Memahami Perjuangan Demokratik Perempuan

Makassar – Gerakan perempuan saat ini sangat jauh mundur dibanding gerakan perempuan sebelum 1966, dimana gerakan itu murni untuk memajukan perempuan dan terbebas dari belenggu kapitalisme yang menghisapnya.
Berbagai peraturan perundang-undangan masih mencantumkan banyak kebijakan yang mendiskriminasi perempuan berdasarkan norma-norma, adat istiadat/kebiasaan dan prasangka sosial budaya. Walau perempuan punya peran penting dalam kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat serta kontribusi bagi pembangunan, namun mereka telah dikucilkan dari kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya serta proses pengambilan keputusan, yang bagaimanapun juga menentukan pola kehidupan mereka sehari-hari dan menentukan masa depan masyarakat.
Pengucilan itu telah membungkam suara perempuan dan membuat kontribusi serta pengalaman mereka tidak tampak. Sering kali pandangan mainstream menilai nahwa perempuan yang dikekang hak-hak demokratiknya cenderung mambatasi diri untuk berekspresi dalam sistem demokrasi. Sementara dalam konstitusi tidak ada hal yang membenarkan bahwa ada perbedaan antara hak hak demokratik perempuan dengan laki laki.Demokrasi yang sejati selalu berkomitmen terhadap pembebasan kaum perempuan, bahwa tidak ada demokrasi tanpa pemenuhan terhadap hak hak demokratik perempuan.
Demikian pula dengan politik feminismenya, politik feminisme yang dijalankan sangat liberal “bebas tanpa batasan”.Dalam pandangan feminisme khususnya feminisme radikal dan liberal, didalam kehidupan bermasyarakat yang menjadikan perempuan tertindas dan menjadi klas kedua, itu adalah laki-laki, yang kemudian disebut Partiaki (kekuasaan laki-laki) dan hal ini telah dimapankan oleh negara. Dimana laki-lakilah yang berkuasa dan perempuan tunduk pada kekuasaan laki-laki atas legitimasi negara. Bahkan sebagai manusia perempuan tidak punya hak akan tubuh dan seksualitas mereka sendiri, maka dari itulah landasan mereka untuk berjuang, memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan mengakhiri kekuasaan laki-laki terhadap dirinya.
“Namun, Demokrasi tidak dapat memandang penindasan terhadap perempuan, dengan menjadikan laki-laki sebagai “rival” yang harus perempuan kalahkan agar dapat “bebas merdeka”, kata Bustamin Tato dari departemen pendidikan KP SGMK.
Dalam demokrasi, kita meletakkan persoalan penindasan perempuan dalam persoalan “perampasan atas hak-hak demokratik”. Mengapa demikian? Menurut pandangan demokratik, penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan muncul dari tidak tercapainya kesetaraan antara perempuan dan laki laki, yang hal ini muncul karena tidak tercapainya pemenuhan hak-hak demokratik khususnya hak-hak demokratik perempuan. Ketidaksetaraan ini telah di perkuat oleh tingkat partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan politik. kebijakan yang dirancang dan keputusan yang diambil hanya oleh laki-laki, tidak mencerminkan makna dari demokrasi yang sejati.
Dengan begitu perempuan yang terlibat dalam gerakan perempuan saat ini perlu merangkai dan merakit kembali pandangan dan kemampuan juangnya agar mampu keluar dengan sebuah ide dan keyakinan yang berjangka panjang: Segala bentuk penindasan harus di hancurkan!
Komite Persiapan Sentra Gerakan Muda Kerakayatan (KP-SGMK) Sulsebar telah menyelenggarakan Pendidikan Perempuan, 15 sampai 16 Agustus 2015, yang bertempat di : Jln. Beringin Timur Setapak XI, Kelurahan Kassi-kassi yang juga merupakan Baruga Paralegal LBHMakassar yang di ikuti sekitar 20 peserta.
Menurut Charis Munandar selaku panitia pelaksana, pendidikan perempuan ini pada umumnya bertujuan untuk membangkitkan kembali gerakan muda khususnya perempuan agar memilki visi dan program perjuangan yang jelas. “Secara khusus kegiatan ini juga merupakan langkah awal untuk merangkai, merakit, dan memasifkan kembali organisasi dan gerakan kedepan dalam menuntut pemenuhan hak-hak demokratik perempuan”,tegas Charis.
Selama pendidikan berlangsung, para peserta yang juga selaku anggota KP-SGMK sendiri yang berasal dari beberapa organisasi yaitu FMD Makassar, KOMPAK Pangkep, GPMD Pare-pare, SERGAP Polman, serta GPMM Majene, sangat antusias. Bagaimana tidak, karena dalam pendidikan tersebut memberikan pendidikan yang dikhususkan untuk anggota perempuan SGMK Suselbar,namun tidak membatasi laki-laki sebagai peserta, dan dalam pendidikan perempuan ini jelas lebih banyak mengangkat isu-isu perempuan, terutama seputar hak hak demokratik perempuan. Dampaknya, acapkali terjadi perdebatan sengit diantara peserta laki-laki dengan perempuan.
Selama pendidikan ini, KP SGMK Sulsebar menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, seperti aktivis buruh perempuan GSBN-SGBN, Farida dan Azniaty. Keduanya dihadirkan untuk memberikan testimoni mengenai pengalaman keterlibatan mereka dalam perjuangan buruh, termasuk beberapa kondisi buruh perempuan yang selama ini terabaikan, misalnya, buruh perempuan kerapkali mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, perlindungan atas hak-hak normatif buruh juga masih sering diabaikan oleh pengusaha, seperti cuti haid, dan lainnya.
Beberapa narasumber lain yang dihadirkan pula yaitu Nurjannah dari SP Anging Mammiri, yang membawakan materi hak-hak demokratik perempuan, Aulia Susantri dari LBH Makassar yang membawakan materi advokasi kasus perempuan, serta Videlya Esmerella dari KPO PRP Makassar yang membawakan materi asal usul penindasan perempuan dan aliran-aliran dalam gerakan feminisme.
Dengan terlaksanakannya pendidikan perempuan ini diharapkan mendapat beberapa capaian yang memajukan bagi gerakan kaum muda, khususnya perempuan. Diantaranya, terbangunnya cara pandang dalam melihat masyarakat dan melihat peran perempuan di dalamnya. Memahami tentang hak-hak demokratik perempuan dan apa yang harus diperjuangkan. Terbangunnya kemampuan juang kaum muda dalam berbagai lapangan perjuangan demokratik perempuan.[Muh Fajar Akbar]
Comments
No comment yet.