
Pemutaran film dokumenter berjudul Sexy Killers produksi Watchdoc Documentary Serial ekspedisi Indonesia Biru berlangsung di Rumah Independen AJI Makassar, Jl. Toddopuli VII No. 23A Kota Makassar.
Nonton bareng dan diskusi pada Rabu 10 April 2019 ini sebagai pemantik Edy Kurniawan Wahid selaku kepala divisi tanah dan lingkungan LBH Makassar dan Irwan AR selaku jurnalis dan pekerja seni dan Rahmat Hardiansya selaku moderator. Selain di Makassar, Nonton bareng ini di laksanakan juga diberbagai Kota di Indonesia.
Semua orang penasaran, sexy killer itu apasih? Secara keseluruhan menurut Rahmat Hardiansya film ini merupaka salah satu film dokumenter yang dimiliki Dandy Laksono. Sebagai karya jurnalistik video ini bercerita banyak hal tentang Prabowo Sandi dan Jokowi Ma’ruf.
Irwan AR mengatakan, film dokumenter yang saya ketahui bahwa selalu kita mengarah kepada pengertian sederhana yaitu merepresentasikan kenyataan tanpa sebuah settingan. Sebagai sebuah karya seni, membutuhkan komponen dan judul yang menarik.
“Film ini memberikan gambaran estetika, menjelaskan industri pariwisata kita yang bergantung pada listrik. Menjadi pertanyaan, kenapa opening dalam film ini memperlihatkan sepasang suami istri yang sedang berbulan madu, kemudian memberikan penjelasan tentang pemakaian yang digunakan pada laptop, hair dryer dan sebagainya,” kata Irwan AR.
Opening tersebut menguatkan pesan pada film sebelum masuk bercerita pada proses penambangan batubara sampai listrik yang masuk keruangan pribadi kita. Sebagai seorang latar belakang jurnalis. Film ini sangat menarik untuk di pahami. Seperti membaca sebuah feature dan laporan panjang dan melampirkan sebuah barang bukti.
Irwan Ar menambahkan, film ini menjelaskan sebuah peristiwa tambang batubara.
Film ini akan memberi dampak langsung kepada orang yang menontonnya. Berpikir ulang dalam menggunakan hak pilih, atau hal terbesarnya adalah boikot pemilu, itu adalah propoganda.
“Film Sexy Killer menjadi alami bahkan mengambil beberapa potongan-potongan wawancara. Komplit dan punya alur cerita punya opening seperti membuat lead dalam feature. Kemudian didalamnya komplit ada sarkartis, ironi, eligi, dan itu diatur sedemikian rupa salah satunya adalah saya sangat terpukul dengan kasus dan cerita yang ditutup dengan pemakaman perempuan tadi,” ujarnyanya.
Kita melihat bagaimana human interest itu dibangun dengan apik dengan gambar-gambar. Sexy killer menwarkan optimisme, bahwa kita tidak harus bergantung kepada batubara dan ada energi terbarukan. Namun kita busa membuat aksi-aksi kecil dalam melawan hal tersebut.
“Sebagai seni adalah sekumpulan semoitika yang ingin kita pecahkan dan saya merasa mas Dandy sedang memikirkan konotasi dalam filmnya yang tidak dibicarakan. Bagaimana menjadikan tata surya sebagai opsi pengganti listrik. Opsi terhadap pilihan politik kita,” tambahnya.
Rahmat Hardisnya selaku moderator mengatakan, ini merupakan salah satu film dokumenter karya jurnalistik.
Pada film ini menjelaskan bagaimana tokoh di Sulsel terlibat dalam industri pertambangan nasional.
Edy Kurniawan megatakan, poin yang disampaikan dalam film ini terkait isu sumber daya alam. Kami dari LBH Makassar dan masyarakat sipil, sangat mengaspresiasi film ini karena momentumnya sangat tepat. Karena di tengah hiruk pikuk Pemilu demokrasi yang seolah-olang semua pengertian publlik itu mengarah pada peraturan demokrasi ini.
Film ini menghadirkan pendekatan yang lain. Ada ternyata opsi pilihan lain selain menu-menu politik atau demokrasi yang ditampilkan melalui konten demokrasi atau demokrasi liberal.
