Ancaman terhadap perjuangan akan perlindungan, pemenuhan, penghormatan dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh para Pekerja HAM, berada pada kondisi yang semakin serius. Pekerja HAM sedang berada dalam ancaman nyata kekerasan, kriminalisasi, bahkan penghilangan paksa. Hal tersebut tidak hanya bersifat potensial, tetapi sudah mengaktual. Salah satunya yang dialami oleh aktivis Eva Bande yang dikriminalisasi karena menolak investor Kelapa Sawit di Luwuk Banggai, meskipun pada akhirnya ia mendapatkan Grasi dari Presiden karena protes yang terus dilancarkan.
Kondisi di atas akan semakin diperparah dengan masuknya kembali Rancangan Undan-Undang (RUU) Kemanan Nasional (Kamnas) dan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional. Hal ini mengemuka dan menjadi diskursus dalam Dialog Publik mengangkat tema “Ancaman terhadap Pekerja HAM Melalui Kebijakan Legislasi Nasional RUU Kamnas dan RUU Rahasia Negara” yang diselenggarakan oleh KontraS Sulawesi bekerja sama dengan Imparsial, Selasa, 28 April 2015. Dialog ini dilaksanakan di Warkop 115, Jl. Toddopuli, Makassar. Dihadiri oleh puluhan aktivis dari beberapa Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan Organisasi Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar.
Ardi Manto Adiputra yang hadir sebagai pembicara berpendapat bahwa, kedua RUU ini akan mengancam keberlangsungan demokrasi dan HAM yang diperjuangkan oleh para Pekerja HAM sebagai amanah reformasi 1998, setelah lepas dari Rezim Orde Baru yang milteristik, namun arah legislasi nasional terkait politik kemanan nasioanal tidak memperlihatkan perubahan.
“Pasca Pemilu baru-baru ini, justru memperlihatkan kondisi yang serius terkait keberadaan para Pekerja HAM yang semakin terancam. Bergantinya elit politik tidak mengubah arah legislasi nasional terkait politik kemanan nasional. Padahal kedua RUU ini sudah ditolak dan ramai didiskusikan sejak tahun 2006 silam, sebab dicurigai sebagai upaya kembalinya militer dalam dinamika sosial masyarakat sipil, yang tentu mengakibatkan kemunduran demokrasi, seperti saat rezim orde baru berkuasa,” jelas Ardi yang juga peneliti Imparsial.
Lebih lanjut Ardi menjelaskan bahwa, Pekerja HAM selalu menjadi ancaman bagi penguasa dan elit politik, karena aktivitasnya yang berlawanan, menentang dan mengkritik kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap rakyat. Sehingga mengancam status quo penguasa. Melalui produk politik (legsilasi UU) pembatasan-pebatasan ini dilegitimasi, dan sudah pasti bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menurutnya setidaknya ada beberapa pasal yang terdapat pada RUU Kamnas yang mengancam masyarakat sipil, khususnya Pekerja HAM.
Adapun pasal-pasal yang dimaksud yakni, Pertama, Pasal 16 jo. Pasal 17 beserta penjelasannya terkait dengan frasa represif dan subversif yang multitafsir, sehingga bisa ditujukan terhadap kelompok yang kritis terhadap kekuasaan, misalnya saat pemogokan massal, Presiden menentukan yang mana ancaman potensial dan aktual. Kedua, Paradigma RUU Kamnas dalam Pasal 28 j, yang bertentangan dengan konstitusi, karena dapat dilakukan pembatasan HAM jika dinilai mengancam kemanan. Ketiga, Pasal 12 jo. Pasal 34 ayat (2) menyebutkan status tertib sipil sebagai status Keamanan Nasional dan pelibatan Milter di dalamnya. Keempat, Pasal 47 ayat (4) melegalisasi Kelompok Sipil Bersanjata atau Milisi selama darurat militer. Kelima, dalam Pasal 36 yang menyebutkan Pembentukan Komponen Cadangan, yang merupakan milterisasi sipil yang dilegitimasi melalui Keputusan Presiden. Keenam, Pasal 25 huruf (b) Dewan Kemanan Nasional (DKN) diberikan kewenangan untuk menetapkan kebijakan kemanan nasional, yang selama ini menjadi Kewenangan Presiden. Sehingga jelas bertentangan dengan konstitusi dan ruang penyalahgunaan wewenang oleh milter semakin terbuka lebar. Ketujuh, dalam Pasal 33, terdapat Forum Koordinasi Kemanan Nasional Daerah seperti Badan Koordinasi Intelejen Daerah (Bakorinda) pada rezim Orde Baru yang mengawasi gerakan masyarakat sipil sehingga pada waktu itu banyak gerakan perlawanan yang direpresi oleh milter, dengan alasan mengancam kemanan nasional.
