Tanggal 24 September 2023 diperingati sebagai hari lahir UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dalam usia 63 tahun. Dan karena keberpihakan, pengakuan serta penghormatan atas tanah-tanah rakyat khususnya kaum tani sebagai salah satu klas yang dominan di negara agraris maka 24 September akhirnya ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional oleh Presiden Soekarno. Namun, sepanjang 63 tahun UU PA kedaulatan kaum tani dan kaum miskin dibanyak tempat atas sumber-sumber agraria mereka semakin memprihatinkan. Di penghujung periode ke dua pemerintahan Joko Widodo, justru yang lahir adalah peraturan perundang-undangan yang sangat anti-rakyat dan lingkungan. Alih-alih melakukan koreksi atas ketimpangan struktural yang akut, kebijakan agraria yang lahir justru semakin jauh dari agenda reforma agraria.
Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan monokultur, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. Situasi ini menyebabkan banyak warga yang akhirnya tereksklusi, terusir dari tanahnya dan menjadi buruh tenaga kerja murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.
Proyek Strategis Nasional yang tidak berbeda dengan model penjajahan era kolonial juga menjadi kebijakan yang mendorong Penggusuran Skala Nasional seperti yang terjadi baru-baru ini di Rempang, Batam, Wadas, Waduk Lambo, Proyek Bali Baru Wisata Premium Pulau Komodo NTT, Sirkuit Mandalika NTB, Bendungan Karalloe di Gowa, Proyek Geothermal, Makassar New Port, Kilang Minyak Air Bangis Sumatera Barat, Food Estate di Papua dan Sumatera, proyek cetak sawah di Kalimantan, Kawasan Industri Bantaeng – KIBA, Tambang Emas dan Uranium di Sulawesi Barat, dan daerah lainnya. Konsorsium Pembaruan Agraria – KPA, terkait PSN menyebutkan tidak kurang 73 letusan konflik agraria terjadi sejak tahun 2020. Secara keseluruhan catatan akhir tahun KPA sepanjang tahun 2022 ada 212 letusan konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa. Tren terjadinya konflik agraria terus mengalami peningkatan.
Belum lagi, pembangunan beragam infrastruktur penunjang IKN Nusantara yang berdampak kepada wilayah-wilayah yang akan menjadi pemasok material IKN seperti pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Untuk memastikan tak ada halangan, pemerintah terus-menerus membentuk badan-badan baru guna mendukung PSN seperti Bank Tanah, Otorita Ibu Kota Negara, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, Otorita Labuan Bajo, dan lembaga-lembaga sejenis diberikan berbagai keistimewaan termasuk penguasaan, penggunaan, pengelolaan tanah dan modal, hingga kewenangan pengembangan bisnis serta kemudahan bertransaksi. Kewenangan dan aset negara yang diberikan kepada badan-badan baru semacam ini ibarat menciptakan negara dan kerajaan kecil di dalam negara, di mana abuse of power dan korupsi agraria dapat tumbuh subur dan terstruktur. Lembaga-lembaga baru ini menjadi negara di dalam negara yang diberikan kewenangan dan kekuasaan yang begitu luas untuk menguasai dan mengatur tanah dalam skala besar. Segala kebijakan ini berlangsung dengan basis domain verklaring yang berprinsip, jika seseorang tak dapat membuktikan bahwa tanahnya merupakan miliknya, maka tanah itu adalah tanah negara yang ia tak berhak duduki. Saat ini agar tak ada hambatan bagi investor, Pemerintah akan melakukan revisi UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN. Pemerintah berusaha mengubah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) menjadi undang-undang untuk HGU dengan durasi 190 tahun dan HGB dengan durasi 180 tahun dapat diberlakukan. Begitu mengerikan durasi HGU dan HGB yang hampir dua abad sangat bertentangan dengan konstitusi, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007, yang menyebut pemberian hak atas tanah dengan durasi 95 tahun untuk HGU, 80 tahun untuk HGB, dan 70 tahun untuk hak pakai melanggar UUD 1945.
