
CATATAN AKHIR TAHUN
KONDISI PENEGAKAN HUKUM, HAM DAN DEMOKRASI
LBH MAKASSAR 2016
“KEADILAN DAN DEMOKRASI Tahun 2016, NEGARA BALIK BADAN”
Sepanjang tahun 2016, LBH Makassar secara resmi menerima Permohonan Bantuan Hukum sebanyak 220 permohonan, 208 diantaranya diterima dan 12 lainnya dinyatakan ditolak. Dari 208 permohonan bantuan hukum yang diterima, LBH Makassar telah melayani 566 orang pencari keadilan. Yakni 476 orang diantaranya berusia dewasa (285 laki-laki dan 191 perempuan) dan 90 orang berusia anak-anak (49 laki-laki dan 41 perempuan). LBH Makassar memberikan layanan secara litigasi sebanyak 130 Kasus dan secara Non Litigasi (Mediasi dan Negosisasi) sebanyak 25 kasus dan layanan Konsultasi sebanyak 53 Kasus. Dilihat dari jenis kasus yang ditangani, LBH Makassar menangani 93 kasus pidana, 110 kasus perdata dan 5 perkara TUN. Berdasarkan sifat kasusnya, LBH Makassar mendampingi 86 kasus struktural dan 122 kasus non struktural. Sementara itu kasus berbasis individu berjumlah 187 dan 21 kasus berbentuk kelompok.
Berbasis pada isu HAM, LBH Makassar mendampingi 14 kasus kekerasan fisik oleh aparat, 3 kasus kekerasan anak, 3 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1 kekerasan atas nama agama, 12 kasus terkait tanah dan perumahan, 1 kasus lingkungan hidup, 24 kasus buruh, 1 kasus penggusuan PK-5, 2 kasus konsumen dan 2 kasus terkait hak atas pendidikan.
Dalam catatan LBH Makassar, di tahun 2016, Sulawesi Selatan diwarnai dengan isu-isu seperti:
- Reklamasi pesisir Makassar dan tertutupnya akses penghidupan layak masyarakat pesisir Makassar;
- Kriminalisasi Kritik Warga (Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi) dengan menerapkan UU ITE;
- Reformasi Kepolisian yang “berjalan di tempat” berdampak sulitnya menghapus Kultur Kekerasan;
- Kegagalan Negara melindungi anak dari tindakan penghukuman;
- Kegagalan Dinas Tenaga Kerja Melindungi hak buruh dan serikat buruh;
- Pemberangusan ruang hidup miskin kota dengan dalil smart city.
I. Reklamasi Pesisir Makassar dan Tertutupnya Akses Penghidupan Layak Masyarakat Pesisir Makassar
Terkait reklamasi pesisir Makassar, jelas berdampak serius pada ruang-ruang penghidupan bagi masyarakat pesisir Makassar yang notabene hidup sebagai nelayan. Disamping juga berdampak fatal perusakan ekosistem wilayah pesisir akibat perubahan fisik bentang alam dan lingkungan. LBH Makassar, setidaknya 43 KK mengalami langsung dampak reklamasi ini. Sebelumnya mereka tinggal di atas tanah timbul gusung namun sejak dilakukan kegiatan reklamasi, mereka digusur secara paksa.
Hal ini mengakibatkan sebagian besar dari mereka terpaksa berpindah tempat, sementara 9 kk lainnya (termasuk Dg. Bollo) terpaksa tinggal dipelataran Gedung Celebes Convention Center sejak tahun 2014 hingga sekarang. Aktivitas penghidupanpun terpaksa harus berubah, yang sejak awal sebagai nelayan kini harus menjadi pekerja serabutan. Hal ini mengalami perubahan signifikan pada tatanan ruang hidup dari nelayan menjadi miskin kota. Kondisi perubahan pola pencarian penghidupan ini juga dialami oleh nelayan yang tinggal di pulau Lae-lae, pesisir Mariso dan sejumlah pesisir pantai wilayah Makassar lainnya.
II. Kriminalisasi Kritik Warga (Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi) dengan Menerapkan UU ITE
Terkait kasus kriminalisasi Kritik warga dengan salah kaprah dalam penerapan UU ITE, LBH Makassar mendampingi 2 kasus, yakni dengan tersangka K.S atas kasus pencemaran nama baik atas laporan ZGO, dan seorang ibu RT, inisial Y atas kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh oknum anggota DPRD Kab. Jeneponto. Kedua korban dituduhkan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Penerapan UU ITE dengan pola tuduhan pencemaran nama baik melalui sosial media ini tentu saja merupakan upaya pembatasan terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. UU ITE dalam penerapannya kemudian menjadi “alat pembungkaman” bagi kelas elit “kekuasaan dan/ atau kelas pemodal” terhadap upaya kritik (kebebasan berpendapat dan berekspresi) Warga Negara “kelas bawah”. Kondisi ini diperparah dengan ketidak-profesionalan aparat kepolisian yang gagal dalam menerapkan UU ITE tersebut.