Menurut Edy, dalam film ini terdapat lima isu yang disampaikan. Pertama, mengenai politik demokrasi, ditampilkan debat pilpres dan siapa orang dibelakang calon presiden itu.
Kedua, isu penegakan Hukum dan HAM, misalnya beberapa petani yang ditangkap dikriminalisasi karena melawan pembangunan batu bara hingga perampasan lahan dan sebagainya.
Ketiga, ada isu lingkungan hidup, ditampilkan banyak kerusakan terumbu karang dan pohon kelapa dan lain sebaginya.
Keempat Isu agraria, batu bara ini berdiri atas kepemilikan diatas Hak Guna Dana Usaha (HGU), disinggung juga dalam debat pipres mengenai kepemilikan HGU atau kelompok oligarki yang menunggangi calon presiden ini.
Kelima, adalah Isu energi tenaga listrik, dimana tadi kelompok oligarki yang menguasai energi di Sulsel. Salah satunya adalah Kalla group.
Edy Menambahkan, mengenai politisi demokrasi, saya teringat dengan tulisan Jeffrey A. Winters tahun 2011, judul buku ologarki.
Dalam buku itu menerangkan bahwa hampir seluruh negara didunia yang menerima konsep demokrasi liberal dalam prosesnya itu ditungangi atau diperuntukkan oleh kelompok oligarhi.
“Kelompok oligarki yang menguasai hajat hidup orang banyak. Tambang batubara, HGU dan sebagainya. Yang ditampilkan dalam film ini hanya sebagian kecil saja. Hanya sektor batubara. Belum ditampilkan mengenai group Sinar Mas, Lippo Group di NTB, mafia reklamasi, mafia properti, kalau semua ditampilkan akan lebih heboh lagi,” ujarnyanya.
Cara bekerja kekuatan oligarki ini adalah dengan menjual demokrasi, menggadaikan atau membajak demokrasi. Sederhana alat hukumnya di Indonesia. Beberapa pakar politik hukum misalnya Mahfud MD, mengurai ada empat pilar demokrasi yaitu legislatif, eksekutif, yudikaif dan partai politik peradilan dan yang kelima menurut Edy adalah kelompok sipil society. Tapi itu tidak luput dibahas oleh pakar-pakar ahli hukum.
“Kita bisa menyalami 4 pilar demokrasi ini, siapa yang menguasai partai-partai? tidak ada satupun konglomerat didalamnya. Semua terafiliasi dengan kekuatan-keuatan yang temanya disebutkan diatas tadi. Pertarungan kekuasaan yang didominasi oleh kelompok oligarki ini semakin menutup ruang kelompok sipil untuk bertarung dalam kekuasaan,” tambah Edy.
Isu yang kedua mengenai penegakan hukum dan HAM. Ini sangat kental juga ditampilkan didalam film. Begitu nyata kita saksikan hukum tajam kebawah dan tumbul keatas.
“Ini masih berlaku dalam konteks tambang batubara dan PLTU. Misalnya Marjuri atau siapa tadi di vonis 3 bulan penjara karena melawan pembangunan batubara,” kata Edy.
Sebaliknya diterangkan di dalam film ini ada kurang lebih dari 50 perusahaan yang selalu lolos, dari jeratan hukum. Ini merupakan bukti bahwa tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Apa yang menyebabkan penegakan hukum seperti itu, karena cara kerja kelompok-kelompok oligarki. Kelompok oligarki ini melakukan penetrasi pada sistem regulasi. Semua undang-undang bahkan sistem peradilan dimasuki.
Misalnya ada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Semua tanah-tanah yang akan dibanguni oleh PLTU. Jadi mereka tafsirkan bahwa PLTU adalah kepentingan umum karena energi. Energi ini untuk kemeslahatan orang banyak.
Dari kepentingan umum ini, memaksa para petani untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi. Misalnya di Takalar ada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Harga permeter dinilai 2500 rupiah.
Begitupun di Gowa, ada tiga orang divonis penjara satu tahun dua bulan karena melawan pembangunan PLTA. Ini ganjaran dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menghadang pembangunan PLTU atau garis pokoknya adalah energi.
