
Jakarta, 9 September 2015. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 3 (tiga) LBH kantor wilayah, pada tahun 2015, telah melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan paralegal lewat “Sekolah Paralegal” secara serentak di Padang, Yogyakarta dan Makassar. Penyelenggaraan Sekolah Paralegal ini dibentuk dengan standar kompetensi (metode dan kurikulum), subjek atau materi ajar, skema pengajaran, serta pengajar yang sudah disesuaikan dengan kondisi lokalitas dan kebutuhan advokasi berbasis bantuan hukum. Guna mengevaluasi dan merumuskan indikator-indikator yang dapat memfasilitasi terlaksananya sekolah paralegal dengan lebih baik agar selanjutnya dapat membentuk paralegal yang lebih berkualitas dan berkapasitas sehingga peran dan fungsi paralegal dapat mencapai standar kualitas yang memadai sesuai amanat UU Bantuan Hukum dan prinsip-prinsip perjuangan bantuan hukum struktural LBH.
Keterbatasan pemberi bantuan hukum terkait permasalahan jumlah ketersediaan advokat dan jarak pada wilayah perkara, menyebabkan kehadiran paralegal menjadi penting. Namun dalam menjalankan perannya, paralegal harus memiliki kapasitas dan kualitas yang baik agar dapat mendampingi masyarakat yang menjadi korban atas konflik dengan baik dan maksimal. Paralegal dituntut harus bisa melakukan analisa sosial, analisa konflik, komunikasi, dan dokumentasi kasus agar dampak konflik tersebut dapat diminimalisir dan konflik dapat terekam secara utuh.
YLBHI sebagai pelopor pemberian bantuan hukum sejak tahun 1970, dengan mengembangkan konsepsi Bantuan Hukum Struktural (BHS), YLBHI telah mendampingi masyarakat miskin, marjinal dan tertindas, utamanya di 15 wilayah provinsi di Indonesia dengan jumlah yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini untuk memaksimalkan kerja-kerja bantuan hukum, YLBHI pun telah menjadi salah satu pelaksana sekolah paralegal yang dibantu oleh 3 (tiga) LBH Kantor yaitu Yogyakarta, Padang dan Makassar secara serentak di tahun 2015
Di Sulawesi Selatan sendiri, YLBHI-LBH Makassar menyelenggarakan Sekolah Paralegal Tingkat Dasar. Dengan materi yang dibagi menjadi 3 kategori, yakni, Materi Kompetensi Dasar I, II dan III yang ditentukan berdasarkan teori umum, ideologi advokasi LBH dan advokasi struktural, dengan total materi sebanyak 52 subyek, yang dilakukan dengan skema In Class dan Out Class. Pada proses rekrutmen, LBH Makassar menetapkan calon Peserta Sekolah paralegal dari unsur Klien/Dampingan dan Jaringan Kerja (LSM/NGO/Komunitas), yang totalnya ditetapkan 20 orang. Waktu penyelenggaraan adalah 4 (empat) hari dalam seminggu, sejak 16 April – 4 Juni 2015, dan melibatkan 8 (delapan) Pengajar dengan latar belakang Akademisi, Praktisi Hukum dan Aktivis HAM, Sosial dan Kemanusiaan.
Namun, hingga sekarang belum adanya standar kompetensi (kurikulum) yang sama dan sistematis sehigga LBH Kantor sebagai penyelenggara sekolah paralegal masih menentukan sendiri ukuran minimal kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dapat dicapai, diketahui, dilakukan dan mahir oleh perserta pendidikan paralegal.
Ada perbedaan sistem pendidikan karena tidak ada standar desain kurikulum yang sama antara penyelenggara sekolah paralegal yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sekolah-sekolah paralegal yang sudah berjalan di beberapa daerah menyusun kurikulum dan menentukan muatan materinya sendiri dengan berdasarkan keadaan dan kebutuhan di wilayah konflik struktural.
Permasalahan lainnya terkait sistem pendidikan adalah mengenai kemampuan tenaga pengajar juga menjadi salah satu faktor keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikan paralegal. Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama dalam memfasilitasi proses pendidikan paralegal agar sesuai dengan metodologi dan kurikulum pendidikan yang telah disusun oleh masing-masing sekolah paralegal.
Selain itu, belum ditentukan standar etik minimal yang harus dipatuhi oleh Paralegal. Oleh karena itu masing-masing penyelenggara bantuan hukum membuat modul pelatihan sendiri dan menetukan nilai-nilai apa saja yang harus dimiliki paralegal. Ketiadaan standar etik juga menimbulkan legalitas hubungan paralegal dengan penerima hukum dan hubungan paralegal dengan organisasi bantuan hukum yang tidak diakui keeksistensiannya paralegal oleh aparat penegak hukum, terutama saat mendampingi advokasi di persidangan. mekanisme pengawasan paralegal juga belum jelas terkait hubungan paralegal dengan penerima bantuan hukum dan paralegal dengan organisasi bantuan hukum.
Selain itu, masih terjadi perdebatan terkait pengintegrasian paralegal ke dalam kerja-kerja bantuan hukum, dalam hal ini bantuan hukum struktural versi LBH dengan bantuan hukum sesuai standar UU Bantuan Hukum.
Dalam penyelenggaraan sekolah paralegal oleh LBH Makassar sendiri mendapat beberapa masalah lain seperti waktu penyelenggaraan yang berlangsung selama 4 (empat) hari per minggu yaitu kamis-minggu, dirasakan cukup berat oleh para peserta, terutama peserta dari buruh, petani, serta juru parkir. Tenaga pengajar juga belum semua mampu membuat dan menyelesaikan satuan pembelajaran yang sesuai dengan jadwal dan kesepakatan dalam Training Of Trainer yang dilaksanakan sebelum penyelenggaraan sekolah. Namun, di sisi lain LBH Makassar juga telah membekali alumni sekolah paralegal dengan kartu identitas dan terus mendorong alumni untuk terlibat langsung dalam kerja-kerja bantuan hukum, serta membuat fitur di wabsite LBH Makassar yang secara khusus meliput segala aktivitas di baruga paralegal dan kegiatan alumni sekolah paralegal.
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi ini dirumuskan beberapa poin utama yang harus ditindaklanjuti, terutama oleh YLBHI, yaitu posisi YLBHI terkait paralegal dan posisi paralegal dalam gerakan bantuan hukum struktural LBH, serta memperbaiki beberapa faktor pendukung seperti sistem pendidikan, keberlanjutan, kode etik, penganggaran, dan pengawasan paralegal. [A. Muh. Fajar Akbar]
Comments
No comment yet.