
Saat ini DPRD Provinsi Sulsel tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengelolaan Pemerintahan Daerah (TPA). Meski membahas Ranperda yang mengatur tentang penyelenggaran Pemerintahan Daerah yang transparan, partisipatif dan akuntabel, pembahasan Ranperda justru terkesan tidak memberi cukup ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dan memberi masukan.
Draf Ranperda TPA sendiri baru beredar secara terbatas di kalangan organisasi masyarakat sipil pada masa-masa akhir pembahasan Ranperda dimaksud.
Di tengah keterbatasan waktu yang, beberapa lembaga masyarakat sipil, antara lain GIPA, KOPEL Indonesia, ACC Sulawesi, FORLOG, dan LBH Makassar, pada hari Kamis, 20 Mei 2016, mengadakan pertemuan untuk member masukan berupa catatan-catatan kritis atas Ranperda TPA.
Pada pertemuan itu, beberapa hal penting yang menjadi kritikan sekaligus masukan terhadap Ranperda TPA, antara lain:
-
Dalam konsiderannya, Ranperda TPA masih mejadikan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Padahal, UU tentang Pembetukan Perudang-undangan telah diperbaharui dan saat ini berlaku adalah UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
-
Ranperda TPA menjadikan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai rujukan dalam hal partisipasi. Dijelaskan dalam Naskah Akademik Ranperda TPA, secara spesifik, menyebut Pasal 46 Ayat (1) UU No. 20/2003 yang bunyinya “pendananaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat” sebagai model partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara, khususnya dalam urusan pendidikan. Klaim—partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan—partisipasi tsb menjadi tidak relevan, secara paradigmatik, Pasal 46 Ayat (1) UU No. 20/2003 justru memberi ruang bagi masuknya pihak ketiga (dunia bisnis; masyarakat dalam ketegotri UU No. 23/2004 termasuk didalamnya kelompok bisnis) dalam urusan pendanaan pendidikan, dan itu berpotensi memberi legitimasi kepeda negara untuk abai atau setidaknya tidak total dalam tanggung jawabnya sebagai penyelenggara yang mendanai urusan pendidikan;
-
Konsideran Ranperda TPA tidak menjadikan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman sebagai rujukan. Padahal, Ombudsman dengan kewenangannya, merupakan lembaga negara yang straegis dalam urusan pelayanan publik;
-
Prespektif perlidungan perempuan dan anak, sejak reformasi sampai saat ini, telah dan sedang mengalami pengarus utamaan dalam berbagai regulasi. Sayangnya, Ranperda TPA tidak menjadikan UU No.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai rujukan.
-
Prespektif lain yang sedang diarus utamakan saat ini dan diadopsi ke dalam berbagai regulasi adalah afirmasi terhadap disabilitas dan kelompok rentan. Sedangkan dalam dalam Ranperda TPA, hal ini juga tidak menjdai perhatian.
Beberapa hal yang bermasalah dalam pasal-pasal Ranperda TPA antara lain:
Ranperda TPA, Pasal 1 Ayat (2), mendefinisikan pastisipasi sebagi “Partisipasi adalah bentuk keterlibatan orang dalam penyusunan rumusan kebijakan publik, pengawasan dan pemberian informasi atau pendapat”.
Koalisi mengusulkan agar partisipasi tidak sekedar terlibat dalam penyusunan rumusan dan pengawasan, tapi juga harus sampai pada pelaksanaan.
Tujuan Ranperda TPA, Pasal 3, adalah:
- Mewujudkan keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang responsif, akomodatif, aspiratif dan antisipatif atas dinamika dan perkembangan lokal, regional, nasional dan global.
- Mewujudkan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang produktif, konstruktif dan unggul.
- Mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang akuntabel.
- Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efisien dan efektif.