Sebaliknya hampir semua kelompok-kelompok masyarakat sipil, Baik energi uap ataupun energi air dan lain sebagainya. Menggugat kepengadilan hampir 100 persen selalu lolos orasinya. Kenapa, karena sistem hukum kita belum mengatur secara detil tentang bukan korporasinya tetapi bawaan.
Kemudian masuk kepada penegakan HAM, di tahun 1986 dan HAM PBB sadar bahwa salah satu aktor yang bertanggungjawab terhadap pelanggar HAM adalah korporasi.
Negara adalah satu-satunya yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM, tetapi karena adanya penaggaran HAM secara pasif, misalnya ada perampasan lahan, lingkungan dan sebagainya. Sehingga pada 1966 mengeluarkan resolusi yang memposisikan korporasi sebagai aktor pelanggar HAM yaitu negara dan korporasi.
“Dasarnya sederhana karena tindakan-tindakan korporasi dampak sistematis dan masif. Tadi ditampilkan selain tanahnya dirampas, mata pencaharian dan bahkan ada yang meninggal. itu dampak masif dan sistematisnya,” ujar Edy.
Sehingga korporasi dinyatakan sebagai aktor pelangar HAM. Jangankan Indonesia PBB saja belum mampu melanggar korporasi secara hukum. Selau lolos, sehingga PBB belum mengeluarkan norma hukum yang mampu menjerat korporasi secara kelembagaan. Yang ada selama ini individu yang bertanggungjawab.
Korporasi ini gampang berpindah-pindah misalnya tadi ada kurang lebih 50 lubang tambang. Korporasi gampang berpindah, misalnya kalau korporasi sudah ditarget oleh lembaga hukum maka mereka akan pindah secapatnya dan mengangkut semua asetnya keluar negeri. Sehingga tidak bisa lagi dijerat oleh hukum.
“Itulah susahnya menjerat korporasi secara hukum dan HAM. Namun belakangan ini ada konsep bisnis dan HAM yang menyasar korporasi. Tapi prinsipnya bukan mengikat secara hukum. Namun menyasar koorporasi itu berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia,” kata Edy.
Edy Menambahkan, prinsip pasar misalnya Ada standar iso 2000 jadi semua korporasi harus menerapkan ISO 2000.
Standar HAM misalnya dalam menghasilkan produk energi batubara atau sawit itu tidak boleh mengekploitasi buruh, tidak boleh merampas lahan petani dan tidak boleh merusak lingkungan.
Pertanyaannya adalah kalau korpirasi tidak melakukan itu dampaknya apa? inilah yang menjadi mandat NGO lingkungan misalnya Greenpeace dan Walhi. Mandatnya adalah melakukan kampanye terkait isu lingkungan.
Terkhusus pasar Eropa mulai mengkampanyekan semua produk-produk perusahaan pelanggar HAM, lingkungan itu tidak diterima oleh pasar eropa.
Terakhir 2016, misalnya sawit, dewan Eropa mengatakan bahwa tidak menerima sawit dari Indonesia karena sawit Indonesia terindikasi melanggar HAM. Makanya gelisah aktor-aktor sawit di Indonesia.
Paling tidak korporasi pelanggar HAM bisa dijerat dengan begitu melalui mekanisme pasar. Apabila tidak menerapkan ISO 2000 maka produknya tidak akan laku.
Dulu kita mengenal berdarah, bagaimana ikan-ikan diproduksi dari perbudakan nelayan. Itu dikapanyekan dipasar internasional. Sampai sekarang pendekatan Naming shaming itu menjerat beberapa korporasi meskipun belum secara keseluruhan. Masih banyak korporasi yang nakal.
Isu ketiga mengenai lingkungan, lingkungan yang paling parah terutama mengenai perizinan, amdal dan izin lingkungan. Dalam perizinan lingkungan ada dikenal dengan amdal lalu lintas, seharusnya lintasan kapal itu juga punya amdal.
Tapi dibeberapa perusahaan, misalnya di Sulsel tambang pasir laut, reklamasi dan lain sebagainya, jarang mengantongi izin atau amdal lalu lintas. Karena saat ini amdal hanya sebagai formalitas.
