MAKASSAR – Kontras Sulawesi dengan dukungan LBH Makassar memulai penyelenggaraan Pendidikan Kawan HAM (PeKa HAM). Pendidikan yang rencananya akan dilaksanakan selama 10 hari ini dibuka secara resmi di Baruga Paralegal, Rabu 20 Mei 2015. Kegiatan pembukaan diisi dengan dialog publik yang menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Zulkifli Hasanuddin LBH Makassar), Zulhair Burhan (akademisi Unibos 45) serta Nasrum (Kontras Sulawesi) dan dihadiri oleh sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM dari berbagai organisasi, juga 20 mahasiswa peserta PeKa HAM yang berasal dari berbagai kampus di Makassar dan daerah lain seperti Sinjai.
Selain dialog publik, kegiatan pembukaan PeKa HAM ini juga diisi testimoni dari korban pelanggaran HAM. Korban pelanggaran HAM dari kasus sengketa lahan masyarakat Kassi-Kassi melawan salah seorang pengusaha besar di kota Makassar, Daeng Musu’ mengungkapkan bahwa masyarakat di wilayah kota memang sangat rentan dengan perampasan hak-hak, terutama karena harus berhadapan dengan penguasa modal yang seringkali mendapat dukungan penuh dari penguasa negara. Oleh karena itu, untuk mempertahankan hak-haknya, masyarakat membutuhkan dukungan yang besar dan luas dari kawan-kawan aktivis. “Kunci bagi kemenangan perlawanan rakyat melawan upaya perampasan hak oleh pengusaha dan penguasa adalah persatuan, dan meski perjuangannya sangat berat, tapi kita sudah pernah membuktikan bahwa kemenangan rakyat kecil, bukan hal yang mustahil,” tegas Daeng Musu’ dengan berapi-api.
Pada sesi diskusi, Zulkifli Hasanuddin dari LBH Makassar menyoroti mandeknya kasus-kasus pelanggaran HAM. Political will dari pemerintah masih sebatas lip service, tanpa implementasi konkrit di lapangan. “Kita bisa lihat juga, misalnya pengadilan HAM yang ada di Makassar yang dibentuk atas amanah UU 26 Tahun 2000 setelah sekian lama, baru sekali difungsikan, itu pun kasus abepura dan hasilnya pun melukai rasa keadilan”, jelas Zulkifli. Dia juga menambahkan bahwa kurang berfungsinya pengadilan HAM menjadi hal yang kontras bila kita menyaksikan banyaknya kasus kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan baik secara langsung maupun berupa pembiaran oleh negara.
Sementara Zulhair Burhan menyoroti bagaimana wacana HAM memang harus dibumikan dan diluaskan ke seluruh kalangan, termasuk mahasiswa. Kampus harus membangun kultur HAM dalam konten kurikulum pengajarannya. Narasumber yang biasa disapa dengan panggilan Boby ini mengatakan, “Selama ini ada kesan bahwa wacana HAM hanya milik kelompok-kelompok tertentu saja yang berasal dari kaum intelektual dan kelas menengah ke atas. Bahkan wacana HAM cenderung dipolitisasi oleh elit”. Oleh karena itu, menurut Boby sudah seharusnya pihak kampus mengapresiasi bahkan mendukung keterlibatan mahasiswanya dalam mengikuti pendidikan HAM seperti yang dilaksanakan oleh Kontras dan LBH Makassar.
Wakil Koordinator Kontras Sulawesi Nasrum mengungkapkan bahwa untuk membumikan wacana dan perjuangan HAM, dibutuhkan penyatuan elemen-elemen gerakan, termasuk mahasiswa yang selama ini dikenal sangat aktif dalam bergerak. “Itulah mengapa tema yang diusung dalam PeKa HAM ini adalah gerakan kolaboratif”, jelas narasumber yang akrab disapa Accunk ini. Dalam 10 hari ke depan, para peserta PeKa HAM, selain mendapatkan materi-materi dasar HAM di kelas, mereka dijadwalkan akan live in di basis-basis masyarakat petani di Takalar yang saat ini sedang menghadapi konflik agraria dengan PTPN XIV.
Kegiatan pembukaan PeKa HAM ini diakhiri dengan testimoni korban. Korban pelanggaran HAM melakukan testimoni adalah bapak Gultom, salah satu warga Mariso yang menjadi korban pelaksanaan kegiatan reklamasi yang digencarkan beberapa tahun terakhir di pesisir Makassar. Purnawirawan TNI ini memaparkan bahwa penolakan kebijakan pemerintah seperti yang pernah dilakukannya bersama purnawirawan TNI yang menolak pengosongan rumah dinas, memang mengandung resiko yang sangat besar. “Saya sudah pernah merasakan bagaimana intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui anggota TNI dan Satpol PP. Bahkan saya mendapatkan luka sabetan senjata tajam di bagian wajah dan badan. Ironisnya, kasus yang murni pidana tersebut, tidak pernah mendapatkan penyelesaian yang berkeadilan dan berkepastian hukum”, terang bapak Gultom. Dia merasa bersyukur bisa hadir dan dipertemukan dengan anak-anak muda yang masih memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah HAM yang kerapkali dilanggar oleh para penguasa dan pemilik modal. Ke depan, bapak Gultom mengharapkan agar semua pihak yang berpartisipasi dan mendukung kegiatan ini, dapat bahu-membahu berjuang bersama demi mempertahankan hak-hak masyarakat, khususnya yang miskin dan tertindas.
Laporan: Muh Fajar Akbar
Sumber Gambar: Tribun Timur/Darul Amri