KONFERENSI PERS
Respon Terhadap Upaya Paksa Pengolahan Kembali Lahan Petani oleh PTPN XIV dan Intimidasi Aparat Kepada Petani Polongbangkeng/Anggota STP Takalar
Gambaran Singkat Sejarah konflik Lahan
Konflik ini dimulai pada saat awal perusahaan mengambil alih lahan pertanian masyarakat, Pembebasan lahan yang dimulai sejak tahun 1978-1979 oleh PT. Madu Baru dan tahun 1982, pembebasan lahan dilanjutkan oleh PTP XXIV-XXV. Tahun 1996, pemerintah mendirikan PTPN XIV yang hingga kini menguasai lahan. Penipuan ini dimulai dari sejak awal pada saat sewa-menyewa tanah untuk perkebunan tebu dan pabrik gula selama 25 tahun. Pembebasan lahan dilakukan dengan cara yang tidak adil, sarat dengan manipulasi, dan tindakan intimidasi baik mental dan fisik. Politik peralihan perusahaan dan penerbitan HGU juga telah mengalihkan dari kepemilikan lahan oleh masyarakat menjadi kepada pihak PTPN XIV Takalar. Hingga pada tahun 2006, setelah 25 tahun menunggu ternyata lahan itu tidak dikembalikan, sehingga masyarakat mulai mempertanyakan dan meminta lahan mereka di kembalikan. Namun, pihak perusahaan tidak memenuhi permintaan masyarakat, bahkan mempertahankan penguasaannya atas lahan tersebut. Akhirnya masyarakat mulai melakukan penguasaan dan mengelolah lahan sebagai lahan pertanian sejak tahun 2012 hingga sekarang.
Kondisi Ekonomi-Sosial sebelum dan pasca penguasaan lahan oleh Petani
Sejak awal keberadaan PTPN XIV telah membuat perubahan drastis bagi kehidupan rakyat Polongbangkeng Utara. Dari yang awalnya berkecukupan menjadi tidak berkecukupan. Dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka harus keluar daerah mencari kerja. Laki-laki dan perempuan, bahkan anak – anak harus bekerja lebih keras dan meninggalkan pendidikan yang menjadikan daerah tersebut sangat rendah dalam partisipasi terhadap pendidikan. Ada yang memilih jadi tukang becak, buruh bangunan, buruh angkut, menjadi TKI di luar Negeri. Sebagian besar ke daerah/kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, untuk menjadi Buruh Tani atau memungut sisa – sisa padi hasil panen. Warga yang memilih tidak meninggalkan kampung, harus rela menjadi buruh tebang tebu di perusahaan dengan kerja ekstra berat dan upah yang sangat minim. Diantara mereka ada yang terpaksa menggarap pinggiran lahan tebu dengan resiko penangkapan dan didenda karena dianggap menyerobot areal HGU dan merusak tebu. Harapan penderitaan tersebut akan usai setelah 25 tahun ternyata tidak sesuai harapan. mereka justru harus berjuang keras untuk mendapatkan lahan dan memulai pekerjaan bertani setelah terampas sejak puluhan tahun. Kini masyarakat menguasai lahan dan dikelolah sebagai lahan pertanian, dan memberikan manfaat secara ekonomi, orang – orang yang dahulu meninggalkan kampung demi mencari pekerjaan di daerah bahkan Negara lain, kini mereka telah kembali. Lahan yang dikelolah memberikan manfaat bukan hanya masyarakat yang mengelolah, akan tetapi banyak yang lain seperti supir yang mengangkut hasil panen, para pedagang yang dipasar yang menjual hasil panen masyarakat, dan banyak sektor yang lain dan sudah pasti memberikan kontribusi yang jelas kepada pendapatan daerah.
Sejak Petani menguasai lahan tersebut, kesadaran dan kekuatan petani semakin meningkat. Namun, PTPN XIV juga tidak berhenti menebar teror dan terus melakukan upaya paksa perampasan kembali lahan.
Kemudian Baru – baru ini konflik kembali terjadi, karena untuk kesekian kalinya PTPN XIV kembali melakukan upaya paksa merampas lahan petani dengan mengerahkan puluhan Brimob. Berikut kronologisnya :
- Terjadi di Desa Parang luara (belakang pabrik gula), Kec. Polongbangkeng selatan, Kab. Takalar, 11/10/2014, sekitar pukul 08.30 wita 4 orang Karyawan PTPN XIV yang mengoperasikan 4 Mobil Traktor mulai mengolah lahan klaim milik Dg. Tarring (Anggota STP – Takalar) yang masih kosong (tanpa tanaman) dan lahan milik Dg. Rani dimana Lahan tersebut berisi tanaman ubi jalar yang berusia ±1,5 bulan. aktifitas pengolahan dikawal oleh 13 orang aparat Brimob berseragam dan bersenjata lengkap (laras panjang).
- Bersamaan dengan itu satu persatu petani (Anggota STP) mulai berdatangan dan melakukan perlawanan dengan menahan atau menghalang – halangi proses pengolahan dengan menyampaikan kepada karyawan PTPN dan aparat Brimob bahwa lahan tersebut adalah lahan milik anggota STP yang sedang dalam proses Negosiasi penyelesaian konflik/sengketa. Namun, sekitar 40 orang petani dipaksa mundur oleh aparat Brimob dan bahkan aparat Brimob mengambil alih kerja pengolahan, dimana Brimob yang bernama Bripka Rahman Santawi (Opa) yang menjadi operator/sopir traktor. Mereka memaksakan mengolah lahan, namun perlawanan Petani juga semakin meningkat dengan menyampaikan bahwa ini adalah perjuangan untuk hidup, “kami ingin hidup” kata para petani saat itu. Namun, aparat Brimob tidak menggubris dan tetap melanjutkan aktifitas pengolahan. Petani yang lain juga terus berdatangan saat itu.