Isu mengenai agraria hak milik atas tanah. Hak tertinggi adalah HAK milik, salah satunya adalah hak atas tanah dan hak atas tempat tinggal. Ketika Hak ini dilanggar ini akan berdampak sistemis pada Hak-hak yang lain.
Misalnya ketika hak tanah dirampas akan berdampak pada hak atas pekerjaan, hak atas mata pencaharian, berdampak pada hak pendidikan, tempat tinggal. Semua pelanggaran ini akan berdampak pada kualitas hidup manusia dan kualitas akan semakin menurun. Atau namanya hak atas kehidupan yang layak.
Menurut Edy, film Sexy Killer sangat nyata penampakan pelanggaran HAM-nya. Terutama dari sisi penanganan agraria. Tanahnya dirampas. Transmigrasi adalah beban pembangunan misalnya dari Jawa pindah ke Bali. Karena akan ada pembangunan, justru di Bali akan dihadapkan dengan pembangunan juga.
“Di Sulsel juga saya pernah mendampingi tenaga transmigrasi. Dari jawa yang punya profesi petani dikasih pindah ketanah keke di Takalar, yang otomatis tidak bisa bertahan hidup disana. Karena susah melaut sehingga di Takalar banyak penjual bakso,” ujarnya.
Itulah situasi kebijakan pembangunan saat ini, jadi tidak memperhitungkan aspek agrarianya, aspek lingkungan dan sosial ekonomi. Ini adalah mengenai ketimpangan lahan, ini sama saja bahwa kelompok oligarki ini melakukan penetrasi pada wilayah hukum.
Lebih lanjut Edy menjelaskan tentang undang-undang agraria nomor 5 tahun 1990 yaitu syarat pemilikan HGU paling alam 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. Undang-undang baru nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal itu diubah, pemberian HGU diberikan selama 60 tahun. Dan dapat diperpanjang selama 90 tahun. dapat diperbaharui selama 40 tahun.
Itulah cara kerja oligarki. Masuk pada level perundangan masuk pada level sistem peradilan, legislatif bahkan eksekutif. kalau semua pilar demokrasi dibajak oleh pilar demokrasi itu, kira-kira apa yang mesti kita lakukaan.
Apabila masyarakat sipil tidak kuat maka jaringan mahasiswa, miskin kota, buruh, petani, NGO tidak menyatu siap-siap saja akan bersaing dengan kelompok fasis. Misalnya kita melihat sendiri pertarungan capres ini katanya diperhadapkan pada kekuatan sipil dengan militer.
“Yang saya tangkap dari film ini menghadirkan pendekatan baru terhadap situasi politik hari ini. Paling tidak kita bisa membaca bahwa dimana kelemahan kita sebagai masyarakat sipil dan ancaman apa yang nyata dihadapn kita. Apakah ancaman kembalinya orde baru atau ancaman kepada kelompok oligarki ini, yang membawa ide lewat liberalisme,” kata Edy.
Yang kita bisa lakukan kembali melakukan konsolidasi jurnalis dan konsolidasi degan masyarakat sipil. Karena keuatan kita hanya bertumpu pada solidaritas masyarakat sipil.
Rahmat hardiansya menambahkan, melihat isu menarik dari film ini bahwa ada dampak dari PLTU yaitu tidak ada penelitian akademik yang independen terkait dampak dari tambang batubara.
Nurdin Amir selaku ketua AJI Makassar mengatakan, film dokumenter ini membuka lebih jauh mata kita tentang bisnis pertambangan batubata dan bisnis pembangunan PLTU di Indonesia.
Bagaimana bisnis batubata dan pembangunan PLTU memberi dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan di Indonesia.
“Film ini juga memberikan gambaran terkait para aktor yang berada dibelakang bisnis raksasa ini dan bagaimana posisi mereka dalam kontestasi Pemilu. Film ini mengajak masyarakat berpikir cerdas terkait pilihan politiknya. Bahwa persoalan bangsa hari ini bukan hanya masalah perebutan kekuasaan. Dan bagimana melihat masalah sosial dan oligarki yang bermain dalam kontastasi politik. Semoga memberikan kecerdasan bagi masyarakat,”ujar Nurdin.
*Sebelumnya Berita ini telh dimuat di Media Online alagraph.com edisi 11 April 2019
Comments
No comment yet.