Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan; Hentikan Segala Bentuk Brutalitas Aparat dan Pembungkaman Demokrasi!!!

Rilis Pernyataan Sikap

Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan

 “Hentikan Segala Bentuk Brutalitas Aparat dan Pembungkaman Demokrasi”

#RebutDemokrasiSejati #ReformasiDikorupsi #HentikanKekerasan #LindungiRakyat

 

Aksi demonstrasi sepanjang bulan September 2019 di berbagai kota besar di Indonesia termasuk di Makassar terus mengalami eskalasi kekerasan dan berakhir dengan aksi brutal dan represif dari aparat kepolisian. Para demonstran terus dipaksa berhadapan dengan aparat Kepolisian di saat hendak menyampaikan tuntutannya, mereka diburu hingga ke pemukiman warga sampai rumah ibadah. Demonstrasi mahasiswa harus terus berakhir dengan banyaknya tembakan gas air mata, sepanjang jalan kita dapat menemukan selongsong-selongsong gas air mata kadaluwarsa. Aksi brutal dan represif aparat kepolisian juga dilakukan dengan menggunakan pentungan, meriam air, bahkan peluru tajam.

Semakin meluasnya titik aksi dengan mobilisasi massa yang terus bergerak menuntut dipenuhinya tuntutan demonstrasi, berakibat pada peningkatan jumlah korban kekerasan dengan beragam bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terus dipraktikkan. Dua mahasiswa di Sulawesi Tenggara meninggal dunia dalam kericuhan di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara setelah mendapat tembakan peluru tajam di dada dan hantaman di kepala. Di Makassar, para demonstran terus di pukul mundur hingga ditabrak dengan kendaraan taktis hingga korban mengalami kondisi kritis.

Segala tindakan represif aparat telah melanggar Hak Asasi Manusia dan mencederai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana   diatur dalam berbagai UU di antaranya UUD 1945 Pasal 28 ayat 3 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat”,  UU UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Situasi hari ini telah menunjukkan bahwa gerakan massa yang terus membesar ini telah mempersatukan berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar berhadapan dengan aksi brutal dan kekerasan oleh aparat keamanan yang merupakan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan (unnecessary or excessive use of force) dan cenderung mengarah pada penyelewengan kekuasaan (abuse of power).

Sepanjang aksi demonstrasi di Makassar pada tanggal 24, 26, serta 27 September 2019, Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan melakukan pemantauan serta pendokumentasian dengan membuka posko pengaduan bagi korban kekerasan aparat. Aliansi mencatat sejumlah tindakan represif dan brutalitas aparat kepolisian serta pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan menemukan bahwa pihak aparat kepolisian telah melakukan, pertama, tindakan kekerasan dan represif di antaranya menendang, memukul, menyeret, mengeroyok, serta kekerasan fisik lainnya terhadap sejumlah massa aksi, jurnalis, hingga warga sekitar lokasi demonstrasi. Total korban mencapai 273, para korban di antaranya mengalami lebam, luka robek, pendarahan, pada bagian tubuh seperti kepala, wajah, perut, dan punggung, hingga sejumlah korban membutuhkan penanganan medis dan perawatan di rumah sakit.

Kedua, aparat Kepolisian melakukan tindakan yang kontraproduktif dari tugas dan fungsinya sebab dalam melakukan upaya paksa dengan bertindak emosional, dengan mengejar pelaku dengan menangkap dengan kasar dan melakukan penganiayaan dan pemukulan. Institusi Kepolisian telah melanggar aturan internalnya sendiri yang harus selalu memperhatikan tindakan proporsional dan dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum. Olehnya itu terduga pelaku pelanggaran yang ditangkap harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak boleh mengalami kekerasan, diseret, dipukul, diinjak, dilecehkan dan sebagainya.

Institusi Kepolisian berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan. Hal ini menunjukkan pelanggaran Aparat dengan melakukan pengajaran perorangan melanggar pada Pasal 13 dan 24 dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Ketiga, pelanggaran kode etik berupa meluasnya rekaman foto dan video korban penangkapan oleh Kepolisian yang berpotensi menyebabkan perundungan dan stigma negatif terhadap korban salah tangkap dan tidak terbukti melakukan kejahatan. Di media sosial beredar sejumlah foto dan video dari orang-orang yang ditangkap saat diangkut kendaraan polisi serta saat berada di kantor polisi. Dari foto dan video yang beredar tersebut, tampak secara jelas wajah dari orang-orang yang ditangkap, dengan kondisi wajah lebam dan luka. Di antara foto yang beredar terdapat pula foto seorang anak yang diduga pelaku ketika ditangkap polisi. Praktik ini menyebabkan banyaknya missinformasi yang beredar di masyarakat, sementara banyak di antara mereka yang ditangkap telah dilepaskan dan tidak terbukti melakukan kejahatan. Anggota POLRI wajib menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, terlebih bagi anak berhadapan dengan hukum yang wajib dijaga kerahasiaan identitasnya.

