Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Makassar (UNM) menggelar forum bedah isu dengan tema mengenal Omnibus Law Cipta Kerja, Senin, 24 Februari 2020. Forum diskusi dihadiri oleh Salman Azis (YLBHI-LBH Makassar) dan Rina (Sentral Gerakan Buruh Nasional) sebagai Pemantik diskusi, serta Mahasiswa UNM sebagai peserta.
Diskusi mula-mula dibuka oleh Utami Resky Arsyad sebagai Moderator dan memberikan penjelasan singkat mengenai tema yang diangkat. “Diskursus soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi perhatian publik saat ini tidak terkecuali mahasiswa. Banyaknya pasal-pasal yang dianggap bermasalah dari Omnibus Law Cipta Kerja menjadi bahan pendiskusian, penyadaran, kampanye bahkan berujung pada aksi demonstrasi penolakan RUU tersebut”.
Setelah draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang awalnya bernama Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) diserahkan oleh Pemereintah ke DPR-RI dan draf tersebut baru bisa diakses oleh publik, masyarakat memberikan kecaman keras terhadap pemerintah, baik itu dari elemen Buruh, petani, Kaum Perempuan, Miskin kota dan Mahasiswa.
Dari analisis berbagai elemen, RUU Ciptaker dianggap akan semakin memperparah bentuk penindasan dan akan merusak tataanan sosial. Dipermudahkannya izin usaha yang tersentral pada pemerintah pusat, izin lingkungan yang menjadi kontrol masyarakat terhadap korporasi untuk melindungi lingkungan dari dampak lingkungan yang dihasilkan oleh aktivitas industri akan semakin memperlancar praktek perampasan lahan masyarakat dan kerusakan terhadap lingkungan.
Saat ini, setiap Usaha Industri dan pembangunan diawajibkan memiliki izin usaha dan izin lingkungan. Namun hal tersebut tidak menjadi perhatian penting bagi kebanyakan Korporasi atau perusahaan. Ini terlihat jelas apa yang menimpa masyarakat pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang lahannya dirampas oleh PT. Gema Kreasi Perdana (GKP). YLBHI-LBH Makassar dan Tim Investigator lainnya menemukan bahwa aktivitas tambang nikel PT.GKP tidak memiliki Izin Usaha Perusahaan (IUP) dan Izin Lingkungan. Terlebih bahwa di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), kepulauan Wawonii tidak diperuntukkan ada usaha pertambangan.
“Coba kita bayangkan, ada kewajiban izin saja perusahaan sewenang-wenang melakukan aktivitas pertamangan. Bagaimana jadinya kalau itu semua dihapus? Jelas saja masyarakat akan kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka dan tentunya juga merusak tatanan sosial”, ujar Salman.
Di sektor Buruh juga mengalami berbagai perubahan kebijakan yang saat ini diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, kemudian dihilangkan dalam draf RUU Ciptaker yang tidak lagi memandang manusiawi kelompok Buruh, terutama Buruh Perempuan. Hak atas cuti melahirkan, cuti haid, cuti pernikahan, cuti ketika ada acara keluarga, itu semua akan dihapus jika sekiranya RUU Omnibus Law Ciptaker disahkan.
Kondisi Buruh diperparah dengan penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT)/Kontrak dan Outsourcing yang sewenang-wenang. Selain itu penghapusan pesangon dan penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang mana tingkat perhitungannya lebih rendah membuat buruh tertatih-tatih menjalani hidup. Rina mengungkapkan, “ini adalah bentuk perbudakan modern, di mana Buruh tenaganya tidak dinilai manusiawi dan menjadi objek eksploitasi”.
Elemen Mahasiswa juga harus bergerak dan bersolidaritas kepada elemen masyarakat lainnya ihwal menolak RUU Omnibus Law Ciptaker. Mayoritas Mahasiswa setelah menjalani kehidupan perkuliahan akan mencari pekerjaan. Namun, Dengan situasi masih kurangnya lapangan pekerjaan dan setiap tahun angkatan kerja meningkat, adanya kebijakan menteri pendidikan tentang konsep kempus merdeka yang berorintasi pada persiapan kerja, sedangkan perlindungan atas hak-hak buruh dihilangkan, maka tidak lain ini adalah konsep pendidikan yang akan menghasilkan “pekerja paksa”.