ASP bersama Nelayan Kepualauan Sangkarrang Mengecam Upaya Kriminalisasi-Pelanggaran HAM Korporasi (Boskalis) bersama Gubernur Sulsel!!!

Foto: YLBHI-LBH Makassar

Bagi semua orang, situasi darurat kesehatan Pandemi Covid-19 adalah saat yang tepat berkumpul bersama keluarga dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Demikian dengan alam mendapat kesempatan untuk memulihkan dirinya. Namun tidak dengan masyarakat/nelayan di Kepulauan Sangkarrang. Setiap waktu mereka terus terjaga dari ancaman PT. Royal Boskalis Internasional. Sebuah perusahaan asal Belanda yang melakukan penambangan pasir laut tepat di wilayah tangkap ikan nelayan di Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar. Diperkirakan lokasi penambangan hanya berjarak sekitar 8 Mil dari pulau Kodingareng Lompo dengan daya rusak seluas 4 Mil. Pasir tambang tersebut digunakan untuk timbunan reklamasi proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP).

Bagi nelayan, vrus Covid-19 tidak lebih berbahaya daripada Boskalis. Bagaimana tidak, sejak Februari 2020, bersamaan dengan masa Pandemi Covid-19, Boskalis secara massif mengeruk pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Seolah Boskalis sengaja memanfaatkan situasi Pandemi Covid-19. Akibatnya air laut menjadi keruh, gelombang tinggi dan kerusakan ekosistem laut. Dampaknya, selama enam bulan terakhir hasil tangkapan nelayan berkurang drastis bahkan dalam satu harinya sama sekali tidak mendapat ikan.

Atas situasi ini, tercatat sudah 5 (lima) kali Nelayan melakukan aksi protes di depan Rujab Gubernur Sulsel, di lokasi proyek Makassar New Port dan di lokasi penambangan. Aksi protes tersebut menuntut penghentian aktivitas tambang atau setidaknya ada solusi dari Gubernur Sulsel, misalnya menggeser titik lokasi tambang keluar dari wilayah tangkap ikan. Akan tetapi, yang datang malah surat panggilan dari Polairud Polda Sulsel.

Mereka yang mendapat panggilan antara lain; Manre, Suadi, Hj. Bahariah dan Sarti, untuk diperiksa keterangannya sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana “Setiap orang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan dan/atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara,” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP-A/283/VII/2020/SPKT, tanggal 17 Juli 2020. Atas kejadian tanggal 16 Juli 2020 di Pulau Kodingareng yang diduga dilakukan oleh Manre.

Panggilan I dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 terhadap Manre dan Suadi, namun tidak dihadiri karena tenggang waktunya tidak wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan. Pada tanggal 28 Juli 2020, Hj. Bahariah turut dipanggil namun tidak dihadiri dengan alasan yang sama. Kemudian panggilan II dilakukan pada tanggal 30 Juli 2020 terhadap Manre dan Sarti. Maka pada Senin 3/8, Mandre bersama Suadi dan Sart didampingi 4 (empat) orang Penasehat Hukumnya dari LBH Makassar, memenuhi panggilan Penyidik untuk memberikan keterangan sebagai Saksi. Dalam proses BAP, Manre diperiksa selama ± 8 jam sejak pukul 10 Wita s/d 18.00 Wita dengan jumlah pertanyaan tak terhitung lantaran banyaknya pertanyaan berulang. Bahkan satu pertanyaan biasa diulang sampai 5 kali hanya untuk mengejar keterangan mengenai apa isi amplop sebelum dirobek Manre. Namun Manre tetap konsisten dengan keterangannya bahwa ia samasekali tidak mengetahui isi amplop tersebut sebelum dirobeknya. Setelah dirobek barulah ia ketahui dari masyarakat ternyata isinya berupa uang.

