Kewarganegaraan adalah ikatan hukum antara seseorang dengan suatu negara. Kewarganegaraan memberikan orang sebuah identitas diri, namun yang lebih penting lagi, kewarganegaraan memungkinkan mereka memiliki dan menggunakan berbagai macam hak yang melekat didalamnya. Karenanya, tidak adanya kewarganegaraan atau keadaan tanpa kewarganegaraan (Stateless) dapat membahayakan dan bahkan dalam beberapa kasus dapat menghancurkan hidup orang-orang yang bersangkutan.
Pasal 15 Deklarasi Universal Hak – hak Asasi Manusia menegaskan bahwa “setiap orang mempunyai hak atas kewarganegaraan”. Melalui kalimat ini, masyarakat internasional mengakui bahwa setiap individu, di manapun di dunia ini, seharusnya mempunyai ikatan hukum kewarganegaraan dengan suatu negara. Dengan kata lain, hukum internasional mengatakan secara jelas bahwa keadaan tanpa kewarganegaraan seharusnya dihindari.
Sehubungan dengan pernyataan diatas, maka dari itu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia mengambil inisiatif untuk membangun kemitraan yang berkelanjutan dengan berbagai Stake Holder (NGO dan Instansi Pemerintah) dalam memberikan kewarganegaraan kepada anak pengungsi dari luar negeri dengan memberikan akta kelahiran.
Sebagai langkah awal untuk mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan (Statelessness), UNHCR Indonesia perwakilan Makassar melaksanakan Workshop “Orang Tanpa Kewarganegaraan dan Pencatatan Kelahiran Anak Pengungsi dari Luar Negeri Kota Makassar Tahun Anggaran 2019” di Hotel Singgasana, Makassar 29 Juli 2019. Workshop ini diikuti oleh perwakilan LBH Makassar, LBH Apik Makassar, Safe The Children Makassar, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Makassar, International Organization for Migration (IOM), Institut Kewarganegaraan Indonesia dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penanganan pengungsi dari luar negeri di Kota Makassar.
Mandat UNHCR
Sidang umum PBB memilih UNHCR untuk menjalankan tugas membantu negara-negara dalam mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan tidak saja karena masalah-masalah pengungsi dan keadaan tanpa kewarganegaraan sering tumpang tindih, namun juga karena berurusan dengan keadaan tanpa kewarganegaraan, dalam banyak hal, memerlukan sebuah pendekatan yang serupa dengan pendekatan dalam berurusan dengan para pengungsi. Kedua, kelompok manusia ini tidak mendapatkan cukup perlindungan.
UNHCR membantu negara-negara menerapkan Konvensi 1951 mengenai Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan dengan menawarkan saran teknis terkait dengan perundangan dan dukungan operasional untuk mempromosikan pelaksanaan langkah-langkah yang dapat mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan diperkuat oleh sebuah tugas khusus yang termaktub dalam Pasal II dari Konvensi 1961: untuk membantu individu-individu yang mungkin mendapatkan keuntungan dari ketentuan-ketentuan perangkat ini dalam mengajukan klaim mereka kepada otoritas negara.
Menurut Dwita Aryani selaku perwakilan dari UNHCR dalam pemaparannya tentang Mandat UNHCR “Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk menerima UNHCR sebagai mitra dalam Perlindungan Pengungsi di Indonesia.” Pihak UNHCR mencoba menjelaskan bahwa terlepas dari mandat UNHCR dalam penanganan pengungsi dari luar negeri dalam hal perlindungan internasional, pihak yang paling utama atau berperan dalam masalah perlindungan pengungsi internasional ialah Negara. Negara Indonesia memiliki kedaulatan untuk menentukan kebijakan yang akan diambilnya atau menentukan nasibnya sendiri dan negara lain maupun PBB tidak dapat mengintervensi atau mencampuri kebijakan suatu negara.
Jumlah Pengungsi di Indonesia saat ini ada 14.016 dan kota Makassar merupakan urutan ketiga terbanyak setelah kota Jakarta diurutan pertama dan kota Tanjung Pinang diurutan kedua. Negara Indonesia sebagai negara transit bagi Pengungsi dari luar negeri karena negara Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi karena pertimbangan kebijakan dalam negerinya. Akan tetapi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan dituangkan dalam Undang-undang no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sehingga pemerintah Indonesia wajib memberikan akta kelahiran kepada anak pengungsi sehingga nantinya akan mendapatkan pengakuan kewarganegaraan di Indonesia dan juga memudahkan anak-anak pengungsi tersebut dalam mengakses hak-hak lainnya.
Adapun bentuk-bentuk Advokasi UNHCR terkait Keadaan Tanpa Kewarganegaraan di Indonesia, seperti; bekerjasama dengan Dompet Dhuafa dalam menerbitkan akta lahir untuk anak-anak termarjinalisasi Indonesia, aksi global UNHCR tahun 2014-2024 dengan mengundang Dirjen Dukcapil, Kementerian Luar Negeri dan akademisi untuk input/pledge, lalu membuat MoU dengan Komnas HAM termasuk terkait Sabang, Advokasi dengan partner dan Workshop seperti yang dilakukan saat ini.
Sebagai perwakilan dari UNHCR, Dwita pun menambahkan tujuan dari advokasi UNHCR terkait Keadaan Tanpa Kewarganegaraan di Indonesia ialah untuk menghindari anak-anak tanpa kewarganegaraan atau lahir tanpa kewarganegaraan di Indonesia dengan cara memberikan akta kelahiran kepada setiap anak-anak pengungsi dari luar negeri.
Pewarganegaraan di Indonesia
Dalam Undang-Undang RI No. 12 tahun 2006 tantang Kewarganegaraan RI, Bab II Pasal 4 bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah negara asing dan ibu warga negara Indonesia dapat dijadikan warga negara Indonesia, begitupun dengan sebaliknya. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut seperti etnis Rohingya, maka anak tersebut juga bisa menjadi Warga Negara Indonesia.
Cara memperoleh Kewarganegaraan RI yaitu diantaranya; kelahiran (ius soli-ius sanguinis)- ABG, Pewarganegaraan/Naturalisasi (biasa-prestasi-jasa), registrasi biasa (perkawinan, ikut orang tua yang sudah pewarganegaraan usia <18 tahun, diangkat sah sebagai WNI usia <5 tahun), Tutur Edi (Perwakilan Institut Kewarganegaraan Indonesia) dalam memberikan penjelasan pada sesi lanjutan Workshop.
Namun, hingga saat ini masih ada anak pengungsi dari luar negeri yang belum mendapatkan akta kelahiran karena masih kurangnya sosialisasi terkait pemberian kewarganegaraan kepada anak pengungsi dengan pemberian akta kelahiran dan adapun proses yang rumit dalam pengurusan akta kelahiran tersebut, beberapa pengungsi masih kebingungan dengan alur pengurusannya. Sehingga untuk peluang kedepannya dapat dimasukkan dalam perubahan UU Adminduk atau penerbitan Perpres atau PP terkait Dukcapil yang akan terbit dalam waktu dekat.
“Perlunya ada aturan untuk pelayanan akta kelahiran bagi anak pengungsi luar negeri yang lahir di Indonesia maupun sebelum masuk ke Indonesia, sesuai umur yang telah ditetapkan dari Dirjen Dukcapil.” Tutup Edi.