPR menyusun aturan turunan dari UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI)
- Mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera merumuskan kebijakan yang melindungi, menghormati dan memenuhi Hak Perempuan PMI
- Naikkan upah 100% dan upah yang setara untuk kerja yang setara
- Jaminan kebebasan beragama, berideologi, berkeyakinan, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
- Tuntaskan segala kasus pelanggaran HAM yang terjadi
- Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa west Papua
- Pengakuan dan perlindungan terhadap keragaman orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender
- Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis
- Wujudkan reforma agraria sejati