Reklamasi pesisir Makassar masih terus berlanjut. Masih segar di ingatan kita, bahwa pada tahun 2014 lalu, reklamasi yang dipaksakan masuk di pesisir Makassar untuk pembangunan Center Poin Of Indonesia (CPI), telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berupa perampasan ruang hidup dengan menimbun wilayah tangkap nelayan sekitar penggusuran terhadap 43 kepala keluarga nelayan dan perempuan. Wilayah tangkap nelayan, serta berbagai alat tangkap seperti jaring dan rumpon ikut tertimbun menjadi daratan baru.
Reklamasi pesisir Makassar ini semakin meluas, kini, menyasar Pulau Lae-Lae, pulau yang dihuni sekitar 1900 jiwa. Pemerintah Provinsi Sulsel kali ini, berencana lagi melakukan reklamasi tersebut yang akan lagi merampas ruang hidup masyarakat pesisir utamanya nelayan dan perempuan, berdasarkan Surat Edaran Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Nomor 180/1428/B.Hukum.
Rencananya reklamasi yang akan menimbun wilayah tangkap Nelayan ini mencapai 12, 11 ha, dilakukan sebagai lahan pengganti akibat kekurangan lahan di objek reklamasi CPI sebelumnya, sesuai kesepakatan pemerintah Provinsi Sulsel dengan pihak pengembang CPI bahwa pihak pengembang akan mengganti kekurangan lahan yang diperuntukan bagi pemerintah Sulsel.
Adalah PT. Yasmin Perusahaan yang menjadi Kontraktor, yang mendapat kepercayaan dari Pemerintah Provinsi Sulsel untuk kembali menjadi aktor/pelaksana reklamasi pulau Lae-Lae.
Praktek reklamasi pesisir selama ini dilaksanakan dengan oleh pemerintah dan pihak swasta dengan mengorbankan area publik demi kepentingan bisnis. Reklamasi pulau Lae-Lae menjadi bukti bahwa pemerintah lebih tunduk pada kuasa bisnis dengan mengorbankan ruang hidup masyarakat pesisir.
Sejauh ini, berbagai upaya penolakan warga pulau Lae-Lae terhadap rencana reklamasi telah dilakukan. Penolakan menghadiri sosialisasi AMDAL, penolakan tim pekerja dari PT. Yasmin untuk pelaksanaan reklamasi, hingga aksi parade perahu nelayan “Tolak Reklamasi Pulau Lae-Lae” adalah rangkaian upaya perlawanan warga pulau Lae-Lae menolak reklamasi.
Rencana reklamasi pulau Lae-Lae, didasarkan pada Perda No. 3 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Peraturan Gubernur No. 14 tahun 2021 tentang pembangunan Destinasi Wisata Bahari di Pulau Lae-Lae, yang menjadi pedoman dalam merencanakan pembangunan kawasan destinasi wisata bahari di Pulau Lae-Lae.
Berbagai upaya penolakan warga dan nelayan atas rencana reklamasi muncul karena khawatir reklamasi akan semakin mempersempit ruang hidup mereka, terlebih berbagai kekhawatiran itu sudah banyak terbukti dirasakan oleh warga pesisir Makassar dan warga pulau Lae-Lae akibat reklamasi CPI dan perluasan daratan untuk pembangunan Makassar New Port yang mengeruk pasir di wilayah tangkap nelayan.
Keruhnya air laut di sekitar pesisir Makassar, tertimbunnya wilayah tangkap dan rumpon nelayan, rusaknya terumbu karang di wilayah tangkap nelayan akibat pengerukan pasir untuk material reklamasi , menjadi bukti rusaknya lingkungan dan penyempitan ruang hidup warga pesisir dan nelayan akibat reklamasi CPI dan perluasan daratan untuk pembangunan Makassar New Port yang sebelumnya telah dilakukan.
Untuk itu, sebagai upaya mempertahankan ruang penghidupan nelayan, warga pesisir, dan perempuan pulau Lae-Lae bersama dengan KAWAL PESISIR melakukan aksi tolak reklamasi Pulau lae-Lae dan meminta agar pemerintah:
- Menghormati, Mengakui dan melindungi wilayah tangkap nelayan;
- Cabut Pergub Wisata Bahari;
- Revisi Perda RT/RW Provinsi Sulawesi Selatan;
- Akui Identitas Nelayan;
- Pulihkan hak-hak masyarakat pesisir dan nelayan;
- Batalkan rencana reklamasi Pulau Lae-Lae;
- Laksanakan Reforma Agraria Sejati di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.