Pentingnya mendorong peningkatan layanan Kepolisian yang ramah terhadap kelompok rentan, menjadi tema strategis dari seminar yang digelar oleh beberapa organisasi masyarakat sipil dari berbagai sektor di Makassar yang tergabung dalam aliansi HAM Anti Kekerasan & Diskriminasi. Beberapa organisasi yang tergabung di dalamnya yaitu, Komunitas SEHATI Makassar, LBH Apik Makassar, LBH Makassar, SP Anging Mammiri, GAMACCA, HWDI, KIPAS, KWRSS, GIPA, PKBI, SRIKANDI, GARDEN, dan GSBN.
Tema ini dipilih berdasarkan latar belakang permasalahan bahwa Polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban umum merupakan salah satu alat Negara yang dalam hukum hak asasi manusia memiliki kewajiban untuk melindungi. Penegakan hukum berarti juga melindungi hak asasi manusia. POLRI sejauh ini merupakan institusi yang melakukan proses reformasi paling cepat di antara institusi penegak hukum lainnya, POLRI merupakan institusi yang paling banyak memiliki program reformasi. Setidaknya POLRI telah melakukan langkah reformasi melalui 3 cara, yaitu reformasi instrumental, reformasi structural, dan reformasi cultural. Berbagai cara telah dilakukan antara lain perubahan kurikulum, sistem pendidikan, pola rekrutmen, perubahan uniform hingga menerapkan pemolisian yang berbasis pada masyarakat (community policing).
Sementara secara umum, Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain, tetapibelum didukung dengan komitmen bersama yang kuat untuk menerapkan instrumen-instrumen tersebut. Penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia oleh Pemerintah harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, termasuk perlakuan dan pelindungan khusus bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, kelompok lanjut usia, fakir miskin, perempuan, anak, pengungsi, masyarakat adat, dan pekerja migran.
Dalam pembukaan kegiatan, pihak penyelenggara diwakili oleh Ino dari Komunitas Sehati Makassar, memaparkan bahwa seminar ini penting untuk memulai kembali gagasan untuk menembangkan suatu mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama hak-hak kelompok rentan yang menurut Human Rights Reference 3 terdiri dari: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women. Jika mengacu pada pada point C yakni National Minorities atau Minoritas Berbangsa dapat kita simpulkan beberapa kata kunci yang harus dipertimbangkan berkenaan dengan defenisi minoritas adalah: “Secara leksikal, istilah ‘minoritas’ dapat dipahami secara numerik yaitu sebagai populasi yang jumlahnya lebih sedikit dari sebuah jumlah populasi yang lebih besar secara keseluruhan (di tingkat nasional). Tapi minoritas juga dapat dilihat dalam hal pengaruh, yaitu tidak dominan, dan mendapat perlakuan yang merugikan atau berada dalam situasi yang tidak diuntungkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara“.
Seminar yang dipandu oleh Moderator M. Fajar Akbar dari LBH Makassar ini menghadirkan 3 narasumber yaitu Arif dari Partnership yang memaparkan tentang Indeks Tata Kelola Kepolisian, Rosmiati Sain dari LBH Apik Makassar yang memaparkan tentang Temuan Fakta Layanan Kepolisian Terhadap Kelompok Rentan, dan AKBP Hj. Jameela dari Polda Sulsel yang memaparkan Komitmen Layanan Kepolisian Ramah Terhadap Kelompok Rentan.
Dalam perkembangannya beberapa hal menarik yang didiskusikan dengan cukup hangat dengan peserta diantaranya pemaparan mengenai Indeks Tata Kelola Kepolisian untuk seluruh Polda di Indonesia yang menempatkan Polda Sulselbar pada level menengah yaitu berada di posisi 14, dimana beberapa peserta seminar mengaku baru mengetahui akan adanya indeks tersebut dan posisi Polda Sulselbar. Peserta juga mempertanyakan apakah dalam penyusunan indeks tersebut, kelompok rentan diajak berpartisipasi atau tidak, sehingga dapat diukur objektifitasnya. Penyusunan indeks tata kelola ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi dan upaya menciptakan aparat kepolisian yang profesional dan humanis. Indeks ini disusun dengan 142 indikator dan tersebar pada 9 satuan kerja di Kepolisian. Adapun syarat indikatornya yaitu dapat mengukur tata kelola, signifikansi, ketersediaan data, dan indikator tersebut dapat ditemukan di seluruh Polda di Indonesia.
Sementara Rosmiati dari LBH Apik Makassar memaparkan beberapa fakta bahwa komitmen pemberian layanan ramah terhadap kelompok rentan masih sangat minim, terutama di level bawah, seperti Polsek. Dalam kasus anak bermasalah dengan hukum, penyidik Kepolisian masih banyak menggunakan KUHAP walau sudah ada UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Kelompok LGBT juga masih sulit mendapat keadilan di depan hukum, bila mereka diduga sebagai pelaku, proses hukum berjalan dengan normal, tapi bila mereka menjadi korban proses hukum berjalan amat lambat bahkan banyak tidak ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum yang sebenarnya. Diskriminasi dalam mendapatkan keadilan melalui proses hukum juga masih dialami oleh kelompok-kelompok rentan lainnya, seperti difabel, odha, dan lain-lain.
Narasumber dari Polda Susel Hj Jameela dalam pemaparannya mengakui masih lemahnya komitmen layanan ramah kelompok rentan, dimana hal itu lebih banyak dipengaruhi oleh mindset dan kultur kepolisian serta fasilitas yang belum memadai di banyak kantor Polisi terutama di tingkat Polsek. Namun saat ini, Kapolri yang baru telah menginstruksikan agar Kepolisian mampu mewujudkan 12 indikator selama kepemimpinannyam salah satunya adalah memajukan pelayanan yang berbasis HAM terhadap kelompok rentan.
Di akhir kegiatan seminar ini, dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Polda Sulsel dengan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi dalam mewujudkan Pelayanan Kepolisian Ramah Terhadap Kelompok Rentan.
Dengan terselenggaranya kegiatan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi semua orang untuk dapat mendorong semua pihak berperan aktif dalam menghilangkan, minimal mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan.
Comments
No comment yet.