Situasi agraria dan alokasi ruang di Sulawesi Selatan juga semakin dimonopoli dan diperuntukkan untuk investor. Hal ini dapat dilihat pada Perda RTRW Propinsi Sulawesi Selatan No. 03 Tahun 2022 dari bertambahnya luasan IUP dan WIUP yang pada tahun 2022 terhitung sekitar 164.216,35 Ha namun tahun 2023 bertambah menjadi 252.427,77 Ha. Ditengarai konsesi-konsesi ini adalah persiapan menjelang pesta demokrasi tahun 2024 yang sarat politik transaksional. Dilain pihak, klaim hutan oleh negara melalui rezim KLHK juga menjadi sumber penderitaan terusirnya rakyat dan kriminalisasi dengan tuduhan penyerobotan dan pengrusakan kawasan hutan. Sebaliknya kawasan pertambangan dan energi dalam hutan justru dibuka sebesar-besarnya untuk investor. Hal ini terlihat bisanya dibuka konsesi tambang dengan luas 4.518,5 Ha dalam kawasan hutan produksi, dan konsesi 5.843 Ha tambang dan energi dalam status kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya. Padahal Pemerintah telah menyiapkan Kawasan Pertambangan dan Energi seluas 68.199,3 Ha. Monopoli hutan oleh KLHK seluas 2.7 juta Ha yang menyebabkan 1.028 desa maupun kelurahan dari total 3.030 desa berada dalam kawasan hutan melahirkan ancaman tenurial tak berhenti hingga saat ini.
Kawasan Peruntukan Reklamasi 4.055 Ha, dan Kawasan Peruntukan Industri seluas 11.997,7 Ha. Meskipun diatas kertas beberapa aktivitas tambang telah beroperasi sejak puluhan tahun seperti PT. Vale juga Citra Lampia Mandiri. Ketimpangan agraria yang melahirkan konflik juga disebabkan oleh konsesi-konsesi perkebunan monokultur baik oleh PTPN XIV maupun milik swasta seperti PT. London Sumatera – Lonsum di Bulukumba ataupun Sinar Indonesia Merdeka di Luwu Timur. Sementara aktivitas-aktivitas PTPN XIV di sembilan kabupaten di Sulsel terus menghadirkan konflik seperti di Polongbangkeng Takalar, Maiwa-Cendana di Enrekang, Keera-Wajo, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap, Gowa hingga Bone. Total konsesi HGU di Sulawesi Selatan diatas kertas seluas 113.036,9 Ha dengan penguasaan klaim PTPN XIV 66.000 Ha yang diantaranya telah melakukan praktek illegal tanpa HGU dalam 20 tahun terakhir seperti di Wajo dan Enrekang serta HGU yang berakhir di Polongbangkeng Takalar.
Ditetapkan dan berlakunya UU Cipta Kerja juga menyebabkan revisi ruang untuk kepentingan pemodal terus dilakukan dan dimudahkan. Ini bisa terlihat jika HGU bisa diterbitkan dalam jangka waktu kurang dari sebulan sementara Rakyat yang mendiami kampung dan ruang ruang hidupnya selama puluhan bahkan ratusan tahun begitu mudah terusir dan tergusur. Bank Tanah di Seko Luwu Utara adalah salah satu ancaman nyata hasil UU Cipta Kerja. Penggusuran dan ancaman konflik agraria tidak hanya terjadi di daratan tapi juga di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tambang Pasir laut, Reklamasi Lae-lae, Privatisasi Wisata Bahari 12 Kepulauan Sangkarrang Makassar serta peruntukan Proyek Strategis Nasional seperti 3.500 Ha KIBA di Bantaeng, MNP di Buloa Tallo, Kawasan Industri terpadu Takalar yang difokuskan dalam pengolahan industri logam alumunium dan tembaga di Pesisir Takalar, PLTU di Jeneponto dan Barru, PLTA dan tambang pasir sungai Sa’dan di Pinrang serta proyek infrastruktur Geothermal di Toraja dan Enrekang akan menjadi mimpi buruk tak berkesudahan. Catatan KPA Sulsel, terdapat 19 Proyek Strategis Nasional seluas 66.918,1 Ha yang telah dan akan berdampak langsung di puluhan desa/kelurahan di Sulawesi Selatan. Tak berbeda kehidupan masyarakat di perkotaan, ancaman penggusuran dan perampasan lahan seperti di Bara-baraya, Bulogading, Kakatua yang ditengarai melibatkan drakula dan mafia tanah yang berkelindan dengan kekuasaan juga tak berhenti. Tak mengherankan jika angka kemiskinan dalam catatan BPS terus meningkat sejak tahun lalu.