Keempat, penggunaan amunisi gas air mata yang sudah kadaluwarsa yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan dan berpotensi menyebabkan keracunan, sesak pernafasan, hingga mengakibatkan kematian. Akibat penggunaan gas air mata secara berlebihan tercatat 9 orang dari massa aksi mengalami gangguan pernafasan hingga pingsan. Di samping itu bentrok polisi dan massa aksi yang meluas hingga pemukiman warga berakibat pada penggunaan gas air mata ke arah rumah-rumah warga, menyebabkan warga sekitar mengalami gangguan pernafasan dan iritasi mata, termasuk ibu dan anak. Insiden ini dipantau di lokasi yaitu kawasan pemukiman warga di Jalan Abu Bakar Lambogo, terhitung sebanyak 25 tembakan gas air mata. Gas menyebar hingga sekitar 400 meter dari pertigaan Jalan Abu Bakar Lambogo yang padat penduduk.

Kelima, proses penyisiran dan penangkapan yang dilakukan hingga masuk ke wilayah pemukiman warga juga berpotensi mengganggu masyarakat dan menyebabkan trauma terhadap anak-anak dan perempuan. Hal ini terpantau di Jalan Abu Bakar Lambogo, kawasan pemukiman di Jalan Barawaja serta penyisiran di Jalan Pampang.

Keenam, dalam proses pendampingan hukum yang dilakukan oleh Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan, kami mendapatkan adanya pelanggaran prosedur dalam melakukan upaya paksa. Di antaranya masa penangkapan yang melampaui 1 x 24 jam, tidak adanya kejelasan status hukum bagi mereka yang ditangkap, termasuk terbatasnya akses informasi bagi pihak keluarga dan layanan bantuan hukum. Polisi juga belum mengembalikan barang dari sejumlah orang yang telah dilepaskan, di antaranya telepon genggam, tas, dompet dan barang berharga lainnya.

Dalam pemantauan dan pendokumentasian Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan, tercatat 498 orang ditangkap dalam aksi tanggal 24, 26, dan 27 September 2019. Dalam prosesnya sebanyak 485 orang tidak terbukti melakukan kejahatan dan dilepaskan. Sedang 13 orang proses hukumnya dilanjutkan dengan tuduhan tindak pidana pengrusakan, kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama, menyimpan senjata tajam dan bahan peledak (molotov), serta tuduhan melawan petugas.

Akar persoalan dari kebrutalan aparat tersebut dapat dilihat dari beberapa poin penting antara lain, pertama, penanganan aksi massa dengan pengerahan kekuatan secara berlebihan dilakukan tanpa mengimplementasikan peraturan mengenai pengendalian massa dan hak asasi manusia; kedua, meningkatnya eskalasi kekerasan hingga jatuhnya korban tidak dapat dilepaskan dari adanya praktik pelanggaran Protap dan kode etik oleh pihak kepolisian termasuk saat menangani para demonstran; ketiga, kegagalan aparat kepolisian dalam melakukan reformasi di sektor keamanan institusi kepolisian dengan tetap berwatak militeristik yang seharusnya berfungsi sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat.

Negara harusnya hadir dalam situasi yang mendesak saat ini dengan mendengarkan tuntutan gerakan demonstrasi dan berhenti bersembunyi di balik lingkaran politik oligarki yang anti kritik. Sikap pemerintah hanya akan memperburuk situasi dengan segala bentuk pernyataan politik yang seolah-olah menyudutkan dan hendak mencari kambing hitam dari kegagalan kita dalam mewujudkan iklim demokrasi yang berperikemanusiaan dan keadilan sosial serta tidak memberi ruang terhadap kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Aksi massa di berbagai daerah di Indonesia tidak hanya tentang aksi tolak menolak RUU melainkan sebuah ruang untuk meminta negara menjalankan konstitusi dengan selayak-layaknya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita harus berhenti membiarkan defisit demokrasi dan krisis korupsi di Indonesia terus berlangsung. Penggunaan proses hukum pidana terhadap demonstran dan pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan kebijakan negara merupakan perampasan kebebasan berekspresi dan menghancurkan nilai-nilai HAM dan demokrasi yang dijamin oleh konstitusi dasar Negara Republik Indonesia.