III. Reformasi Kepolisian Yang “Berjalan Mundur” Berdampak Sulitnya Menghapus Kultur Kekerasan
Catatan berikutnya terkait reformasi birokrasi kepolisian yang “berjalan ditempat”, terutama di wilayah Sulawesi Selatan. LBH Makassar mencatat, berdasarkan pengaduan yang diterima, 17 kasus kekerasan oleh aparat kepolisian, dimana 14 kasus kekerasan dilakukan secara fisik dan 3 kekerasan non-fisik. Dari 14 kasus kekerasan secara fisik, 3 korban mengalami penganiayaan, 8 penahanan dan penangkapan sewenang, 13 penyiksaan, 9 penembakan, 2 penggeledahan tanpa surat, dan 4 penyitaan secara paksa. Selain itu dari tindakan penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, juga adanya indikasi adanya tindakan penghilangan orang secara paksa. Lebih detil terkait penyiksaan, pola-pola yang masih kerap dilakukan diantaranya: [1] dipukul dengan tangan kosong dan atau benda serta diinjak secara bertubi-tubi; [2] tangan, kaki dilakban atau diikat, mulut dilakban atau kepala ditutup; [3] kepala ditutup dengan kantong dan disiram dengan air ke bagian wajah (water boarding); [4] diancam dengan senjata api; [5] ditembak dibagian kaki; [6] dicambuk; [7] disetrum; [8] penyiksaan hingga mengakibatkan meninggalnya korban.
Aparat kepolisian juga masih kerap melakukan aksi penembakan sewenang-wenang. LBH Makassar mencatat 21 tindakan penembak dimana polanya dengan mengancam korban menggunakan senpi (2 tindakan), korban ditembak dibagian kaki (7 tindakan), penembakan secara brutal (1), penembakan dalam aksi penyiksaan (11 tindakan). Disamping itu, perangai aparat kepolisian sebagai mafia peradilan masih saja terjadi, setidaknya terdapat 3 kasus yang ditangani oleh LBH Makassar yang menunjukkan indikasi aparat kepolisian melakukan pemerasan terhadap terduga pelaku tindak pidana (dampingan LBH Makassar).
IV. Kegagalan Negara Melindungi Anak Dari Tindakan Penghukuman
Terkait sistem peradilan terhadap anak, Aparat penegak hukum terlihat masih belum memahami pendekatan restoractive justice sebagaimana yang diamanahkan dalam UU Peradilan anak dalam upaya melindungi kepentingan dan hak-hak anak guna menjamin keberlangsungan hidup dan masa depan anak. 5 (lima) anak yang didampingi oleh LBH Makassar sebagai pelaku tindak pidana mendapatkan hukuman berat yang disesuaikan dengan jeratan ketentuan pidana pencurian dengan pemberatan. Putusan pengadilan yang memutus anak2 bersalah disertai hukuman penjara yang cukup tinggi memberikan kesan “upaya lepas tangan” dari Negara khususnya Pemerintah yang gagal memenuhi tanggungjawabnya terhadap anak, khususnya jaminan hak atas ruang bermain, menyalurkan bakat dan kreativitasnya serta jaminan kualitas pendidikan (baik formal maupun informal) yang dapat menjamin masa depannya. Kondisi semakin diperparah dengan kuatnya stigma kuat perilaku anak terlibat dalam kasus-kasus Begal.
V. Kegagalan Dinas Tenaga Kerja Melindungi Hak Buruh Dan Serikat Buruh
Selanjutnya, terkait hak buruh, LBH Makassar mendampingi 24 kasus, dimana masih terkait perselisihan hak dan PHK. Tahun 2016 menunjukkan kemajuan kesadaran buruh akan hak-haknya dan serikat buruh berkembang sebagai media menumbuhkan kesadaran dan keberanian untuk menuntut haknya. Disayangkan, hal ini tidak dibarengi dengan akuntabilitas kinerja bidang pengawasan ketenagakerjaan yang semakin memburuk. Sejak tahun 2013, LBH Makassar telah melakukan kritik terhadap bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Kritik ini dilakukan karena dari semua dampingan Buruh LBH Makassar sejak tahun 2013 dilanggar Haknya pada bidang Upah, dan Undang-Undang mengatur bahwa tidak dibayarnya upah sesuai Upah Minimum adalah kejahatan yang dapat dipidana. Bidang pengawasan ketenagakerjaan di dinas tenaga kerja, selain memiliki fungsi pengawasan, juga memiliki fungsi penyidikan yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sesuai KUHAP. Tapi banyaknya pelanggaran Upah ini tidak ada sama sekali pengusaha yang dituntut karena melanggar ketentuan pidana upah.