Jika diurai berdasarkan tujuan pembentukan Perda Transparansi, Parstisipasi dan Akuntabel, maka keempat tujuan tsb mencerminkan tujuan yang hanya berada pada ranah pemerintahan daerah saja, yang dalam Ranperda ini pengaturannya dirumuskan pada materi muatan tentang Transparansi dan Akuntabilitas. Tetapi tujuan yang berada pada ranah masyarakat sipil tidak tergambar dalam tujuan yang materi pengaturannya akan dirumuskan pada ruang lingkup pengaturan tentang Partisipasi.
Oleh karena itu, rumusan tujuan pembentukan Perda ini yang terkait dengan “Partisipasi” perlu ditambah, misalnya:
- Mewujudkan peran serta masyarakat dalam urusan Pemerintahan Daerah; atau,
- Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil; atau,
- Membangun sistem pemerintahan melalui kemitraan strategis antara masyarakat sipil dengan Pemerintah Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; atau,
- Dan lain-lain rumusan tujuan yang terkait dengan partisipasi masyarakat.
Tujuan Ranperda TPA, Pasal 4:
Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas Pemerintahan Daerah berasaskan:
- kepentingan umum;
- ketertiban dan kepastian hukum;
- kesamaan hak;
- keseimbangan hak dan kewajiban;
- keprofesionalan;
- Kecermatan;
- keserasian dan keselarasan;
- persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
- ketepatan waktu, dan;
- kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sedangkan kesetaraan gender dan aksesibilitas tidak dijadikan tujuan. Maka Koalisi Masyarakat Sipil memberi memberi input berupa panambahan 2 point: k. Kesetaraan gender; dan l. Aksesibilitas
Kewajiban pemeritah, Pasal 12. Ada 7 point tanggung jawab Pemda yang disebutukan dalam pasal 12. 2 di antara ke-7 point, yakni point
- Menumbuhkembangkan semangat transparansi;
- Menyampaikan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala.
Koalisi mengusulkan, point 1 diganti sehingga bunyinya: Menyediakan sarana yang mudah diakses publik guna memperoleh informasi dengan cara yang mudah dan layak; 2: Tidak memberikan informasi yang dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan, anak, dan kelompok rentan.
Hak Msayarakat, Pasal 25. Pada pasal ini, hak masyarakat diatur menjadi 7 point seperti hak menyampaikan pendapat, saran, dst..
Koalisi mengusulkan agar selain hak-hak yang diatur dalam 7 point itu, ditambahkan 1 point dengan redaksi: “Masyarakat berhak menolak suatu kebijakan atau rencana kebijakan yang tidak transparan, partisipatif dan akuntabel dan/atau tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Kewajiban Pemerintah Daerah, Pasal 26. Ada 7 point yang mengatur tentang kewajiban pemerintah daerah. Point ke-6 mengatakan: Mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Point tsb, oleh koalisi, diusulkan diganti sehingga menjadi:
- Mengakomodasi dan mengimplementasikan minimal 30% masukan dari masyarakat sesuai kepentingan masyarakat secara umum.
- Memastikan minimal 30% Partisipasi perempuan dalam seluruh tahapan proses perencanaan perumusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan publik.
- Memastikan keterlibatan aktif kelompok rentan dalam seluruh tahapan proses perencanaan perumusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan publik.
- Memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sehingga dapat berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam proses perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan public.
Selain beberapa pasal yang kritik dan diusulkan untuk diubah sebagai di atas, secara umum, dalam hal transparasi dan akuntabilitas, Ranperda TPA hanya meng-insert sebagian besar ketentuan yang ada UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan untuk Catatan partisipasi, model yang ditawarkan masih sebatas partisipasi formal-konvensional seperti Musrembang, Rapat Dengar Pendapat, dan sejenisnya yang selama ini justru prakteknya bermasalah.
Catatan kiritis dan usulan dari Koalisi Masyarakat Sipil ini rencananya akan diserahkan langsung kepada DPRD Provinsi Sulsel.
Penulis : Moh. Alie Rahangiar (APH LBH Makassar)
Foto : KOPEL Indonesia
Reportase lain terkait kegiatan : Bahas Ranperda TPA, LSM di Sulsel Gelar Pertemuan
Comments
No comment yet.