Merunut pada kondisi di atas, Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan menuntut:

  1. Presiden untuk memenuhi tuntutan demonstrasi dan menjalankan perintah konstitusi untuk melaksanakan pemerintahan yang adil, demokratis dan anti korupsi.
  2. Presiden untuk memenuhi kewajibannya memastikan tersedianya ruang aman bagi warga masyarakat untuk menikmati hak atas kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai.
  3. Presiden untuk menghentikan segala bentuk praktik impunitas dan pelanggengan mata rantai kekerasan termasuk pengerahan aparat kekerasan di Papua.
  4. Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera menghentikan penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan oleh aparat, yang sering kali dilakukan secara brutal dan tidak manusiawi.
  5. Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mengubah pendekatan pengendalian massa agar sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia yang berlaku, termasuk yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk bertanggungjawab dan menindak tegas dengan melakukan proses hukum baik etik maupun pidana anggota POLRI di jajarannya yang melakukan kekerasan dan pelanggaran protap dalam penanganan aksi demonstrasi.
  7. Kompolnas untuk menyelidiki dan memastikan pertanggungjawaban atas tindak brutal aparat, termasuk menyelidiki dugaan telah terjadinya penyiksaan dan tindakan kejam dan tidak manusiawi serta kematian yang tidak sah (potential unlawful killing)
  8. Komnas HAM RI untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh terhadap tindakan kekerasan oleh kepolisian kepada massa aksi dan masyarakat pada umumnya khususnya kekerasan terhadap mahasiswa dan jurnalis.
  9. Institusi kepolisian untuk memberi ruang seluas-luasnya bagi akses layanan bantuan hukum terhadap setiap orang yang diproses hukum terkait aksi demonstrasi.
  10. Negara khususnya Kepolisian RI untuk bertanggungjawab dan meminta maaf kepada seluruh korban kekerasan, dan memenuhi hak pemulihan bagi korban.
  11. Masyarakat sipil untuk terus saling menjaga dan menjadi bagian dari perbaikan reformasi demi mewujudkan demokrasi yang sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan percaya bahwa tugas utama negara adalah memastikan kedaulatan rakyat bangsa Indonesia sebagai mandat dan sekaligus manifestasi cita-cita luhur kemerdekaan Bangsa Indonesia yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Panjang Umur Perjuangan Rakyat!

 

Makassar, 29 September 2019

Aliansi Bantuan Hukum Anti Kekerasan

LBH Makassar, LBH Pers Makassar, LBH Apik Makassar, ACC Sulawesi, YLBH Makassar, Kontras Sulawesi, PBHI SULSEL, PBH Peradi Makassar, LKBH Univ. Sawerigading

 

Narahubung:

  1. Abdul Azis Dumpa (LBH Makassar/082217485826)
  2. Asyari Mukrim (KontraS Sulawesi/082191914973)
  3. Haswandy Andy Mas (LBH Makassar/081355399855
  4. Adnan Buyung Azis (YLBHM/081290187878)
  5. Fajriani Langgeng (LBH Pers Makassar/085255514450)
  6. Abdul Kadir Wokanubun (ACC Sulawesi082345579999)
  7. Iwan Kurniawan (PBH Peradi Makassar/082208225041)
  8. Hendra Firmansyah (PBH Peradi Makassar/085242752063)
  9. Rosmiati Sain (LBH Apik Makassar/081242843387)
  10. Abdul Azis Saleh (PBHI Sulsel/081342193382)
  11. Maemanah (LKBH Sawerigading/085242084319

 

Bagikan

Rilis Pers Lainnya

Credits: https://w.wiki/BWWm
PGRI Kota Makassar Berpihak Kepada Pelaku, Mengesampingkan Keadilan Terhadap Siswi SLB Korban Kekerasan Seksual.
Credits: https://w.wiki/BWWm
Siswi Disabilitas Tuli di SLB Makassar jadi Korban Kekerasan Seksual, Pelakunya Seorang Guru
Foto: LBH Makassar
Permohonan Praperadilan Buruh PT. GNI Korban Kriminalisasi Ditolak, Hakim Jauhkan Korban dari Keadilan
Skip to content