VI. Pemberangusan Ruang Hidup Miskin Kota Dengan Dalil Smart City
Catatan selanjutnya terkait Pemberangusan ruang hidup miskin kota dengan dalil smart city. Pemerintah kota Makassar pada pertenganan Juni 2016 memulai melaksanakan program smart card sebagai bagian program besar smart city. Bersamaan dengan smart card, pemkot bersama PD Parkir melakukan langkah-langkah penertiban perparkiran dengan cara pembatasan usia kerja/produkti jukir, pengurangan jukir, pemberlakukan mekanisme upah sebesa 1,8 jt, padahal UMK Makassar tahun 2016 sebesar Rp 2,3 juta. Akibatnya, pengangguran miskin kota akan semakin meningkat, tampaknya sikap lepas tanggungjawab pemkot dari kewajiban menyediakan lapangan kerja bagi warga kota.
Carut marutnya kondisi hukum dan HAM di Sulawesi Selatan di tahun 2016 ini menunjukkan kegamangan kondisi yang akan dihadapi di tahun 2017 nantinya. Namun demikian, sesungguhnya kesempatan untuk memperbaiki performa di bidang hukum dan HAM bisa dilakukan oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan bersama elemen lembaga penegak hukum, diantaranya:
Pertama, Menghentikan seluruh aktivitas proyek reklamasi (CPI) karena sarat dengan pelanggaran hukum dan HAM serta bersifat illegal, melakukan pengkajian ulang proyek CPI serta audit lingkungan dan perizinan, melakukan pemulihan dan rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau terkecil, serta memulihkan ruang hidup bagi masyarakat pesisir Makassar yang telah mengalami dampak atas proyek reklamasi CPI. Disamping itu, Pemerintah Provinsi bersama pemerintah kota dan kabupaten lainnya secara bersama-sama merumuskan upaya-upaya positif yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mana berpihak pada keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
Kedua,dibebaskannya YUSNIAR (tersangka kasus kriminalisasi dengan UU ITE). Disamping itu adanya pemulihan bagi K.S. (korban kriminalisasi ITE). Aparat penegak hukum memastikan adanya penghentian segala aksi pembungkaman ruang-ruang masyaakat berekspresi terutama di dunia sosial media. Disamping itu, Polri semestinya menerapkan UU ITE pasal 27 ayat 3 secara ketat dan hati-hati agar tidak mengamputasi hak kebebasan berpendapat dan berekspresi serta tidak menimbulkan tindak kriminalisasi terhadap warga. Dalam proses penegakan hukumnya, aparat penegak hukum juga mendahului proses mediasi dan jawab-menjawab antara pelapor dan terlapor.
Ketiga, Polri, dalam hal ini Polda Sulawesi Selatan memastikan adanya penghentian penggunaan kekerasan dalam tindakan pengamanan ataupun penegakan hukum. Termasuk harus berani untuk tidak menggunakan kriminalisasi (pemidanaan) terhadap masyarakat yang melakukan tindakan advokatif maupun yang menjalankan hak atas kebebasan berekspresi. Polda Sulsel juga harus berani melakukan evaluasi internal, penguatan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap kinerja aparat kepolisian disamping penindakan yang tegas bagi personel kepolisian yang melakukan tindak kekerasan.
Keempat, Dalam penanganan kasus anak berhadapan dengan hukum, aparat penegak hukum terutama kepolisian dan kejaksaan semestinya memperhatikan upaya penyelesaian dengan pola restoractive justice guna melindungi hak anak dan menjamin keberlangsungan hidupny serta mencegah stigma negatif sebagai pelaku kriminal. Selain itu, perlunya upaya Pemerintah untuk mengoptimalkan pemenuhan hak-hak anak dalam ruang publik dan jaminan pendidikan berkualitas dengan pendekatan yang sesuai kebutuhan dan jiwa anak.
Kelima, upaya pemenuhan hak buruh dan akses menyampaikan pendapat melalui serikat buruh, Dinas Tenaga Kerja sudah harus berani menguatkan kinerja pengawasan dan penindakan terhadap pengusaha yang tidak melaksanakan dan memenuhi hak pekerja sesuai standar undang-undang.
Keenam, guna membuka peluang kerja bagi miskin kota dan ruang-ruang penghidupannya, pemerintah kota Makassar sudah seharusnya menghentikan program smard card sebagai pola pengelolaan parkir yang tidak berkeadilan bagi miskin kota, terutama bagi para serikat juru parker kota Makassar.
Makassar, 27 Desember 2016
LBH MAKASSAR
lebih detil, grafik dapat dilihat di : http://lbhmakassar.org/statistik-penanganan-kasus-lbh-makassar/
Comments
No comment yet.