- Situasi semakin memanas, ketika ±100 petani (anggota STP) melakukan perlawanan yang lebih keras, mereka menahan langsung mobil traktor yang dioperasikan oleh Bripka Rahman Santawi (Opa), dan akhirnya Bripka Rahman Santawi turun dari mobil traktor dan digantikan oleh karyawan PTPN untuk melanjutkan pengolahan. Situasi semakin memanas ketika Bripka Rahman Santawi bersama 12 Brimob yang lain mendatangi massa dan menodongkan senjata (laras panjang), “apa hak mu di sini” kata Bripka Rahman Santawi dengan nada membentak, “tanah ku ini kodong” kata Dg. Rani dan disambung oleh petani yang lain “na rampas ki PTPN, mau tong ki hidup”, “tanah ini dalam proses penyelesaian pak” dilanjutkan oleh petani yang lain, yang di jawab oleh Bripka Rahman Santawi bahwa “pihak Pemda sudah menginstruksikan untuk mengolah semua lahan tanpa terkecuali” katanya. Aparat brimob tetap tidak menggubris dan memaksakan pengolahan, namun massa terus menentang, situasi semakin kisruh dan terjadi aksi dorong mendorong antara aparat brimob dengan massa petani, sementara itu seorang aparat brimob (namanya tidak sempat teridentifikasi) mengambil posisi strategis dan ancang-ancang untuk menembak massa petani, beruntung aksi tersebut bisa digagalkan melalui gerak cepat beberapa massa yang mendatangi brimob tersebut dan memegang senjata laras panjang yang siap ditembakkan ke massa petani, sementara itu massa petani yang lain terus menekan psikologis aparat dengan teriakan-teriakan dan akhirnya memukul mundur aparat.
Kejadian serupa kembali terjadi pada selasa, 14/10/2014 di Desa Pakkawa, Kec. Polongbangkeng Selatan, Kab. Takalar.
- Sekitar pukul 10.00 Wita, PTPN XIV dikawal 15 Brimob kembali mengolah lahan petani (anggota STP) Dg. Baco dan Dg. Rampu. Anggota kepolisian dari Polres Takalar satu Mobil Bus dinas Polisi, dan sebagian naik motor sekitar 10 motor saling berboncengan. Setelah mereka turun dari mobil, Wakapolres dan Koramil dan Kapolsek datang memanggil anggota STP, mengumpulkan anggota STP dan memberitahukan bahwa tanah yang diklaim oleh STP akan diolah oleh perusahaan tanpa kecuali. Akan tetapi, para Petani tetap menghalau proses pengolahan dan Polisi dan Brimob menghalangi anggota STP dengan memaksa masyarakat untuk mundur dengan mengancam senjata, tetapi masyarakat tidak mundur, banyak Polisi dan Brimob menembakkan senjata ke udara, dan karyawan PTPN melempar batu ke arah anggota STP, akan tetapi mengenai beberapa anggota Polisi. Setelah melihat karyawan melempar batu akhirnya anggota STP juga mengambil batu dan membalas lemparan batu. Pihak kepolisian mendekati pihak karyawan, Aksi saling lempar berlangsung sekitar 10 menit. Pihak Kepolisisn kemudian menembakkan senjata ke udara, dan setelah itu aksi saling lempar berhenti. Setelah itu pihak Kepolisian dan masyarakat berdiskusi, berunding. Pihak kepolisian meminta agar anggota STP mundur dan begitupun dari pihak karyawa. Akhirnya karyawan membawa pulang traktor dan anggota tetap berdiam di lokasi sampai karyawan dan pihak kepolisian pulang dan tidak terlihat lagi. Dan semua anggota pulang ke rumah masing – masing.
Fakta hukum dan dugaan pelanggaran
- Lahan tersebut masih dalam proses negosiasi penyelesaian konflik/sengketa. Akan tetapi, PTPN XIV kembali mengingkari kesepakatan bersama dengan anggota STP yang dimediasi pemerintah daerah.
- Pihak pemerintah daerah turut mengingkari kesepakatan dengan memaksakan kebijakan sepihak yang menyuruh PTPN XIV mengolah lahan tersebut.
- Aparat Brimob telah bertindak sewenang – wenang, menyalahgunakan kewenangan (abose of power) dan telah melanggar prosedur pengamanan.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sul – sel menegaskan beberapa tuntutan sebagai berikut :
- Menindak tegas aparat Brimob dan anggota Polres yang telah melakukan penyalahgunaan kewenangan
- Menindak tegas oknum Brimob yang bernama Bripka Rahman Santawi (Opa) yang menjadi operator/sopir traktor.
- Mendesak Kapolda untuk menarik Aparat Brimob yang ada di lokasi lahan milik Petani.
- Mendesak Pemerintah Daerah Takalar dan PTPN XIV Takalar untuk segera menghentikan upaya paksa pengolahan lahan Petani sebelum selesai proses negosiasi yang sedang berjalan
- Mendesak Pemerintah Daerah Takalar untuk segera menepati janjinya untuk menyelesaikan konflik lahan tersebut.
Demikian beberapa hal yang penting kami sampaikan atas perhatian dan kerjasamanya dihaturkan ucapan terima kasih.
Makassar, 17 Oktober 2014.
FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) SUL-SEL