Pada Maret 2023 penduduk miskin mencapai 788.850 orang, naik 6.500 orang jika dibandingkan September 2022, dan naik 11.410 orang jika dibandingkan Maret 2022.
Masalah-masalah agraria yang tak kunjung selesai bahkan terus menghadirkan konflik dan kronik agraria juga akan berdampak pada kedaulatan pangan. Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan, berubah dan hancurnya lanskap lahan-lahan sumber pangan, hilangnya kedaulatan pangan petani, masyarakat adat, perempuan-perempuan petani, perempuan nelayan dan masyarakat pedesaan serta sistem pertanian rakyat yang penuh dengan kearifan dan kekayaan lokal yang membudaya, Dan tentunya ancaman bencana karena ugalan-ugalan pemberian konsesi dan monopoli investor akan menempatkan posisi rakyat khususnya perempuan dan anak, petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat pesisir pulau dan pedesaan, buruh, mahasiswa dan kelompok rentan lainnya semakin terpuruk dan tak berdaulat. Sementara jumlah rumah tangga petani gurem di Sul-Sel sebesar 393.766, yg menguasai lahan dibawah 1 ha 630.168 atau RTP yang menggarap lahan dibawah 0,5 – 2 ha berjumlah 846.476 dari total 1.015.232 RTP, artinya ada 60% RTP yang penguasaan lahannya dibawah 1.000 m2 (BPS, 2020).
Konflik agraria juga menjadi sumber kriminalisasi dan pembungkaman hak-hak sipol rakyat, pengabaian dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam 7 tahun terakhir yang berhasil terdokumentasi, tak kurang 131 kasus kriminalisasi atas petani dan pejuang agraria/lingkungan di sejumlah daerah, antara lain di Makassar, Luwu Timur, Kab. Takalar, Sidrap, Pinrang, Gowa, Enrekang, dan Soppeng pada kurun waktu dari tahun 2016 sampai 2023. Konflik agraria yang dihadirkan selama puluhan tahun sejak orde baru hingga saat ini terus meminggirkan rakyat dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya juga spiritual mereka. Dan kerusakan ekologis akan menjadi bencana masa depan yang mengerikan. Situasi ini sekali lagi lahir dari rezim yang terpilih dalam kontestasi politik 5 tahun. Kekuasaan yang secara waktu hanya 5 sampai 10 tahun tetapi mampu mengeluarkan kebijakan yang akan dirasakan puluhan tahun bahkan seabad oleh Rakyat Indonesia melampaui periodisasi penguasaan rezim itu sendiri. Oleh sebab itu, mari Rakyat Indonesia untuk tidak lagi menggadaikan masa depan kita, sumber sumber agraria kita, kampung, tanah kelahiran, wilayah adat, kota, gunung, hutan, pesisir dan pulau-pulau untuk kita serahkan kepada mereka yang akan bermanis-manis dan menipu kita dalam Kontestasi Politik Demokrasi Tahun 2024 mendatang. Jangan serahkan hidupmu dan suaramu kepada mereka yang tak memberikan jaminan penuh atas tanah-tanah Rakyat. Mari memastikan tak akan ada suara Rakyat jika tak ada Tanah. Sebab “Tiada Guna Demokrasi Tanpa Reforma Agraria Sejati!”
