Makassar, 30 Juli 2024. Petani Perwakilan dari 7 Desa di Polongbangkeng Takalar mengadakan Pendidikan Hukum Kritis di Baruga Paralegal (26/7). Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menguatkan perspektif dan pengetahuan warga dalam perjuangan merebut kembali tanah yang puluhan tahun telah dirampas oleh PTPN XIV Takalar. Kegiatan ini merupakan bagian dari memperkuat persatuan dan konsolidasi antar warga, mengingat sejak tanggal 9 Juli 2024 Hak Guna Usaha (HGU) yang dikantongi oleh PTPN telah berakhir.
Melalui Pendidikan ini, Petani merefleksikan kembali perjuangan mereka untuk merebut kembali tanahnya. Masih jelas secara terang ingatan mereka terkait lahan yang telah mereka kuasai secara turun temurun itu mereka garap. Lalu pada tahun 1980-an proses pembebasan tanah dilakukan oleh Pemerintah dengan cara-cara intimidatif, dan memaksa masyarakat untuk menerima ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Awalnya perusahaan bersama pemerintah masuk dengan menyampaikan bahwa lahan tersebut hanya dikontrakkan selama 25 tahun. Hal inilah yang menjadi dasar perjuangan warga untuk merebut kembali tanahnya di tahun 2008 hingga 2014. Namun saat itu HGU masih berlaku sehingga secara hukum Perusahaan masih memiliki hak untuk mengelola. Berangkat dari situasi, kenyataannya meskipun HGU telah berakhir namun tanah warga yang telah dirampas belum dikembalikan. Hal ini yang menjadi latar belakang kenapa pentingnya kegiatan ini dilaksanakan secara bersama.
Terdapat beberapa materi yang didiskusikan secara bersama, dalam hal ini Warga dan solidaritas dari Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) membahas terkait hak konstitusional warga yang dilindungi oleh Undang-Undang, seperti Hak atas Tanah, Hak atas Pekerjaan yang Layak, serta Hak atas Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Melalui materi ini kemudian memperkuat pengetahuan hukum warga terkait hak-hak yang mereka miliki yang dijamin oleh Undang-Undang.
Lebih lanjut Warga juga membahas isu kesetaraan gender dalam perjuangan warga dalam merebut haknya. Warga merefleksi peran-peran krusial dan beban berlapis yang dilakukan oleh Perempuan dalam Perjuangan. Seperti ikut terlibat dalam konsolidasi-konsolidasi yang dilakukan di pertemuan dan rapat warga. Atas situasi tersebut, kemudian disampaikan kepada seluruh peserta pendidikan untuk mengakui dan memahami peran tersebut, sehingga dalam setiap pertemuan atau agenda advokasi yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dapat saling membantu, bahu membahu dalam advokasi sehingga dapat berlaku adil dalam memajukan perjuangan.
Warga juga mendiskusikan terkait sejarah politik agraria di Indonesia, dalam penekanan di forum bahwa terjadi dominasi pengelolaan sumber daya alam oleh kelompok tertentu. Dominasi ini berakibat pada kemiskinan struktural yang dialami oleh mayoritas Petani Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap tanah, atau dipaksa oleh negara untuk dipisahkan dari tanah yang telah mereka garap untuk bertahan hidup.
Berbagai konflik agraria yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh kebijakan negara yang cenderung berpihak kepada perusahaan dan mengabaikan hak-hak warganya. Selain itu secara hukum kebijakan tersebut dilegitimasi oleh negara dari berbagai regulasi yang memudahkan investasi.
Agenda Reforma Agraria yang mestinya bisa merombak struktur tatanan agraria yang lebih berkeadilan juga dijalankan secara manipulatif oleh Pemerintah, yang hanya berbasis pada legalisasi aset, dan mengabaikan penyelesaian dan pengakuan hak terhadap warga yang tengah berkonflik dengan perusahaan baik swasta maupun negara.
Terakhir, Warga bersama GRAMT mendiskusikan pentingnya berorganisasi. Dari pemahaman situasi riil tersebut memunculkan akibat logis organisasi sebagai alat perjuangan petani untuk memperoleh hak-haknya. Tanpa persatuan dan organisasi massa yang kuat dapat membuat perjuangan petani dapat sulit untuk memperoleh hasil berdaulat atas tanahnya. Kesadaran politik yang kuat akan pentingnya organisasi massa petani inilah yang menjadi alat perjuangan bagi petani untuk merebut hak atas tanahnya.
Kegiatan ini diakhiri dengan beberapa kesepakatan, yakni beberapa diantara Warga yang mewakili desa akan kembali melakukan agenda penguatan dan membentuk sebuah forum bersama (organisasi). Termasuk melakukan pemetaan agraria yang dimana akan menjadi bahan menopang agenda kerja organisasi Warga.