Dengan demikian, dari semua rangkaian, jika dicermati proses pemeriksaan kasus ini begitu cepat sehingga mengabaikan prinsip due process of law dalam artian Mandre selaku terlapor tidak diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi pada tahap penyelidikan, namun langsung dipanggil dengan status sebagai saksi pada tahap penyidikan.

Secara substansi, pasal yang disangkakan sangat dipaksakan. Penyidik mempersulit diri dalam mengurai rumusan pasal dan membuktikan unsurnya. Dalam artian, Mandre dijerat dengan perbuatan “Merusak, memotong rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah.” Padahal, Mandre hanya merobek amplop yang ia tidak ketahui isinya dengan maksud menolak pemberian ganti rugi dari dari Boskalis. Jadi, Manre sama sekali tidak mengetahui jika yang ia robek adalah rupiah apalagi sampai bermaksud merendahkan rupiah. Kasus ini terlihat nyata adanya upaya kriminalisasi dan diduga kuat dilakukan untuk meredam aksi protes masyarakat menolak aktivitas tambang PT. Boskalis.

Padahal, pasal 66 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana atau digugat secara perdata”.

Upaya kriminalisasi ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat/nelayan Kepulauan Sangkarrang. Seharusnya Penyidik menyadari jika nelayan melakukan aksi protes hanya untuk mempertahankan ruang hiudup mereka/wilayah tangkap ikan yang dirusak oleh Boskalis, serta memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Karena sejak awal, pun diakui oleh Boskalis jika mereka tidak melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut. Dalam hal ini tidak ditegakkan fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah dan perusahaan. Oleh karenanya, Gubernur Sulsel dan Boskalis telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat/nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan tambang Boskalis.

Dari keseluruhan fakta hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa Gubernur Sulsel selaku pemberi izin dan Korporasi (Boskalis) selaku penambang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusi terhadap masyarakat/Nelayan Kodingareng. Antara lain: Hak mempertahankan hidup dan kehidupannya; mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak atas pekerjaan dan penghidupan layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)  UUD 1945 Jo. Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Covenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kami dari Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar bersama Nelayan Kepulauan Ssangkarrang, mendesak:

  1. Kapolri Cq. Polda Sulsel untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Nelayan Kepulauan Sangkarrang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
  2. Gubernur Sulsel untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan PT. Benteng Laut Indonesia dan menghentikan kegiatan penambangan PT. Royal Boskalis Internasional;
  3. Royal Boskalis Internasional untuk menghentikan kegiatan penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan/ruang hidup Nelayan Kepulauan Sangkarrang;
  4. Komnas HAM untuk segera turun ke lokasi menemui pihak-pihak terkait-Nelayan, Gubernur Sulsel, Boskalis dan Polda Sulsel untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh PT. Boskalis dan Gubernur Sulsel. Dan meminta Polda Sulsel untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Nelayan;
  5. Kementerian Kelautan Dan Perikanan RI untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran penambangan di wilayah laut Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar;
  6. Komisi Pemberantasan Korupsi RI untuk mengusut dugaan korupsi (penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi) terkait penerbitan izin tambang PT. Benteng Laut Indonesia;

Makassar, 4 Agustus 2020

Narahubung:

0821-8976-5203 (Manre/Nelayan korban kriminalisasi)

0853-9512-2233 (Edy Kurniawan/LBH Makassar/Penasehat Hukum Nelayan Kepulauan Sangkarrang)

0822-93939591 (Muhammad Al-Amin/Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel)

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Foto: LBH Makassar
Permohonan Praperadilan Buruh PT. GNI Korban Kriminalisasi Ditolak, Hakim Jauhkan Korban dari Keadilan
Foto: LBH Makassar
UIN Alauddin Makassar Darurat Demokrasi dan Ruang Aman
WhatsApp Image 2024-10-01 at 12.32
WARGA TOROBULU MENANG! 2 PEJUANG LINGKUNGAN DIPUTUS LEPAS PN ANDOOLO
Skip to content