Atas situasi tersebut dan demi penegakan Konstitusi Negara, Aliansi Gerak Makassar Menuntut dan Mendesak:
- Hentikan segala bentuk perampasan tanah yang dilakukan perkebunan skala besar oleh PTPN XIV, PT. Lonsum, PT. Sindoka dan drakula tanah lainnya di Sulawesi Selatan.
- Tak ada perpanjangan konsesi HGU di PTPN XIV Polongbangkeng Takalar, Wajo, Enrekang, Sidrap, Luwu Utara dan Luwu Timur
- Cabut dan hentikan IUP pasir Laut, Reklamasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Makassar terkhusus pulau Lae-Lae
- Cabut dan Hentikan Perluasan aktivitas tambang konsesi PT. Vale, Citra Lampia Mandiri, PT. Kalla Arebamma dan proyek destruktif lainnya.
- Usut tuntas mafia tanah di perkotaan dan pastikan hak atas tanah warga di Bara-barayya, Bulogading, Kakatua dan tempat lainnya mendapatkan perlindungan penuh dari negara sebagai mandat konstitusi.
- Melawan segala bentuk Proyek Strategis Nasional (Infrastruktur, Energi, PLTA/PLTU, Properti, Kawasan Ekonomi Khusus, Wisata, Pangan korporasi) yang menghadirkan Penggusuran Skala Nasional di seluruh wilayah kekuasaan Rakyat Indonesia.
- Berikan jaminan perlindungan, penghormatan, pengakuan terhadap identitas perempuan petani, perempuan nelayan, miskin kota dan masyarakat adat atas sumber sumber agraria dan ruang hidup mereka.
- Usut tuntas segala bentuk korupsi agraria akibat kebijakan yang liberal dan melanggar konstitusi.
- Cabut UU Cipta Kerja, Bank Tanah dan Badan-badan otorita lainnya yang menghidupkan kembali Kolonialisme dengan prinsip “Domein Verklaring”.
- Urgensi dan Dorong RUU Reforma Agraria menjadi prioritas legislasi nasional.
- Perlindungan, penghormatan dan jaminan terhadap kerja keras buruh atas upah yang layak, etis, manusiawi dan jaminan HAM.
- Hak dan subsidi atas pendidikan yang murah, layak dan berkualitas terhadap pelajar, mahasiswa dan seluruh Rakyat Indonesia sebagai bentuk hasil pengelolaan kekayaan alam oleh negara seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945.
- Seret dan penjarakan investor dan yang mengeluarkan kebijakan atas perampasan tanah tanah Rakyat, Kerusakan Lingkungan dan bencana masa depan.
- Tegakkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Jalankan Reforma Agraria Sejati yang berkeadilan gender.
Hidup Rakyat, Hidup Petani, Hidup Perempuan, Hidup Nelayan, Hidup Buruh, Hidup Masyarakat Adat, Hidup Masyarakat Miskin kota, Hidup Mahasiswa, Hidup Pejuang Agraria dan Lingkungan. Hidup RAKYAT Indonesia dan Perlawanan-Perlawanannya!
Makassar, 26 September 2023
Aliansi Gerak Makassar
(KPA Sulsel, PPSS, Serikat Petani Panrannuangku Takalar, LBH Makassar, Solidaritas Perempuan AM, PSP, ACC Sulawesi, FPPI, Lapar Sulsel, Walhi Sulsel, AMAN, PPMAN, Perempuan AMAN, Partai Buruh, KSN Nusantara, YLBHM, ForMaKar, HMJ PMH UIN, HIPMA Pasang Kayu, Fosis, LMND, Himapol Unhas)