Sejalan dengan itu, Azwar Hasan yang turut hadir sebagai pembicara mengungkapkan bahwa RUU Rahasia Negara mengancam kebebasan yang fundamental dalam sistem demokrasi, karena dapat menyeret TNI masuk dalam politik kekuasaan dan dijadikan alat politik penguasa. Azwar juga menolak jika RUU Rahasia Negara disahkan karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang utama dalam penyelenggaraan Negara Demokrasi yang sudah dijamin dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Berlakunya UU KIP menjadi kekhawatiran kelompok kekuasaan yang merasa status quo kekuasaannya terancam, akibat terus mendapatkan kritikan dari masyarakat sipil, sehingga proses legislasi politik RUU Rahasia Negara hadir untuk membatasi transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas penyelengaaraan negara sehingga kontrol terhadap negara tidak lagi berjalan. Hak warga negara atas informasi semakin tertutup seperti saat rezim orde baru berkuasa, ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. “Selain itu akan memicu konflik implementasi UU dan tentunya masyarakat sipil akan sangat mudah dikriminalisasi,” jelas Azwar Hasan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Selatan.
Lebih lanjut, Azwar mengkritis isi RUU Rahasia Negara yang dianggap dapat menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan (abuse of power) pemerintah terhadap masyarakat sipil. Tafsir rahasia negara tidak jelas, tergantung dari pemerintah yang menilai, suatu informasi menjadi rahasia negara. Sehingga bisa berimplikasi pada tafsir ego sektoral yang memicu konflik kepentingan. Mengancam pertumbuhan masyarakat sipil, kebebasan yang menjadi cita-cita demokrasi dan akhirnya memberangus HAM, serta memicu rezimentasi kekuasaan.
Nasrum yang menjadi narasumber berikutnya, dengan tegas menolak kedua RUU ini. Ia menganggap bahwa, jika saja RUU ini disahkan maka akan semakin banyak masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan dan kesewenang-wenangan penguasa. “Belum lagi RUU ini disahkan, sudah banyak masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan negara. Misalnya Pembubaran paksa aksi-aksi solidaritas masyarakat sipil yang mengkritik pemerintah. Sehingga, kedua RUU ini harus direspon secara nasional. Kritik masyarakat sipil terhadap pemerintah nantinya dengan mudah dianggap mengancam keamanan nasional,” jelas Wakil Koordinator KontraS Sulawesi yang biasa disapa Accunk ini.
Selain itu, Nasrum mengkhawatirkan akan kembalinya rezim orde baru yang militeristik, karena TNI akan mengambil tugas dan fungsi Polri yang sudah jelas pemisahannya, dimana Polri berfungsi sebagai aktor keamanan sedangkan TNI lebih kepada pertahanan. Jika kedua RUU ini disahkan akan mengakibatkan degradasi peran Polri dan melemahkan semangat reformasi sektor keamanan yang bertujuan melindungi masyarakat sipil.
Ia mencontohkan Latihan Militer gabungan TNI yang baru-baru ini diadakan di Poso, ternyata latihan militer yang direncanakan hanya dua hari namun dilakukan hingga 14 hari. Hal ini ditengarai menjadi kedok untuk melakukan operasi penumpasan terorisme yang selama ini dijalankan oleh Polri.
Nasrum menyerukan kepada gerakan masyarakat sipil untuk terus melakukan konsolidasi demokratik secara nasional untuk menolak kedua RUU ini. Menurutnya hanya dengan begitu potensi masyarakat sipil utamanya para pekerja HAM menjadi korban kekerasan dan kesewenang-wenangan dapat dihindari, sehingga kehendak reformasi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat benar-benar diwujudkan.