Konflik berbasis Agraria hingga saat ini masih terus dialami oleh para petani. Mereka diperhadapkan pada kekuatan kekuasaan Negara yang dengan sepihak mengambil dan mengeksekusi secara paksa lahan-lahan yang sedang telah diolah oleh para petani. Di lain sisi, konflik agraria juga muncul akibat persoalan lama terkait Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh Perusahaan BUMN dimana masa HGU tersebut telah selesai dan sepatutnya lahan tersebut dikembalikan kepada para petani. Demi merebut dan mendapatkan hak-haknya, para petani berjuang dengan membentuk organisasi berbasis dan digerakkan oleh kaum tani.
Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar adalah organisasi massa tani yang berpusat di Kecamatan Polongbangkeng Utara, kab. Takalar, Sulawesi Selatan, dalam perkembangannya telah menghimpun sekitar 1.098 KK anggota yang tersebar beberapa desa yakni desa Barugaya, Ko’mara, Timbuseng, Massamaturu, Kampung Beru, Lassang Barat, Towata, Parangluara, Parang Ba’do, Moncongkomba dan Cakura. Kemunculan STP Takalar tak dapat dilepas dari hadirnya konflik agraria antara petani di Polongbangkeng dengan Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN) XIV. Konflik tersebut berawal dari pengambilalihan lahan dalam bentuk sewa menyewa (kontrak) selama 30 tahun sejak 1978 dan sudah seharusnya dikembalikan kepada para petani di tahun 2007-2008, namun hingga saat ini PTPN XIV tetap mempertahankan penguasaan dan pengolahan lahan dengan alasan memegang bukti HGU dan HGB, yang secara formal akan berakhir di tahun 2023-2024.
Situasi ini menimbulkan kondisi terpuruk bagi para petani, yang mana setiap saat dapat mengalami ancaman/ intimidasi dan bentuk kekerasan lain di saat para petani melakukan upaya strategi merebut haknya atas lahan tersebut.
Pada Oktober tanggal 26-28 2015, LBH Makassar bersama AGRA Sulawesi Selatan dan STP Takalar melaksanakan Pelatihan Resolusi Konflik bagi para petani yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng Takalar. Kegiatan ini umumnya bertujuan untuk mendorong adanya diseminasi pengetahuan terkait hak dasar petani baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta segala bentuk pelanggaran yang memungkinkan terjadi. Selain itu, guna mendorong petani menemukan potensi dan inisiatif penyelesaian kontrakdiksi/ pelanggaran melalui kemampuan negosiasi; tidak luput sebagai upaya memperluas jaringan kerja advokasi bagi STP Takalar demi upaya advokasi dan kampanye upaya penyelesaian konflik agraria yang dialami saat ini.
Kegiatan ini dihadiri oleh 27 petani yang merupakan pimpinan kolektif STP – Takalar, Pimpinan Ranting/BPR dan anggota yang dianggap memiliki kemampuan memimpin organisasi dan telah direkomendasikan oleh pimpinan kolektif STP Takalar. Sementara itu, kegiatan ini difasilitasi oleh Adam Kurniawan dengan menghadirkan Ismar Hamid, Budianto, Muhammad Harisah, dan Asyari Mukrim sebagai narasumber kegiatan.
Di hari pertama, Ismar Hamid menjabarkan faktor-faktor yang menentukan terjadinya konflik, bentuk dan kondisi konflik yang terjadi saat ini serta berbagai model resolusi konflik yang dapat ditempuh. Di hari kedua, Budianto memaparkan mengenai negosiasi dan tahapan kerjanya. kegiatan ini dibarengi dengan simulasi negosiasi yang dilakukan oleh para petani (peserta). Sementara itu, Muh. Harisah memberi pengenalan terkait situasi dan ancaman dalam konflik agraria serta membuat skema mitigasi. Kemudian dilanjutkan dengan merancang isu dan bentuk kampanye yang dibawakan oleh Asyari Mukrim.
Di hari ketiga, Adam Kurniawan mengajak para petani untuk bersama-sama menyusun Modul Resolusi Konflik Agraria Berbasis Organisasi Tani STP Takalar. Kegiatan ini kemudian ditutup dengan latihan pendokumentasian secara sederhana.
Kegiatan ini melahirkan beberapa hal, diantaranya mendorong pola kemitraan antara para petani (STP Takalar) dengan pihak perusahaan perkebunan tebu (PTPN XIV); membentuk tim penyelidikan sosial guna mendapatkan analisa konkrit terkait kondisi yang terjadi; membentuk tim pendokumentasian dalam organisasi STP Takalar.
Dari kegiatan ini, para petani dan organisasi STP Takalar menyadari pentingnya bekerja secara kolektif dan perjuangan hak atas tanah bukanlah perjuangan yang mudah, serta organisasi haruslah dibangun dengan kuat sebagai wadah perjuangan kaum tani.
Comments
No comment yet.