Bumi merupakan tempat tinggal bagi semua makhluk hidup. Di bumi, setiap makhluk hidup, mulai dari tumbuhan, hewan, terutama manusia hidup dan berkembangbiak. Namun, dalam sejarah mencatat, akibat keserakahan segelintir manusia, bumi dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga kerusakan alam mengancam kehidupan makhluk hidup, terutama manusia itu sendiri.
Dewasa ini, pelaku utama bagi rusaknya lingkungan adalah korporasi besar yang mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menghasilkan laba yang sangat besar. Selain merusak lingkungan yang ada, perusahaan-perusahaan ini juga kerap memicu terjadinya konflik agraria berupa pengambilan paksa lahan para petani, menggusur kaum miskin kota, melakukan kriminalisasi bagi masyarakat yang melawan, menggunakan aparat untuk melakukan kekerasan dan intimidasi. Semua itu, dilakukan demi satu tujuan: mengeksploitasi bumi.
Di Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan, juga sedang marak fenomena demikian. Banyak konflik agraria yang terjadi, dan tak sedikit pula menimbulkan dampak sosial dan hukum yang cukup serius. Hal ini juga tidak terlepas dari banyaknya kebijakan yang telah dilahirkan oleh pemerintah yang mempermudah Investor untuk merampas wilayah kelola rakyat khususnya perempuan. Tercatat sepanjang kepemimpinan Jokowi-JK, sebanyak 14 paket kebijakan ekonomi yang mencakup pembangunan infrastruktur, privatisasi sumber daya alam, hinggap ada kebijakan pemangkasan jalur perijinan bagi investor.
Konflik dan kerusakan lingkungan juga tidak pernah menemukan titik pangkal penyelesaian. Salah satunya adalah konfilk yang terjadi di Takalar, antara warga (petani) dan PTPN XIV, yang sudah berlangsung sejak tahun 1982 sampai saat ini tak kunjung selesai. Bahkan belum selesainya kasus agraria di Takalar, pemerintah hendak memasukkan perkebunan kelapa sawit di kabupaten Enrekang yang memicu konflik dan pemiskinan bagi masyarakat petani khususnya perempuan.
Selain itu, kasus penggusuran sekitar 102 rumah yang terjadi di kelurahan Bara-Baraya (Makassar), yang dilakukan oleh KODAM XIV/HASANUDDIN. Bahkan, KODAM justru rencana juga akan menggusur 28 petak rumah yang terletak di dekat lokasi yang telah digusur. Warga kemudian melakukan berbagai upaya untuk menghalangi penggusuran tersebut. Baik langkah litigasi maupun non-litigasi. Tapi, ancaman penggusuran yang mereka alami, sampai saat ini, belum menemukan titik terang penyelesaian.
Proyek pemerintah dan swasta, baik yang akan maupun yang sudah merusak lingkungan juga banyak terjadi di Sulawesi Selatan. Salah satu contohnya adalah proyek reklamasi Center Point of Indonesia yang ada di lepas pantai Makassar. Laut yang terletak di kawasan pesisir Losari seluas 157,23 Ha. Kegiatan penimbunan yang tengah dilakukan oleh PT Yasmin Bumi Asri bahkan telah memicu abrasi di Pulau Lae-Lae. Selainitu, kegiatan nelayan pencari kerang juga terhenti akibat kegiatan reklamasi yang merusak laut. Belum lagi kegiatan tambang pasir yang dilakukan pihak pengembang telah merusak wilayah tangkap nelayan PulauLae-Lae dan sekitarnya.
Persoalan lain juga terjadi saat investor ingin membangun berbagai mega proyek di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Namun, pembangunan atau rencana pembangunan itu justru banyak menyebabkan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi bagi warga yang tanahnya akan dibangun mega proyek tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara yang akan melakukan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dikerjakan oleh PT. Seko Power Prima. Tapi, warga yang termasuk sebagian besar masyarakat adat di sana menolak rencana tersebut. Akibat perlawanan mereka, pihak perusahaan justru melaporkan mereka, dan menjadikan 14 orang harus menjalani proses hukum. Kekerasan juga dialami oleh perempuan Seko. 7 di antaranya mendapatkan berbagai bentuk tindak kekerasan fisik dari aparat kepolisian.
Berdasarkan pertimbangan di atas, kami dari berbagai lembaga Mahasiswa, NGO dan masyarakat sipil lainnya, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bumi (AMPIBI), memperingati hari bumi yang jatuhsetiap 22 April dengan tema “Hentikan Kebijakan Investasi yang Merusak Bumi”, sebagai bentuk aksi nyata dan refleksi terhadap permasalahan lingkungan serta berbagai macam konflik agrarian akibat dari investasi dan kebijakan yang tidak berperspektif lingkungan dan gender.
Ada pun tuntutan tersebut sebagai berikut:
-
Hentikan Pembangunan PLTA Seko dan hentikan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga Seko;
-
Hentikan reklamasi pesisir Makassar dan pembangunan CPI yang merusak lingkungan;
-
Selamatkan Karst yang ada di Sulawesi Selatan;
-
Batalkan rencana penggusuran 28 petak rumah di Kelurahan Bara-Baraya;
-
Selesaikan Konflik Lahan PTPN XIV Kabupaten Takalar;
-
Tuntaskan konfilk agraria yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Apabila tuntutan kami tidak segera ditindaklanjuti, maka kami akan terus melawan dengan berbagai aksi dan tuntutan.
Makassar, 23 April 2017
ALIANSI MASYARAKAT PEDULI BUMI (AMPIBI)
(WALHI Sulsel, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, LBH Makassar, KontraS Sulawesi, LAPAR Sulsel, KPA Sulsel, FMD-SGMK, AMAN Sulsel, PPMAN, PEMBEBASAN, UKPM UNHAS, PEMILAR)
Comments
No comment yet.